Sabtu, 22 Desember 2012



2.1 Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun dan syarat perkawinan dalam Hukum Islam merupakan hal penting demi terwujudnya suatu ikatan perkawinan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan. Rukun perkawinan merupakan faktor penentu bagi sahnya suatu perkawinan. Adapun syarat perkawinan adalah faktor-faktor yang harus dipenuhi oleh para subjek hukum yang merupakan unsur atau bagian dari akad perkawinan.
a.      Rukun Perkawinan
Rukun perkawinan menurut Hukum Islam adalah wajib dipenuhi sebelum melangsungkan perkawinan. Karena dampak dari sah dan tidak sahnya perkawinan dapat mempengaruhi atau menentukan hukum kekeluargaan lainnya, baik dalam bidang hukum perkawinan itu sendiri, maupun di bidang hukum kewarisan.
Berikut ini beberapa rukun perkawinan yang harus dipenuhi sebagai faktor penentu sahnya suatu perkawinan:
1.      Adanya calon mempelai lelaki dan mempelai perempuan. Kedua calon mempelai harus dalam kondisi kerelaannya dan persetujuannya dalam melakukan perkawinan, tanpa adanya paksaan dari salah satu pihak.
2.      Adanya wali nikah. Kedudukan wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai perempuan yang bertindak untuk menikahkannya. Yang bertindak sebagai wali nikah adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat Hukum Islam yakni muslim dan akil baligh.
3.      Adanya 2 orang saksi nikah. Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang lelaki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tunarungu atau tuli.
4.      Adanya lafal Ijab dan Qobul. Pada prinsipnya akad nikah dapat dilakukan dalam bahasa apapun asalkan dapat menunjukkan kehendak pernikahan yang bersangkutan dan dapat dipahami oleh para pihak dan para saksi. Proses akad nikah dengan cara pengucapan Ijab dan Qobul itu dilakukan secara lisan. Namun, jika para pihak tidak memungkinkan untuk melalukan Ijab dan Qobul secara lisan karena sesuatu halangan tertentu, maka akad dapat dilakukan dengan menggunakan isyarat.[1]
b.      Syarat Perkawinan
Syarat perkawinan terdiri atas syarat yang ditentukan secara syariat Islam dan syarat yang ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan.
Syarat secara syariat Islam di antaranya di tentukan dalam al-Qur’an surah An-Nisaa ayat 22, 23, dan 24 yang menentukan larangan dilakukannya perkawinan karena adanya hubungan darah, hubungan semenda,[2] hubungan sesusuan, dan larangan poliandri[3]. Selain itu, al-Qur’an juga melarang dilakukannya perkawinan antara orang Islam dengan orang musyrik dalam surah Al-Baqarah ayat 221.[4] Demikian pula dalam surah Al-Mumtahannah ayat 10 yang menentukan larangan menikah dengan orang kafir.[5]
Sedangkan syarat-syarat sah perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:
1.      Sesuai Pasal 6:
1)      Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, berarti di dalam perkawinan tersebut tidak ada paksaan dari pihak manapun.
2)      Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3)      Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4)      Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.
5)      Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.
6)      Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukun masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
2.      Sesuai Pasal 7:
1)      Perkawinan hanya diizinkan bila piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
2)      Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
3)      Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).
3.      Sesuai Pasal 8:
Perkawinan dilarang antara dua orang yang :
a.       Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b.      Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c.       Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
d.      Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e.       Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suamiberisterilebih dari seorang;
f.       Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin
4.      Sesuai Pasal 9:
Seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan dalam Pasal 4 Undang-undang ini.
5.      Seuai Pasal 10:
Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum, masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
6.      Sesuai Pasal 11:
1)      Bagi seorang yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
2)      Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.
7.      Sesuai Pasal 12:
Tata cara perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.[6]
2.2 Tata Cara Melangsungkan Perkawinan
Sebagaimana telah diketahui, bahwa perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang lelaki dengan seorang perempuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sahnya perkawinan, menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan adalah apabila perkawinan itu dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya. Dengan demikian, maka sangat jelas bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menempatkan hukum agama sebagai hukum terpenting untuk menentukan sah atau tidak sahnya perkawinan.
Agama Islam menggunakan tradisi perkawinan yang sederhana, dengan tujuan agar seseorang tidak terjebak atau terjerumus ke dalam perzinaan. Tata cara yang sederhana itu nampaknya sejalan dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 yang berbunyi: "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya."[7]
 Dari pasal tersebut sepertinya memberi peluang-peluang untuk mengikuti dan bahkan berpadu dengan hukum Islam dalam perkawinan. Selain itu disebabkan oleh kesadaran masyarakatnya yang menghendaki demikian. Salah satu tata cara perkawinan adat yang masih kelihatan sampai saat ini adalah perkawinan yang tidak dicatatkan pada pejabat yang berwenang atau disebut nikah siri. Perkawinan ini hanya dilaksanakan di depan penghulu atau ahli agama dengan memenuhi syariat Islam sehingga perkawinan ini tidak sampai dicatatkan di kantor yang berwenang untuk itu.
Namun sebelum perkawinan dilaksanakan, kedua calon mempelai dianjurkan melakukan persiapan sebagai berikut:
a.       Meminta pertimbangan. Bagi seorang lelaki sebelum ia memutuskan untuk mempersunting seorang wanita untuk menjadi isterinya, hendaklah ia juga minta pertimbangandari kerabat dekat wanita tersebut yang baik agamanya. Mereka hendaknya orang yang tahu benar tentang hal ihwal wanita yang akan dilamar oleh lelaki tersebut, agar ia dapat memberikan pertimbangan dengan jujur dan adil. Begitu pula bagi wanita yang akan dilamar oleh seorang lelaki, sebaiknya ia minta pertimbangan dari kerabat dekatnya yang baik agamanya.[8]
b.      Masing-masing calon mempelai saling mengadakan penelitian apakah mereka saling cinta atau setuju dan apakah kedua orangtua mereka menyetujui atau merestui. Ini erat kaitannya dengan surat-surat persetujuan kedua calon mempelai dan surat izin orangtua yang belum berusia 21 tahun.
c.       Masing-masing berusaha meneliti apakah ada halangan perkawinan baik menurut munakahat maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Untuk mencegah terjadinya penolakan atau pembatalan perkawinan).
d.      Calon mempelai supaya mempelajari ilmu pengetahuan tentang pembinaan rumah tangga hakdan kewajiban suami istri dan sebagainya.
e.       Dalam rangka meningkatkan kualitas keturunan yang akan dilahirkan calon memepelai supaya memeriksakan kesehatannya dan kepada calon memepelai wanita diberikan suntikan imunisasi tetanus toxoid.[9]
Setelah melakukan persiapan, berikut beberapa tata cara melangsungkan sebuah perkawinan sebagaimana yang tercantum dalam Perraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 juncto:
1.      Pemeriksaan kehendak nikah.
a)      sesuai Pasal 3
Setiap orang yang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatatan Nikah ditempat perkawinan akan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut disebabkan sesuatu alasan yang penting, sehingga dapat diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.
b)      Sesuai Pasal 4
Pemberitahuan secara lisan tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya.


c)      Sesuai Pasal 5
Pemberitahuan memuat nama, umur,agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya terdahulu. Surat persetujuan dan keterangan asal-usul.
d)      Sesuai Pasal 6
Pegawai Pencatat Nikah yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.
Selain penelitian terhadap hal di atas Pegawai Pencatat Nikah meneliti pula terhadap:
a.       Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu;
b.      Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai;
c.       Izin tertulis/izin dari Pengadilan Agama sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-Undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.
d.      Izin Pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-undang; dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri;
e.       Surat Dispensasi dari Pengadilan Agama yang dimaksud adalah bagi calon suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi calon mempelai istri yang belum mencapai umur16 tahun.
f.       Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;
g.      Surat Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata;
h.      Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
2.      Pengumuman kehendak nikah.
Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.
Sesuai dengan Pasal 9, pengumuman tersebut ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat:
1)      Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai; apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri dan atau suami mereka terdahulu.
2)      Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.
Surat pengumuman itu selama 10 hari sejak ditempelkan tidak boleh diambil atau dirobek (Pasal 8 dan 9 PP 9/75 jo. Pasal PMA 3/75).
3.      Pelaksanaan Akad Nikah
Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah seperti yang dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah. Namun, bilamana dalam tenggang waktu satu bulan terhitung sejak pengumuman kehendak kawin, perkawinan tersebut tidak dilangsungkan maka perkawinan itu tidak boleh dilangsungkan kembali kecuali setelah diulangi lagi pengumuman kembali untuk kedua kalinya seperti semula.
Sedangkan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi. Dan bagi mereka yang melangsungkan Perkawinan menurut Agama Islam, maka Akad Nikahnya dilakukan oleh wali Nikah atau yang mewakilinya.
4.      Mendapatkan Akta Pekawinan.
Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah, maka kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.
Adapun Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor pencatatan Perkawinan itu berada. Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan. Dan di dalam Akta perkawinan memuat:
a.       Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami-isteri, apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu.
b.      Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka.
c.       Izin sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan.(5) Undang-undang.
d.      Dispensasi sebagai dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang.
e.       Izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang.
f.       Persetujuan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang.
g.      Izin dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB bagi anggota Angkatan Bersenjata.
h.      Perjanjian perkawinan apabila ada.
i.        Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam.
j.        Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa. [10]










BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1)      Perkawinan adalah perjanjian yang diadakan oleh dua orang yaitu antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan material, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2)      Rukun Perkawinan:
a.       Adanya calon mempelai lelaki dan mempelai perempuan.
b.      Adanya wali nikah.
c.       Adanya 2 orang saksi nikah.
d.      Adanya lafal Ijab dan Qobul.
3)      Syarat perkawinan:
a.       Syarat secara syariat Islam di antaranya di tentukan dalam al-Qur’an surah An-Nisaa ayat 22, 23, dan 24, surah Al-Mumtahannah ayat 10, surah Al-Baqarah ayat 221.
b.      Syarat-syarat sah perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yaitu: Sesuai Pasal 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12.
4)      Persiapan kedua mempelai sebelum melangsungkan perkawinan:
a.       Meminta pertimbangan.
b.      Masing-masing calon mempelai saling mengadakan penelitian apakah mereka saling cinta atau setuju dan apakah kedua orangtua mereka menyetujui atau merestui.
c.       Masing-masing berusaha meneliti apakah ada halangan perkawinan baik menurut munakahat maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d.      Calon mempelai supaya mempelajari ilmu pengetahuan tentang pembinaan rumah tangga hakdan kewajiban suami istri dan sebagainya.
e.      Dalam rangka meningkatkan kualitas keturunan yang akan dilahirkan calon memepelai supaya memeriksakan kesehatannya.
5)      Tata cara melangsungkan sebuah perkawinan sebagaimana yang tercantum dalam Perraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 juncto:
a.       Pemeriksaan kehendak nikah.
b.      Pengumuman kehendak nikah.
c.       Pelaksanaan Akad Nikah
d.      Mendapatkan Akta Pekawinan
3.2 Saran
Saran kami tujukan untuk teman-teman kelas Muamalah A agar lebih merespon makalah kami dengan sebaik-baiknya. Di dalam makalah kami terdapat banyak ilmu baru yang berkaitan tentang Hukum Perkawinan di Indonesia. Baca, pelajari dan simpanlah makalah ini sebagai bekal untuk menjawab soal-soal Ujian Akhir Semester nanti.





















DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali. 1997. Menyikap Hakikat Perkawinan. Bandung: Karisma.
Departemen Agama. 1990. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta.
Djubaidah, Neng.  2010. Pencatatan Perkawinan & Perkawinan tidak dicatat. Jakarta: Sinar Grafika.
Ramulyo, Mohd. Idris.  1999. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
www.hukumonline.com










Lampiran:
1)      Blanko Akta Perkawinan.
Description: http://www.jakarta.go.id/jakv1/application/public/img/galleries/news/aktakawinbaru.jpg
2)      Blanko Kutipan Akta Perkawinan.
Description: http://www.jakarta.go.id/jakv1/application/public/img/galleries/news/kawinmerge.jpg
Description: http://www.jakarta.go.id/jakv1/application/public/img/galleries/news/kawinmerge.jpg



[1] Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan tidak dicatat, cet 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), Halaman 115.
[2] Semenda adalah suatu  pertalian keluarga karena perkawinan dengan anggota suatu kaum, jika dipandang dari  kaum itu (misal: orang yg kawin dengan saudara atau keponakan istri atau suami).
[3] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: 1990), Halaman 120.
[4] Ibid, Halaman 53.
[5] Ibid., Halaman 924.
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan, (jum’at, 16 maret 2012)
[10] www.hukumonline.com