A.
Pengertian Peminagan
(khitbah)
1. Peminagan dalam fiqih
Peminang dalam ilmu Fiqih disebut
“Khitbah” artinya permintaan. Menurut istilah , artinya ialah : Pernyataan atau
permintaan dari seorang laki-laki kepada seorang wanita untuk mengawininya,
baik dilakukan oleh laki-laki itu secara langsung ataupun dengan melalui
perantaran pihak yang lain yang dipercayainya sesuai dengan ketentuan-ketentuan
agama.
Sebelum melakukan peminagan semestinya agar seorang
laki-laki menyelidiki terlebih dahulu mengenai keadaan wanita yang hendak
dipinangnya untuk menjalin kelangsungan kehidupan rumah tangganya kelak. Adapun
yang sebaiknya diselidiki terlebih dahulu pada diri wanita itu antara lain
ialah : budi pekertinya dari wanita yang akan dipinang ; keadaan jasmaninya ;
apakah itu masih ada hubungan muhrim atau tidak ; apakah wanita yang akan
dipinang itu sejodoh dengan laki-laki tersebut .[1]
Khitbah di syariatkan di dalam Islam berdasarkan
firman Allah ta’ala dalam (QS. Al Baqoroh ayat 235)
وَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ
فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ
سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ
النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ
يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ
حَلِيمٌ
Dan
tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita dengan sindiran atau kamu
menyembunyikan ( keinginan mengawini mereka ) dalam hati kamu. Allah mengetahui
bahwa kamu akan menyebut-menyebut mereka, dalam pada itu jaganlah kamu
mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan ( kepada mereka ) perkataan yang ma’ruf, Dan jaganlah kamu ber’azam
(bertatap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya. Dan ketahuilah
bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, makai jabir menurut takutlah kepadanya, dan ketahuilah bahwasanya
Allah maha pengampun lagi maha penyantun.
Dan terdapat pula dalam ucapan Nabi
sebagaiamana terdapat dalam sabda beliau dalam hadis dari jabir menurut
riwayat ahmad dan abu dawud dengan sanad yang dipercaya yang bunyinya:
اذاخطب احدكم المرا ءة فان استطاع ان ينظر منها
ما يد عو الى نكا حها فليفعل
Bila
seorang diantaramu meminang seorang perempuan,bila ia mampu melihatnya yang
mendorongnya untuk menikahinya,maka lakukanla.[2]
2. Peminangan Perspektif UU No. 1 Tahun 1974
Dalam UUP, peminangan ini tidak dikenal. Alasannya mungkin
karena peminangan tidak dapat disebut sebagai peristiwa hukum. Jadi tidak ada
implikasi hukum dari sebuah peminagan. Tentu saja ini berbeda dengan hukum Islam,
kendati peminangan tidak dapat disebut dengan perstiwa hukum yang tidak dapat
menimbulkan hak dan kewajiban tetapi peristiwa peminangan ini tetap menimbulkan
implikasi moral.
Kendatipun UUP
tidak mengaturnya, para pengkaji hukum Islam menyebut syarat perkawinan yang ada
pada pasal 6 da 7 sebenarnya secara implisit mengatur peminangan tersebut.
Salah satu syarat perkawinana adalah adanya persetujuan kedua mempelai. Oleh
Yahya Harahab pasal ini mengisyaratkan untuk terjadinya persetujuan bersama
mengharuskan adanya peminangan atau lamaran yang artinya bias kenal-kenalan
atau saling mengenal.
3. Peminangan perspektif KHI
Berbeda dengan UU No. 1 tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam
tampaknya mengapresiasi dengan cukup luas peminangan ini. Seperti yang terlihat
dalam pasal 1 bab 1 huruf a, peminangan didefinisikan sebagai kegiatan upaya ke
arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dan wanita dengan
cara-cara yang baik (ma’ruf). Peminangan ini dapat dilakukan langsung atau
melalui perantara yang dipercaya.
Lebih jelasnya didalam
pasal 11 dinyatakan :
“peminangan dapat
langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi
dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya”.
Peminangan itu
dapat dilaksanakan selama tidak terdapat halangan-halangan peminangan tersebut
seperti yang termuat dala pasal 12 ayat 2,3 dan 4.[3]
B.
Dasar dan Hukum peminangan
Dari Mughirah R.A., sesungguhnya
ia pernah meminang seseorang perempuan, lalu Nabi SAW. Bersabda kepadanya,”
Lihatlah perempuan itu dahulu karena sesungguhnya melihat itu lebih cepat
membawa kekekalan kecintaan antara keduanya.” (H.R. Nasa’i dan
Tirmizi)[4]
Dari Abu Hurairah R.A., dia
berkata,” Aku duduk di dekat Nabi SAW. lalu datang seorang laki-laki kepada
beliau dan bercerita bahwa ia akan menikahi seseorang perempuan dari kaum
Anshar. Rasulullah lalu bersabda,”Sudahkah engkau lihat wajahnya?” laki-laki itu
menjawab, “belum”. Rasulullah bersabda lagi,” pergi dan lihatlah karena
sesungguhnya pada wajah kaum Anshar itu mungkin ada sesuatu yang menjadi
cacat.” (H.R. Muslim dan Nasa’i)[5]
Memang terdapat
dalam al-qur’an dan dalam banyak hadis Nabi yang membicarakan hal peminangan.
Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan
melakukan peminangan, sebagaiman perintah untuk mengadakan perkawinan dengan
kalimat yang jelas, baik dalam al-qur’an maupun dalam hadis Nabi. Oleh karena itu,
dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya,
dalam arti hukumannya mubah.[6]
Akan
tetapi, Ibnu Rusyd dengan menukil pendapat imam Daud Al-Zhahiriy, mengatakan
bahwa hukum pinangan adalah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatnya pada
hadis-hadis nabi yang menggambarkan bahwa pinangan (khitbah) ini
merupakan perbuatan dan tradisi yang dilakukan nabi dalam peminangan itu.
C.
Syarat-syarat Peminangan
a. Mustahsinah
Yang dimaksud dengan syarat
mustahsinah ialah syarat yang berupa anjuran kepada pihak laki yang akan
meminang seorang wanita agar ia meneliti dahulu wanita yang akan dipinangnya tersebut.
Adapun syarat-syarat dari mustasina itu sendiri sebagai berikut :
i. Wanita yang akan
dipinang itu telah diteliti tentang keluarganya, akhlak dan agamanya, sesuai
dengan sabda Rasulullah SAW :
عن أبى هر يرة رضى االله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم تنكح
المرأة لآربع لما لها ولحسبها ولجملها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك . روه
الجما عه الا الترمذي
Artinya : dari Abu Hurairah ra. Dan Nabi saw beliau bersabda
: Wanita itu dinikahi karena 4 perkara, karena hartanya,
kebangsawanannya/nasabnya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka
pilihlah pilihlah yang beragama, mudah-mudahan engkau berhasil baik. (HR.
Jamaah ahli hadis kecuali At-Tirmidzi).
ii. Wanita yang
dipinang adalah wanita yang mempunyai keturunan dan mempunyai sifat kasih
sayang. Sabda Nabi saw :
عن
أنس رضى االله عنه قال كان رسول الله النبى صلى الله عليه وسلم . يأمربالبأة وينهى
عن التبتل نهيا شديدا ويقول تزوجواالودوداالولود فاءنى مكا ثر بكم الأنبياء يوم
القيامة. روه احمد
Artinya : Dari Anas ra. Beliau berkata, Rasulullah saw
menyuruh orang yang sanggup kawin, dan melarang dengan sangat hidup membujang
selamanya. Selanjutnya Beliau bersabda : “Kawinilah wanita yang mempunyai sifat
kasih saying dan mempunyai keturunan, sesungguhnya aku bangga pada hari kiamat
nanti dengan melihat jumlahmu yang banyak dibandingkan dengan jumlah ummat
nabi-nabi yang lain (HR. Ahmad). [7]
iii.
Wanita yang dipinang itu mempunyai hubungan darah yang
jauh dengan laki-laki yang meminang. Agama melarang seorang laki-laki menikahi
seorang winita yang sangat dekat hubungan darahnya.[8] Sayyidina Umar ibnu khatab menatakan kepada
bani Sa’ab :
فقد ضعفتم فانكحواالغراءب.
Artinya : sesungguhnya
kamu dalah lemah-lemah, maka nikahlah dengan orang-orang asing (yang jauh
hubungan darahnya denganmu).
b.
Syarat Lazimah
Yang dimaksud dengan syarat lazimah adalah syarat yang wajib
dipenuhi sebelum peminangan dilakukan.Sahnya peminangan tergantung pada adanya
syarat-syarat lazimah tersebut. Yang termasuk dalam syarat lazimah antara lain
:
i.
Wanita yang tidak dalam pinangan orang lain atau
sedang dalam pinangan akan tetapi orang yang meminangnya melepaskan hak
pinangannya.
Sabda Nabi saw :
المؤمن أخوالمؤمن فلا يحل له أن يبتاع
على بيع أخيه ولايخطب على خطبة أخيه حتى يزر .روه أحمد و مسلم
Artinya : orang mukmin
adalah bersaudara, tidak boleh menawar barang yang sedang ditawar oleh
saudaranya, dan tidak boleh melamar wanita yang sedang dilamar oleh saudaranya
sampai saudaranya itu membatalkan tawaran atau pinangannya. (HR.Ahmad dan
Muslim).
ii.
Wanita yang dipinang
hendaklah wanita yang halal untuk dinikahi dalam artian wanita tersebut
bukanlah menjadi mahram dari laki-laki yang meminangnya.
D. Wanita yang
boleh dipinang
Tidak semua wanita itu bisa dikawini oleh laki-laki.
Ada yang tidak bisa dikawin untuk selama-selamanya, yaitu karena adanya
hubungan darah , hubungan semenda maupun hubungan susunan. Dan ada pula yang
tidak boleh dikawin sementara waktu. Hal ini berlaku juga dalam pinagan , ada
wanita yang boleh dipinang dan ada juga yang tidak boleh dipinang.
Adapun wanita yang boleh dipinang ialah :
a. Tidak ada halangan –halangan menurut ketentuan syara’ untuk dapat
dikawini seketika, misalnya : wanita tidak ada hubungan muhrim dengan laki-laki
hendak meminang, wanita yang tidak ada dalam hubungan perkawinan dengan orang
lain atau wanita yang tidak sedang menjalani iddah talaq raj’i.
b. Wanita yang tidak sedang dipinang oleh laki-laki lain.
E.
Wanita-wanita yang tidak boleh
dipinang
Ada wanita yang haram dipinang secara berterus-terang
ataupun secara sindiran dan ada pula yang haram dipinang secara terus terang
tetapi boleh dipinang secara sindiran.
a. Wanita yang tidak boleh dipinang secara terus terang ataupun sindiran
ialah:
1.Wanita
yamg sedang menjalani iddah talaq raj’I karena wanita tersebut masih ada ikatan
dengan bekas suaminya.
b. Wanita yang haram dipinang secara terus terang, tetapi boleh dipinang
secara sindiran ialah :
1.
Wanita yang sedang menjalani
iddah talaq bain, yaitu talaq yang ketiga kalinya.
F.
Melihat Perempuan yang
dipinang
Waktu berlangsungnya peminangan
laki-laki yang melakukan peminangan diperbolehkan melihat perempuan yang
dipinangnya, meskipun menurut alasnya seorang laki-laki haram melihat kepada
perempuan.Kebolehan melihat ini didasarkan kepada hadis Nabi dari Jabir menurut
riwayat Ahmad dan Abu Daud (al-Shan’aniy, 122-113) dengan sanad yang dipercaya.
Banyak hadis Nabi berkenaan dengan
melihat perempuan yang dipinang,baik
dengan menggunakan kalimat suruhan, maupun dengan menggunakan ungkapan. Ulama jumhur menetapkan hukumnya adalah boleh, tidak sunnah apa lagi menetapkan
hukum wajib.[10]
Berdasarkan pada Hadist Nabi
mengenai anjuran melihat wanita yang boleh dipinang itu ialah :
a.
Hadist Nabi riwayat Abu Dawud dari Jabir r-a,
mengajarkan : “ Apabila salah seorang diantara kamu meminang seorang perempuan,
apabila merasa harus dapat melihat hal-hal yang menarik untuk mengawininya,
boleh ia lakukan’’. Jabir sendiri mengatakan bahwa pada waktu ia meminang
seorang perempuan dari Bani Salimah dari tempat tersembunyi dapat melihat
hal-hal yang dirasa menarik yang merasa menari dari perempuan itu untuk
dikawini.
b.
An-Nasia, Ibnu Majah dan Turmudzi meriwayatkan, ketika
Mughinah bin Sya’ban meminang seorang perempuan, beritanya sampai kepada
Rasullullah s.a.w.; kemudian beliau tanyakan apakah Mughinah pernah melihat
orang yang dipinang itu; Munghinah mengatakan bahwa ia belum pernah melihatnya.
Kemudian Rasullulah bersabda : “ Lihatlah dulu perempuan itu, sebab melihat
perempuan yang akan dipinang itu akan lebih menjamin kelangsungan perkawinanmu
berdua’’.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Khitbah atau peminangan merupakan
suatau permula,an dari sebuah perkawinan atau penyampaian kehendak atau
mengawini seseorangyang telah dipilihnya untuk dinikahi, baik dilakukan sendiri
maupun melalui perantara orang lain yang dipercayai nya.
2. Hukum sebuah khitbah atau
peminanagan adalah menurut para ulama adalah mubah, meskipun terdapat sebagian
ada yang bilang hukum nya itu wajib
melakukan sebuah khitbah
.
DAFTAR PUSTAKA
PROF. DR. AMIR SYARIFUDIN HUKUM
PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA.
Ny.
Soemiyati, S.H. HUKUM PERKAWINAN ISLAM
DAN UU PERKAWINAN, L iberty, Yogyakarta
Nur, Drs. H. Djaman, FIQIH MUNAKAHAT, Semerang : Dina
Utama, 1993
DR. H.Amiur
Nuruddin & DRS. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag, Hukum Perdata Islam di
Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU No. 1/1974
sampa KHI, Jakarta : Kencana, 2006
Azhar Basyir , KH. Ahmad, MA. Hukum Perkawinan
Islam, (Yogyakarta : UII Press, 1999)
Ibnu Hajar al-Asqolani, Bulughul Maram, Haramain:
Singapura.
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, 2007. Fiqh Madzhab
Syafi’i, Pustaka Setia: Bandung,
Ibnu Rusyd,
2005.Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid II, Darul Fikri: Beirut
[1]Ny.
Soemiyati, Hukum perkawinan islam dan UUperkawinan
. hal 23
[2]
Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan islam di indonesia. hal 49-50
[3]
DR. H.Amiur Nuruddin & DRS. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag, Hukum Perdata
Islam di Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU No.
1/1974 sampa KHI, (Jakarta : Kencana, 2006), Hlm. 90-91
[4]
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqh Madzhab Syafi’i, Pustaka Setia: Bandung,
2007. Hal 257
[5]Ibnu
Hajar al-Asqolani, Bulughul Maram, Haramain: Singapura. Hal 209-210
[7]Drs.
H. Djaman Nur, FIQIH MUNAKAHAT. Op.cit.hlm 14
[8]
Lihat Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 22 dan 23
[9].
Ny. Soemiyati, Hukum perkawinan islam dan
UU perkawinanhal 23-24
[10]
Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan islam di indonesia. Hal 55-56
[11]Ny.
Soemiyati, Hukum perkawinan islam dan UU
perkawinanhal 26-27
0 komentar :
Posting Komentar