Senin, 26 November 2012



A.   Pengertian Peminagan (khitbah)
1.     Peminagan dalam fiqih
Peminang dalam ilmu Fiqih disebut “Khitbah” artinya permintaan. Menurut istilah , artinya ialah : Pernyataan atau permintaan dari seorang laki-laki kepada seorang wanita untuk mengawininya, baik dilakukan oleh laki-laki itu secara langsung ataupun dengan melalui perantaran pihak yang lain yang dipercayainya sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama.
Sebelum melakukan peminagan semestinya agar seorang laki-laki menyelidiki terlebih dahulu mengenai keadaan wanita yang hendak dipinangnya untuk menjalin kelangsungan kehidupan rumah tangganya kelak. Adapun yang sebaiknya diselidiki terlebih dahulu pada diri wanita itu antara lain ialah : budi pekertinya dari wanita yang akan dipinang ; keadaan jasmaninya ; apakah itu masih ada hubungan muhrim atau tidak ; apakah wanita yang akan dipinang itu sejodoh dengan laki-laki tersebut .[1]
Khitbah di syariatkan di dalam Islam berdasarkan firman Allah ta’ala dalam (QS. Al Baqoroh ayat 235)
         وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
         Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita dengan sindiran atau kamu menyembunyikan ( keinginan mengawini mereka ) dalam hati kamu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-menyebut mereka, dalam pada itu jaganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan ( kepada mereka ) perkataan yang ma’ruf, Dan jaganlah kamu ber’azam (bertatap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, makai jabir menurut  takutlah kepadanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah maha pengampun lagi maha penyantun.
                              Dan terdapat pula dalam ucapan Nabi sebagaiamana terdapat dalam sabda beliau dalam hadis dari jabir menurut riwayat  ahmad dan abu dawud dengan sanad  yang dipercaya yang bunyinya:
          اذاخطب احدكم المرا ءة فان استطاع ان ينظر منها ما يد عو الى نكا حها فليفعل
         Bila seorang diantaramu meminang seorang perempuan,bila ia mampu melihatnya yang mendorongnya untuk menikahinya,maka lakukanla.[2]
2.     Peminangan Perspektif UU No. 1 Tahun 1974
        Dalam UUP, peminangan ini tidak dikenal. Alasannya mungkin karena peminangan tidak dapat disebut sebagai peristiwa hukum. Jadi tidak ada implikasi hukum dari sebuah peminagan. Tentu saja ini berbeda dengan hukum Islam, kendati peminangan tidak dapat disebut dengan perstiwa hukum yang tidak dapat menimbulkan hak dan kewajiban tetapi peristiwa peminangan ini tetap menimbulkan implikasi moral.
                             Kendatipun UUP tidak mengaturnya, para pengkaji hukum Islam           menyebut syarat perkawinan yang ada pada pasal 6 da 7 sebenarnya secara implisit mengatur peminangan tersebut. Salah satu syarat perkawinana adalah adanya persetujuan kedua mempelai. Oleh Yahya Harahab pasal ini mengisyaratkan untuk terjadinya persetujuan bersama mengharuskan adanya peminangan atau lamaran yang artinya bias kenal-kenalan atau saling mengenal.
3.      Peminangan perspektif KHI
        Berbeda dengan UU No. 1 tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam tampaknya mengapresiasi dengan cukup luas peminangan ini. Seperti yang terlihat dalam pasal 1 bab 1 huruf a, peminangan didefinisikan sebagai kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dan wanita dengan cara-cara yang baik (ma’ruf). Peminangan ini dapat dilakukan langsung atau melalui perantara yang dipercaya.
Lebih jelasnya didalam pasal 11 dinyatakan :
“peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya”.
                             Peminangan itu dapat dilaksanakan selama tidak terdapat halangan-halangan peminangan tersebut seperti yang termuat dala pasal 12 ayat 2,3 dan 4.[3]
B.   Dasar dan Hukum peminangan
Dari Mughirah R.A., sesungguhnya ia pernah meminang seseorang perempuan, lalu Nabi SAW. Bersabda kepadanya,” Lihatlah perempuan itu dahulu karena sesungguhnya melihat itu lebih cepat membawa kekekalan kecintaan antara keduanya.” (H.R. Nasa’i dan Tirmizi)[4]
Dari Abu Hurairah R.A., dia berkata,” Aku duduk di dekat Nabi SAW. lalu datang seorang laki-laki kepada beliau dan bercerita bahwa ia akan menikahi seseorang perempuan dari kaum Anshar. Rasulullah lalu bersabda,”Sudahkah engkau lihat wajahnya?” laki-laki itu menjawab, “belum”. Rasulullah bersabda lagi,” pergi dan lihatlah karena sesungguhnya pada wajah kaum Anshar itu mungkin ada sesuatu yang menjadi cacat.” (H.R. Muslim dan Nasa’i)[5]
  Memang terdapat dalam al-qur’an dan dalam banyak hadis Nabi yang membicarakan hal peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan, sebagaiman perintah untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam al-qur’an maupun dalam hadis Nabi. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti hukumannya mubah.[6]
          Akan tetapi, Ibnu Rusyd dengan menukil pendapat imam Daud Al-Zhahiriy, mengatakan bahwa hukum pinangan adalah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatnya pada hadis-hadis nabi yang menggambarkan bahwa pinangan (khitbah) ini merupakan perbuatan dan tradisi yang dilakukan nabi dalam peminangan itu.
C.   Syarat-syarat Peminangan
a.     Mustahsinah
Yang dimaksud dengan syarat mustahsinah ialah syarat yang berupa anjuran kepada pihak laki yang akan meminang seorang wanita agar ia meneliti dahulu wanita yang akan dipinangnya tersebut. Adapun syarat-syarat dari mustasina itu sendiri sebagai berikut :
i.     Wanita yang akan dipinang itu telah diteliti tentang keluarganya, akhlak dan agamanya, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
عن أبى هر يرة رضى االله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم تنكح المرأة لآربع لما لها ولحسبها ولجملها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك . روه الجما عه الا الترمذي
Artinya : dari Abu Hurairah ra. Dan Nabi saw beliau bersabda : Wanita itu dinikahi karena 4 perkara, karena hartanya, kebangsawanannya/nasabnya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah pilihlah yang beragama, mudah-mudahan engkau berhasil baik. (HR. Jamaah ahli hadis kecuali At-Tirmidzi).
ii.  Wanita yang dipinang adalah wanita yang mempunyai keturunan dan mempunyai sifat kasih sayang. Sabda Nabi saw :
عن أنس رضى االله عنه قال كان رسول الله النبى صلى الله عليه وسلم . يأمربالبأة وينهى عن التبتل نهيا شديدا ويقول تزوجواالودوداالولود فاءنى مكا ثر بكم الأنبياء يوم القيامة. روه احمد
Artinya : Dari Anas ra. Beliau berkata, Rasulullah saw menyuruh orang yang sanggup kawin, dan melarang dengan sangat hidup membujang selamanya. Selanjutnya Beliau bersabda : “Kawinilah wanita yang mempunyai sifat kasih saying dan mempunyai keturunan, sesungguhnya aku bangga pada hari kiamat nanti dengan melihat jumlahmu yang banyak dibandingkan dengan jumlah ummat nabi-nabi yang lain (HR. Ahmad). [7]
iii.     Wanita yang dipinang itu mempunyai hubungan darah yang jauh dengan laki-laki yang meminang. Agama melarang seorang laki-laki menikahi seorang winita yang sangat dekat hubungan darahnya.[8]  Sayyidina Umar ibnu khatab menatakan kepada bani Sa’ab :
فقد ضعفتم فانكحواالغراءب.
Artinya : sesungguhnya kamu dalah lemah-lemah, maka nikahlah dengan orang-orang asing (yang jauh hubungan darahnya denganmu).

b.     Syarat Lazimah
Yang dimaksud dengan syarat lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan.Sahnya peminangan tergantung pada adanya syarat-syarat lazimah tersebut. Yang termasuk dalam syarat lazimah antara lain :
i.          Wanita yang tidak dalam pinangan orang lain atau sedang dalam pinangan akan tetapi orang yang meminangnya melepaskan hak pinangannya.
Sabda Nabi saw :
المؤمن أخوالمؤمن فلا يحل له أن يبتاع على بيع أخيه ولايخطب على خطبة أخيه حتى يزر .روه أحمد و مسلم
Artinya : orang mukmin adalah bersaudara, tidak boleh menawar barang yang sedang ditawar oleh saudaranya, dan tidak boleh melamar wanita yang sedang dilamar oleh saudaranya sampai saudaranya itu membatalkan tawaran atau pinangannya. (HR.Ahmad dan Muslim).
ii.         Wanita yang dipinang hendaklah wanita yang halal untuk dinikahi dalam artian wanita tersebut bukanlah menjadi mahram dari laki-laki yang meminangnya.

D.   Wanita yang boleh dipinang
Tidak semua wanita itu bisa dikawini oleh laki-laki. Ada yang tidak bisa dikawin untuk selama-selamanya, yaitu karena adanya hubungan darah , hubungan semenda maupun hubungan susunan. Dan ada pula yang tidak boleh dikawin sementara waktu. Hal ini berlaku juga dalam pinagan , ada wanita yang boleh dipinang dan ada juga yang tidak boleh dipinang.
Adapun wanita yang boleh dipinang ialah :
a.     Tidak ada halangan –halangan menurut ketentuan syara’ untuk dapat dikawini seketika, misalnya : wanita tidak ada hubungan muhrim dengan laki-laki hendak meminang, wanita yang tidak ada dalam hubungan perkawinan dengan orang lain atau wanita yang tidak sedang menjalani iddah talaq raj’i.
b.     Wanita yang tidak sedang dipinang oleh laki-laki lain.
E.   Wanita-wanita yang tidak boleh dipinang
Ada wanita yang haram dipinang secara berterus-terang ataupun secara sindiran dan ada pula yang haram dipinang secara terus terang tetapi boleh dipinang secara sindiran.
a.     Wanita yang tidak boleh dipinang secara terus terang ataupun sindiran ialah:
1.Wanita yamg sedang menjalani iddah talaq raj’I karena wanita tersebut masih ada ikatan dengan bekas suaminya.
b.      Wanita yang haram dipinang secara terus terang, tetapi boleh dipinang secara sindiran ialah :
1.     Wanita yang sedang menjalani iddah talaq bain, yaitu talaq yang ketiga kalinya.
2.     Wanita yang sedang menjalani iddah kematian.[9]
F.    Melihat Perempuan yang dipinang
    Waktu berlangsungnya peminangan laki-laki yang melakukan peminangan diperbolehkan melihat perempuan yang dipinangnya, meskipun menurut alasnya seorang laki-laki haram melihat kepada perempuan.Kebolehan melihat ini didasarkan kepada hadis Nabi dari Jabir menurut riwayat Ahmad dan Abu Daud (al-Shan’aniy, 122-113) dengan sanad yang dipercaya.
         Banyak hadis Nabi berkenaan dengan melihat perempuan yang      dipinang,baik dengan menggunakan kalimat suruhan, maupun dengan menggunakan ungkapan. Ulama jumhur menetapkan hukumnya adalah          boleh, tidak sunnah apa lagi menetapkan hukum wajib.[10] Berdasarkan pada       Hadist Nabi mengenai anjuran melihat wanita yang boleh dipinang itu ialah :
a.     Hadist Nabi riwayat Abu Dawud dari Jabir r-a, mengajarkan : “ Apabila salah seorang diantara kamu meminang seorang perempuan, apabila merasa harus dapat melihat hal-hal yang menarik untuk mengawininya, boleh ia lakukan’’. Jabir sendiri mengatakan bahwa pada waktu ia meminang seorang perempuan dari Bani Salimah dari tempat tersembunyi dapat melihat hal-hal yang dirasa menarik yang merasa menari dari perempuan itu untuk dikawini.
b.     An-Nasia, Ibnu Majah dan Turmudzi meriwayatkan, ketika Mughinah bin Sya’ban meminang seorang perempuan, beritanya sampai kepada Rasullullah s.a.w.; kemudian beliau tanyakan apakah Mughinah pernah melihat orang yang dipinang itu; Munghinah mengatakan bahwa ia belum pernah melihatnya. Kemudian Rasullulah bersabda : “ Lihatlah dulu perempuan itu, sebab melihat perempuan yang akan dipinang itu akan lebih menjamin kelangsungan perkawinanmu berdua’’.[11]



BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
1. Khitbah atau peminangan merupakan suatau permula,an dari sebuah perkawinan atau penyampaian kehendak atau mengawini seseorangyang telah dipilihnya untuk dinikahi, baik dilakukan sendiri maupun melalui perantara orang lain yang dipercayai nya.
2. Hukum sebuah khitbah atau peminanagan adalah menurut para ulama adalah mubah, meskipun terdapat sebagian ada yang bilang hukum nya itu  wajib melakukan sebuah khitbah
.  

DAFTAR PUSTAKA
PROF. DR. AMIR SYARIFUDIN HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA.
Ny. Soemiyati, S.H. HUKUM PERKAWINAN ISLAM DAN UU PERKAWINAN, L iberty, Yogyakarta
Nur, Drs. H. Djaman, FIQIH MUNAKAHAT, Semerang : Dina Utama, 1993
DR. H.Amiur Nuruddin & DRS. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag, Hukum Perdata Islam di Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU No. 1/1974 sampa KHI, Jakarta : Kencana, 2006
Azhar  Basyir , KH. Ahmad, MA. Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta : UII Press, 1999)
Ibnu Hajar al-Asqolani, Bulughul Maram, Haramain: Singapura.
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, 2007. Fiqh Madzhab Syafi’i, Pustaka Setia: Bandung,
Ibnu Rusyd, 2005.Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid II, Darul Fikri: Beirut


[1]Ny. Soemiyati, Hukum perkawinan islam dan UUperkawinan . hal 23
[2] Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan islam di indonesia. hal 49-50   
[3] DR. H.Amiur Nuruddin & DRS. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag, Hukum Perdata Islam di Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU No. 1/1974 sampa KHI, (Jakarta : Kencana, 2006), Hlm. 90-91
[4] Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqh Madzhab Syafi’i, Pustaka Setia: Bandung, 2007. Hal 257
[5]Ibnu Hajar al-Asqolani, Bulughul Maram, Haramain: Singapura. Hal 209-210
   [6]Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid II, Darul Fikri: Beirut. 2005. Hal 3
[7]Drs. H. Djaman Nur, FIQIH MUNAKAHAT. Op.cit.hlm 14
[8] Lihat Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 22 dan 23
[9]. Ny. Soemiyati, Hukum perkawinan islam dan UU perkawinanhal 23-24
[10] Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan islam di indonesia. Hal 55-56
[11]Ny. Soemiyati, Hukum perkawinan islam dan UU perkawinanhal 26-27

0 komentar :

Posting Komentar