Selasa, 15 Januari 2013




  40 Qawaid Fiqhiyyah Aghlabiyyah 1
Qawaid Fiqhiyyah adalah bagian dari ilmu fiqh. Ia memiliki hubungan erat dengan Al-Qur’an, Al-Hadis, akidah dan akhlak. Kaidah Fikih merupakan kaidah yang bersifat kulli yang dirumuskan dari masalah fur'iyah. Daya berlakunya hanya bersifat aghlabi, yaitu berlaku untuk sebagian furu' saja. Dengan demikian, dalam kaidah tersebut dimungkinkan masih ada beberapa masalah yang dikecualikan atau dengan kata lain, masalah-masalah furu' yang tidak diberi ketentuan hukumnya berdasarkan rumusan kaidah tersebut, maka ketentuan hukumnya adalah ditentukan secara khusus oleh dalil-dalil yang ada dalam sumber hukum Islam.
Pengertian Qawaidul fiqhiyah adalah “Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.
Qawaidul fiqhiyah adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fiqh dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumya di dalam nash. Kaidah-kaidah fiqh sering digunakan di dalam tathbiq al-ahkam yaitu penerapan hukum atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia.[1]
Qawaidul fiqhiyah dibentuk dengan cara berpikir deduktif, yaitu ia dibentuk berdasarkan berbagai dalil yang kemudian dihubungkan dengan berbagai bab dan subbab fiqh sehingga ia memiliki cakupan yang luas.[2]
Prinsip Qawaidul fiqhiyah adalah aglabiyat, aksariyat, atau pada umumnya. Oleh karena itu, bilamana ada penyimpangan dari kaidah tersebut dianggap tidak dapat mengubah kaidah yang telah dibuat.[3] Sedangkan objek kajian Qawaidul fiqhiyah adalah perbuatan manusia yang menjadi subjek hukum (mukallaf). [4]
Pada umumnya pembahasan qawaidul fiqhiyah berdasarkan pembagian kaidah-kaidah asasiah dan kaidah-kaidah ghairu asasiah. Kaidah-kaidah asasiah adalah kaidah yang disepakati oleh Imam Mazhab tanpa diperselisihkan kekuatannya, jumlah kaidah asasiah ada 5 macam. Sedangkan kaidah ghairu asasiah adalah kaidah yang merupakan pelengkap dari kaidah asasiah, walaupun keabsahannya masih tetap diakui. [5]
Kaidah ghairu asasiah ada dua macam, yaitu kaidah ghairu asasiah al muttafaqah (yang tidak dipertentangkan), dan kaidah ghairu asasiah al Mukhtalafah (yang dipertentangkan). Adapun kaidah ghairu asasiah yang tidak dipertentangkan banyaknya ada empat puluh kaidah. Kaidah ini tidak asasi, tetapi keberadaannya tetap didudukkan sebagai kaidah yang penting dalam hukum islam, karena itu dalam kalangan fuqaha’ sepakat kehujjahan kaidah ini.
Dengan berpijak pada kaidah 40 ini akan dapat menentukan berbagai macam hukum fara’ ( fiqh ) yang tak terhingga. Tentu saja kaidah ini tidak terlepas dari sumber hukum, baik alqur’an maupun al sunnah. Karena itulah kaidah ini disebut sebagai kaidah kulliah (kaidah-kaidah universal).[6]
Dari 40 kaidah tersebut, ditemukan 8 kaidah yang berhubungan dengan kegitan muamalah, namun hanya akan dijelaskan 4 kaidah. Kaidah-kaidah itu ialah:
1.         Kaidah keempat
الَتَّا بِعُ تَا بِعٌ
“ Pengikut itu adalah mengikuti”
Artinya sesuatu yang mengikuti kepada yang lain, maka hukumnya adalah hukum yang diikuti.
Masuk dalam kaidah ini ialah:
١) الَتَّا بِعُ لاَ يَفْرُدُ بِاْلحُكْمِ
“Pengikut hukumnya tidak tersendiri”
Hal ini karena hukum yang ada pada “yang diikuti” berlaku juga untuk yang mengikuti. Contohnya:
1)   Jual beli binatang yang sedang bunting. Jadi anak yang ada di dalam kandungannya termasuk ke dalam akad tersebut. Ia tidak boleh dijual maupun dihibahkan secara terpisah dari induknya. [7]
2)   Ulat yang ada di dalam buah-buahan, seperti ulat di dalam biji pete, jengkol, alpukat, apel dan sayur-sayuran, boleh dimakan asalkan tidak disendirikan tu dipisahkan.
3)   Jula beli tanah. Tanaman apapun yang ada di dalamnya termasuk jual beli itu. Kecuali bila diadakan transaksi tersendiri.
٢) التَّا بِعُ سَاقِطٌ بِسُقُوْطِ اْلمَتْبُوْعِ
“Pengikut menjadi gugur dengan gugurnya yang diikuti”
Maksdunya, apabila suatu hukum yang diikuti gugur, maka gugur pula hukum yang mengikuti.
Contohnya: Karena adanya sebab-sebab tertentu sakit atau luka misalnya, orang tersebut boleh tidak membasuh muka saat berwudlhu, oleh sebab itu ia tidak disunnatkan lagi untuk membasuh bagian muka lainnya yang tidak luka semata-semata untuk mencapai kesempurnaan wudlu, karena membasuh muka telah gugur, gugur pula membasuh bagian-bagianyang berdekatan dengan muka. Namun ada pengecualian, yaitu lengan yang terputus sampai sebatas siku. Kesunnatan membasuh bagian atas siku masih berlaku untuk memperoleh kesempurnaan, sebab lengan sebagian anggota yang wajib dibasuh sudah tidak ada (terputus) tetapi sisa bagian atasnya masih ada. Jadi seperti orang yang sedang ihram tetapi kepalanya botak tidak memiliki rambut sama sekali, masih disunnatkan mencukur rambut secara simbolis dengan menggerak-gerakkan pisau cukur di atas kepalanya yang botak.[8]
Kaidah yang dekat kaidah di atas adalah:
٣) اْلفَرْعُ يَسْقُطُ اِذَا سَقَطَ اْلاَصْلُ.
“Cabang menjadi jatuh apabila pokoknya jatuh”
Contonya: Ayah tiri tidak wajib memberikan nafkah pada anak tirinya jika ibunya sudah ditalak, karena kewajiban memberi nafkah anak tiri itu sebagai cabang dari kewajiban member nafkah si ibu.
٤)التَّا بِعُ لاض يَتَقَدَّ مُ عَلىَ اْلمَتْبُوْعِ.
“Pengikut itu tidak mendahului yang diikuti”
Jadi maksudnya yang diikuti harus lebih dahulu dari yang mengikuti.
Contoh:  
1.         Makmum tidak boleh mendahului imam, baik tempat berdirinya, takbiratul ihram atau pun salamnya. Begitu juga gerakan-gerakan imam pada waktu ruku’, dan bangun daripadanya, pada waktu sujud dan bangkit daripadanya, makmum tidak boleh mendahului.
2.         Shalat berjama’ah terdiri dari beberapa shaf yang banyak sekali lazimnya memerlukan seorang makmum sebagai penyambung antara imam dengan makmum di shaf-shaf bagian belakang. Maka makmum tidak boleh mendahului takbiratul ihramnya makmum yang bertugas sebagai penghubung tersebut.
يُغْتَفَرُ فِى التَّوَابِعِ مَا لَايُغْتَفَرَ فِى غَيْرِهَا. ٥)
“Dapat dimaafkan pada hal-hal yang mengikuti, tidak dimaafkan pada yang lainnya”.
Dekat dengan kaidah di atas:
٦) يُغْتَفَرُفِى الشَّيْءِ ضِمْنًاماَلاَيُغْتَفَرُ فِيْهِ قَصْدًا.
“Sesuatu itu dapat dimaafkan karena terkait yang lain, tidak dapat dimaafkan karena sengaja”.
Kadang-kadang dikatakan:
٧) يُغْتَفَرُ فِي الثَّوَانِى مَالاَ يُغْتَفَرُ فِى الاَ وَائِلِ.
Dapat dimaafkan bagi yang meniru, tidak demikian bagi yang memulai”.
Contoh:
1.      Serambi (yang mengelilingi) masjid adalah bagian yang tak terpisahkan dengan masjid sehingga tidak terlepas dari arti masjid, namun dalam hal i’tikaf tidak termasuk sebagai masjid, sehingga karenanya tidak sah i’tikaf di sana.
2.      Orang yang sedang ihram tidak sah nikah, tetapi sah rujuknya, karena adanya rujuk setelah adanya nikah.
3.      Sujud tilawah dalam shalat pasti boleh di atas kendaraan, tetapi kalau tidak dalam shalat diperselisihkan (bolehnya), karena merupakan perbuatan.
4.      Jual beli tanaman muda tidak boleh melainkan harus ditebas atau ditebang seketika. Dan jika menjual sebidang tanah maka tanaman apapun yang ada di dalamnya biar masih muda sekalupun boleh, karena tanaman-tanaman tersebut ikut terjual.
5.      Hal 1 syawal berdasarkan ru’yat tidak bisa ditetapkan kecuali harus ada dua orang saksi. Tetapi bila berpuasa Ramadlan dengan dasar ru’yat setelah tiga puluh hari berpuasa, maka keesokan harinya harus berhari raya walaupun tanpa ru’yat.
2.    Kaidah keenam
اْلحُدُوْدُ تَسْقُطُ بِالشُّبُهَاتِ.
“Hukuman-hukuman itu gugur karena syubhat”
Artinya suatu kasus yang belum bisa dibuktikan secara faktual sebagai suatu tindak pelanggaran, tersangka tidak bisa dijatuhi hukuman. Karena untuk memvonis pelaku tindak kriminalitas (jarimah) seorang hakim memerlukan bukti-bukti memerlukan bukti-bukti objektif yang menyakinkan.
Kaidah ini berasal dari sabda Nabi:
اِدْرَؤُااْلحُدُوْدَبِا لشُّبُهَا تِ.
“Hindarkanlah hukuman-hukuman karena adanya syubhat”.

اِدْرَؤُااْلحُدُوْدَ عَنِ الْمُسْلِمِيْنَ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنْ وَجَدْتُمْ لِلْمُسْلِمِ مَخْرَجًا فَخَلُّوْا سَبِلَهُ فَإِنَّ الْاِمَامَ لَاَنْ يُخْطِئَ فِى الْعَفْوِ خَيْرٌ مِنْ اَنْ يُخْطِئَ فِى الْعُقُوْبَةِ (رواه الترمذى والحاكم عن عائشة)
 “Hindarkanlah hukuman-hukuman dari kaum muslimin sedapat-dapatmu, apabila kamu sekalian mendapatkan jalan keluar bagi orang-orang muslim (agar terhindar dari had) maka berikanlah jalannya, karena sesungguhnya imam (hakim) salah dalam rangka memberi maaf itu lebih baik dari pada salah dalam rangka memberikan hukuman”.

Hudud bentuk jama’ dari had. Menurut bahasa Had sama dengan Larangan, sedang menurut syara’ sama dengan hukuman atas sesuatu pelanggaran.
Untuk menetapkan adanya syubhat diperlukan sekali penelitian yang mendetail, jika tidak, tidak akan bisa dijatuhkan selama masih terdapat kesyubhat pada subyek (syubhat fil-fa’il), subhat pada obyek (syubhat fil mahal) ataupun syubhat pada prosedur (syubhat fith thariq).

Contoh: Orang mencuri harta milik anaknya. Anak dan apa yang dimilikinya, orang tua pada hakikatnya ikut memiliki. Atau sebaliknya, anak mencuri harta orang tuanya. Orang tua dan apa yang menjadi miliknya sebenarnya anak ikut memiliki. (syubhat fil mahall).
Kesyubhaan di sini terdapat pada perasaan masing-masing ikut memiliki. Kesyubhatan tersebut memiliki perbedaan pandangan dan pendapat para ahli fiqh.
Masuk dalam kaidah ini ialah:
اَلْكَفَّارَةُ تَسْقُطُ بِا لشُّبُهَاتِ
“Kewajiban membayar kafarat gugur karena adanya syubhat”.
Contoh: Orang melakukan persetubuan pada waktu puasa Ramadhan karena lupa, tidak wajib membayar kafarat.
Demikian pula misalnya karena beranggapan sudah terbenam matahari, tetapi ternyata belum.
3.    Kaidah kedelapan
اَلْحَرِيْمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَحَرِيْمٌ لَهُ
“Yang mengelilingi larangan hukumnya sama dengan yang dikelilingi”.
Contohnya: jual beli berhadiah.
Dasar dari kaidah ini ialah Hadits Nabi:
اَلْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَااُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لَايَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ. فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِاسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوْ شِكُ اَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ (رواه الشيخان عن النعمان بن بشر)
 “Yang halal telah jelas dan yang haram telah jelas, dan di antara keduanya ada masalah-masalah mutasyabihaat (yang tidak jelas hukumnya), yang kebanyakan orang tidak mengetahui hukumnya. Maka barangsiapa yang menjaga diri dari syubhat, berarti ia telah membersihkan agama dan dirinya; dan barangsiapa yang jatuh ke dalam syubhat berarti dia telah jatuh kepada keharaman, seperti seorang penggembala yang menggembala di sekitar pagar dari larangan, dikhawatirkan akan melanggar (memasuki) ke dalam pagar”.

كُلُّ مُحْرَمٍ لَهُ تُحِيْطُ بِهِ, وَالْحَرِيْمُ هُوَالْمُحِيْطُ بِالْحَرَامِ كَالْفَخِذَيْنِ فَاِنَّهُمَا حَرِيْمٌ لِلْعَوْرَةِ اْلكُبْرَى. وَحَرِيْمُ اْلوَاجِبِ مَالَايَتِمُّ الْوَاجِبُ اِلَّابِهِ. وَمِنْ ثَمَّ وَجَبَ غَسْلُ جُزْءٍ مِنَ الرَّقَبَةِ وَالرَّأْسِ مَعَ الْوَجْهِ, وَغسْلُ جُزْءٍ مِنَ اْلعَضُدِ وَالسَّاقِ مَعَ الذِّرَاعِ وَسَتْرُ جُزْءٍ مِنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ وَيُحْرَمُ الْاِسْتِمْتَاعُ بِمَابَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ مَعَ اْلعَوْرَةِ فِى اْلحَيْضِ لِحُرْ مَةِ الْفَرْجِ
“Setiap yang diharamkan itu tentu mempunyai harim yang mengelilingi sesuatu yang haram; seperti dua belah paha yang mengelilingi aurat besar. Harim dari sesuatu perbuatan wajib adalah sesuatu hal yang perbuatan wajib itu sendiri tidak akan sempurna kecuali kalau hal itu ikut serta dikerjakan. Oleh karena itu wajib mencuci sebagian leher dan kepala ketika mencuci muka; mencuci sebagian lengan (sebelah atas) dan sebagian betis ketika mencuci tangan (dan kaki), menutup sebagian pusat dan lutut (ketika menutup aurat). Dan haram istimta’ di antara pusat dan lutut ketika istri dalam keadaan haidi, karena terlarangnya istimta’ dengan kemaluan”.
4.    Kaidah kesebelas
اَلْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ
“Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian”.
Kaidah di atas sebenarnya adlah hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Aisyah ra.
Dasar kaidah ini ialah Hadis Nabi:
اِنَّ رَجُلًا اِبْتَاعَ عَبْدًا فَاَقَامَ عِنْدَهُ مَاشَاءَاللهُ اَنْ يُقِيْمَ, ثُمَّ وَجَدَبِهِ عَيْبًا فَخَا صَمَهُ اِلَى النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّهُ عَلَيْهِ فَقَالَ الرَّجُلُ : يَارَسُوْلَ اللهِ فَقَدِ اسْتَعْمَلَ غُلَامِى فَقَالَ: اَلْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ.
 “Bahwa seorang laki-laki menjual seorang budak, maka budak itu bermukmim di tempat pembeli dalam beberapa hari kemudian si pembeli mendapatkan cacat pada budak tersebut dan melaporkan kepada Nabi SAW, maka Nabi mengembalikan budak itu kepada laki-laki menjual. Maka berkatakanlah laki-laki itu: “Wahai Rasulullah, ia (pembeli) telah mempekerjakan (mengambil manfaat) terhadap budakku”. Rasulullah bersabda: “Hak mendapatkan hasil itu disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian”.
Menurut Abu Ubaid, yang dimaksud dengan الخراج pada hadits di atas adalah pekerjaan hamba yang telah dibeli oleh seseorang yang kemudian menyuruh agar hamba itu bekerja untuk waktu tertentu. Setelah diketahui adanya cacat yang disembunyikan oleh penjual, kemudian ia kembalikan pada penjual tersebut, dengan diambil seluruh uang sesuai harganya dan ia telah mendapatkan keuntungannya dengan memeperkerjakan hamba itu karena ia telah memberikan pembelanjaannya, dan bila ada kerugian maka ia yang rugi.[9]


D. PENUTUP
1. Kesimpulan
1)   Qawaidul fiqhiyah adalah “Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.
2)   Pada umumnya pembahasan qawaidul fiqhiyah berdasarkan pembagiannya, dibagi menjadi 2 yaitu: kaidah-kaidah asasiah dan kaidah-kaidah ghairu asasiah.
3)   Kaidah ghairu asasiah yang tidak dipertentangkan banyaknya ada empat puluh kaidah. Kaidah ini tidak asasi, tetapi keberadaannya tetap didudukkan sebagai kaidah yang penting dalam hukum islam, karena itu dalam kalangan fuqaha’ sepakat kehujjahan kaidah ini.
4)   Berikut 4 kaidah yang berhubungan dengan kegitan muamalah:
1.      Kaidah keempat
الَتَّا بِعُ تَا بِعٌ
“ Pengikut itu adalah mengikuti”
2.      Kaidah keenam
                        اْلحُدُوْدُ تَسْقُطُ بِالشُّبُهَاتِ.
“Hukuman-hukuman itu gugur karena syubhat”
3.      Kaidah kedelapan
        اَلْحَرِيْمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَحَرِيْمٌ لَهُ
“Yang mengelilingi larangan hukumnya sama dengan yang dikelilingi”.
4.      Kaidah kesebelas
اَلْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ
“Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian”.


[1] http://abufurqan.com/2011/01/17/pengertian-dan-ruang-lingkup-ushul-fiqih/
[2] http://chikalku.blogspot.com/2011/07/kaidah-kaidah-fiqh.html
[3] Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh: sejarah dan kaidah asasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), Halaman 6.
[4] Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: AMZAH, 2009), Halaman 1.
[5] Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Halaman105.
[6] Ibid.,Halaman 144.
[7] Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: AMZAH, 2009), Halaman 23.
[8] Abdul Mujib, Al-Qawaidul Fiqhiyah, (Malang: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, 1978), Hal. 58-59.
[9] Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Halaman156.

0 komentar :

Posting Komentar