40 Qawaid Fiqhiyyah Aghlabiyyah 1
Qawaid
Fiqhiyyah adalah
bagian dari ilmu fiqh. Ia memiliki hubungan erat dengan Al-Qur’an, Al-Hadis,
akidah dan akhlak. Kaidah Fikih merupakan
kaidah yang bersifat kulli yang dirumuskan dari masalah fur'iyah. Daya
berlakunya hanya bersifat aghlabi, yaitu berlaku untuk sebagian furu' saja.
Dengan demikian, dalam kaidah tersebut dimungkinkan masih ada beberapa masalah
yang dikecualikan atau dengan kata lain, masalah-masalah furu' yang tidak
diberi ketentuan hukumnya berdasarkan rumusan kaidah tersebut, maka ketentuan
hukumnya adalah ditentukan secara khusus oleh dalil-dalil yang ada dalam sumber
hukum Islam.
Pengertian Qawaidul fiqhiyah
adalah
“Suatu perkara kulli
(kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau
cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.
Qawaidul fiqhiyah
adalah kaidah-kaidah yang
disimpulkan secara general dari materi fiqh dan kemudian digunakan pula untuk
menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumya di
dalam nash. Kaidah-kaidah fiqh sering digunakan di dalam tathbiq
al-ahkam yaitu penerapan hukum atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang
kehidupan manusia.[1]
Qawaidul fiqhiyah
dibentuk dengan cara berpikir deduktif, yaitu ia
dibentuk berdasarkan berbagai dalil yang kemudian dihubungkan dengan berbagai
bab dan subbab fiqh sehingga ia memiliki cakupan yang luas.[2]
Prinsip
Qawaidul fiqhiyah adalah
aglabiyat, aksariyat, atau pada umumnya. Oleh karena itu, bilamana ada
penyimpangan dari kaidah tersebut dianggap tidak dapat mengubah kaidah yang
telah dibuat.[3]
Sedangkan objek kajian Qawaidul
fiqhiyah adalah perbuatan manusia
yang menjadi subjek hukum (mukallaf). [4]
Pada umumnya pembahasan
qawaidul fiqhiyah berdasarkan pembagian kaidah-kaidah asasiah dan kaidah-kaidah
ghairu asasiah. Kaidah-kaidah asasiah
adalah kaidah yang disepakati oleh Imam Mazhab tanpa diperselisihkan
kekuatannya, jumlah kaidah asasiah ada 5 macam. Sedangkan kaidah ghairu asasiah adalah kaidah yang merupakan pelengkap dari
kaidah asasiah, walaupun keabsahannya masih tetap diakui. [5]
Kaidah ghairu asasiah
ada dua macam, yaitu kaidah ghairu
asasiah al muttafaqah (yang tidak dipertentangkan), dan kaidah ghairu asasiah al Mukhtalafah
(yang dipertentangkan). Adapun kaidah ghairu asasiah yang tidak dipertentangkan
banyaknya ada empat puluh
kaidah. Kaidah ini tidak asasi, tetapi keberadaannya tetap didudukkan sebagai
kaidah yang penting dalam hukum islam, karena itu dalam kalangan fuqaha’
sepakat kehujjahan kaidah ini.
Dengan berpijak pada
kaidah 40 ini akan dapat menentukan berbagai macam hukum fara’ ( fiqh ) yang
tak terhingga. Tentu
saja kaidah ini tidak terlepas dari sumber hukum, baik alqur’an maupun al
sunnah. Karena
itulah kaidah ini disebut sebagai kaidah
kulliah (kaidah-kaidah universal).[6]
Dari
40 kaidah tersebut, ditemukan 8 kaidah yang berhubungan dengan kegitan
muamalah, namun hanya akan dijelaskan 4 kaidah. Kaidah-kaidah itu ialah:
1.
Kaidah keempat
الَتَّا بِعُ تَا بِعٌ
“
Pengikut itu adalah mengikuti”
Artinya sesuatu yang mengikuti kepada yang lain, maka hukumnya adalah
hukum yang diikuti.
Masuk dalam kaidah ini ialah:
١) الَتَّا بِعُ لاَ يَفْرُدُ بِاْلحُكْمِ
“Pengikut hukumnya tidak
tersendiri”
Hal ini karena hukum yang ada pada “yang diikuti” berlaku juga untuk
yang mengikuti. Contohnya:
1)
Jual beli binatang yang sedang bunting. Jadi
anak yang ada di dalam kandungannya termasuk ke dalam akad tersebut. Ia tidak
boleh dijual maupun dihibahkan secara terpisah dari induknya. [7]
2)
Ulat yang ada di dalam buah-buahan, seperti ulat
di dalam biji pete, jengkol, alpukat, apel dan sayur-sayuran, boleh dimakan
asalkan tidak disendirikan tu dipisahkan.
3)
Jula beli tanah. Tanaman apapun yang ada di
dalamnya termasuk jual beli itu. Kecuali bila diadakan transaksi tersendiri.
٢) التَّا بِعُ سَاقِطٌ بِسُقُوْطِ اْلمَتْبُوْعِ
“Pengikut
menjadi gugur dengan gugurnya yang diikuti”
Maksdunya, apabila suatu hukum yang diikuti gugur, maka gugur pula hukum
yang mengikuti.
Contohnya: Karena adanya sebab-sebab tertentu sakit atau luka misalnya,
orang tersebut boleh tidak membasuh muka saat berwudlhu, oleh sebab itu ia
tidak disunnatkan lagi untuk membasuh bagian muka lainnya yang tidak luka
semata-semata untuk mencapai kesempurnaan wudlu, karena membasuh muka telah
gugur, gugur pula membasuh bagian-bagianyang berdekatan dengan muka. Namun ada
pengecualian, yaitu lengan yang terputus sampai sebatas siku. Kesunnatan
membasuh bagian atas siku masih berlaku untuk memperoleh kesempurnaan, sebab
lengan sebagian anggota yang wajib dibasuh sudah tidak ada (terputus) tetapi
sisa bagian atasnya masih ada. Jadi seperti orang yang sedang ihram tetapi
kepalanya botak tidak memiliki rambut sama sekali, masih disunnatkan mencukur
rambut secara simbolis dengan menggerak-gerakkan pisau cukur di atas kepalanya
yang botak.[8]
Kaidah yang dekat kaidah di atas adalah:
٣) اْلفَرْعُ يَسْقُطُ اِذَا سَقَطَ اْلاَصْلُ.
“Cabang
menjadi jatuh apabila pokoknya jatuh”
Contonya: Ayah tiri tidak wajib memberikan nafkah pada anak tirinya jika
ibunya sudah ditalak, karena kewajiban memberi nafkah anak tiri itu sebagai
cabang dari kewajiban member nafkah si ibu.
٤)التَّا بِعُ لاض يَتَقَدَّ مُ عَلىَ اْلمَتْبُوْعِ.
“Pengikut
itu tidak mendahului yang diikuti”
Jadi maksudnya yang diikuti harus lebih dahulu dari yang mengikuti.
Contoh:
1.
Makmum tidak boleh mendahului imam, baik tempat
berdirinya, takbiratul ihram atau pun salamnya. Begitu juga gerakan-gerakan
imam pada waktu ruku’, dan bangun daripadanya, pada waktu sujud dan bangkit
daripadanya, makmum tidak boleh mendahului.
2.
Shalat
berjama’ah terdiri dari beberapa shaf yang banyak sekali lazimnya memerlukan
seorang makmum sebagai penyambung antara imam dengan makmum di shaf-shaf bagian
belakang. Maka makmum tidak boleh mendahului takbiratul ihramnya makmum yang
bertugas sebagai penghubung tersebut.
يُغْتَفَرُ
فِى التَّوَابِعِ مَا لَايُغْتَفَرَ فِى غَيْرِهَا. ٥)
“Dapat dimaafkan pada hal-hal yang mengikuti, tidak
dimaafkan pada yang lainnya”.
Dekat
dengan kaidah di atas:
٦) يُغْتَفَرُفِى الشَّيْءِ ضِمْنًاماَلاَيُغْتَفَرُ
فِيْهِ قَصْدًا.
“Sesuatu itu dapat dimaafkan karena terkait yang
lain, tidak dapat dimaafkan karena sengaja”.
Kadang-kadang
dikatakan:
٧) يُغْتَفَرُ فِي الثَّوَانِى مَالاَ
يُغْتَفَرُ فِى الاَ وَائِلِ.
“Dapat
dimaafkan bagi yang meniru, tidak demikian bagi yang memulai”.
Contoh:
1. Serambi (yang mengelilingi) masjid
adalah bagian yang tak terpisahkan dengan masjid sehingga tidak terlepas dari
arti masjid, namun dalam hal i’tikaf tidak termasuk sebagai masjid, sehingga
karenanya tidak sah i’tikaf di sana.
2. Orang yang sedang ihram tidak sah nikah,
tetapi sah rujuknya, karena adanya rujuk setelah adanya nikah.
3. Sujud tilawah dalam shalat pasti boleh
di atas kendaraan, tetapi kalau tidak dalam shalat diperselisihkan (bolehnya),
karena merupakan perbuatan.
4. Jual beli tanaman muda tidak boleh
melainkan harus ditebas atau ditebang seketika. Dan jika menjual sebidang tanah
maka tanaman apapun yang ada di dalamnya biar masih muda sekalupun boleh,
karena tanaman-tanaman tersebut ikut terjual.
5. Hal 1 syawal berdasarkan ru’yat tidak
bisa ditetapkan kecuali harus ada dua orang saksi. Tetapi bila berpuasa
Ramadlan dengan dasar ru’yat setelah tiga puluh hari berpuasa, maka keesokan
harinya harus berhari raya walaupun tanpa ru’yat.
2.
Kaidah keenam
اْلحُدُوْدُ تَسْقُطُ بِالشُّبُهَاتِ.
“Hukuman-hukuman
itu gugur karena syubhat”
Artinya suatu kasus yang belum bisa dibuktikan secara faktual sebagai
suatu tindak pelanggaran, tersangka tidak bisa dijatuhi hukuman. Karena untuk
memvonis pelaku tindak kriminalitas (jarimah) seorang hakim memerlukan
bukti-bukti memerlukan bukti-bukti objektif yang menyakinkan.
Kaidah ini berasal dari sabda Nabi:
اِدْرَؤُااْلحُدُوْدَبِا
لشُّبُهَا تِ.
“Hindarkanlah
hukuman-hukuman karena adanya syubhat”.
اِدْرَؤُااْلحُدُوْدَ
عَنِ الْمُسْلِمِيْنَ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنْ وَجَدْتُمْ لِلْمُسْلِمِ مَخْرَجًا
فَخَلُّوْا سَبِلَهُ فَإِنَّ الْاِمَامَ لَاَنْ يُخْطِئَ فِى الْعَفْوِ خَيْرٌ
مِنْ اَنْ يُخْطِئَ فِى الْعُقُوْبَةِ (رواه الترمذى والحاكم عن عائشة)
“Hindarkanlah hukuman-hukuman dari kaum
muslimin sedapat-dapatmu, apabila kamu sekalian mendapatkan jalan keluar bagi
orang-orang muslim (agar terhindar dari had) maka berikanlah jalannya, karena
sesungguhnya imam (hakim) salah dalam rangka memberi maaf itu lebih baik dari
pada salah dalam rangka memberikan hukuman”.
Hudud bentuk jama’ dari had. Menurut
bahasa Had sama dengan Larangan, sedang menurut syara’ sama dengan hukuman atas
sesuatu pelanggaran.
Untuk menetapkan adanya syubhat
diperlukan sekali penelitian yang mendetail, jika tidak, tidak akan bisa
dijatuhkan selama masih terdapat kesyubhat pada subyek (syubhat fil-fa’il),
subhat pada obyek (syubhat fil mahal) ataupun syubhat pada prosedur (syubhat
fith thariq).
Contoh: Orang mencuri harta
milik anaknya. Anak dan apa yang dimilikinya, orang tua pada hakikatnya ikut
memiliki. Atau sebaliknya, anak mencuri harta orang tuanya. Orang tua dan apa
yang menjadi miliknya sebenarnya anak ikut memiliki. (syubhat fil mahall).
Kesyubhaan
di sini terdapat pada perasaan masing-masing ikut memiliki. Kesyubhatan tersebut
memiliki perbedaan pandangan dan pendapat para ahli fiqh.
Masuk dalam kaidah ini ialah:
اَلْكَفَّارَةُ تَسْقُطُ بِا لشُّبُهَاتِ
“Kewajiban membayar
kafarat gugur karena adanya syubhat”.
Contoh:
Orang melakukan persetubuan pada waktu puasa Ramadhan karena lupa, tidak wajib
membayar kafarat.
Demikian pula misalnya
karena beranggapan sudah terbenam matahari, tetapi ternyata belum.
3.
Kaidah kedelapan
اَلْحَرِيْمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَحَرِيْمٌ
لَهُ
“Yang mengelilingi
larangan hukumnya sama dengan yang dikelilingi”.
Contohnya: jual beli berhadiah.
Dasar
dari kaidah ini ialah Hadits Nabi:
اَلْحَلَالُ
بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَااُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لَايَعْلَمُهُنَّ
كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ. فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِاسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ
وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى يَرْعَى
حَوْلَ الْحِمَى يُوْ شِكُ اَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ (رواه الشيخان عن النعمان بن بشر)
“Yang halal telah jelas dan yang
haram telah jelas, dan di antara keduanya ada masalah-masalah mutasyabihaat
(yang tidak jelas hukumnya), yang kebanyakan orang tidak mengetahui hukumnya.
Maka barangsiapa yang menjaga diri dari syubhat, berarti ia telah membersihkan
agama dan dirinya; dan barangsiapa yang jatuh ke dalam syubhat berarti dia
telah jatuh kepada keharaman, seperti seorang penggembala yang menggembala di
sekitar pagar dari larangan, dikhawatirkan akan melanggar (memasuki) ke dalam
pagar”.
كُلُّ مُحْرَمٍ لَهُ تُحِيْطُ
بِهِ, وَالْحَرِيْمُ هُوَالْمُحِيْطُ بِالْحَرَامِ كَالْفَخِذَيْنِ فَاِنَّهُمَا حَرِيْمٌ
لِلْعَوْرَةِ اْلكُبْرَى. وَحَرِيْمُ اْلوَاجِبِ مَالَايَتِمُّ الْوَاجِبُ اِلَّابِهِ.
وَمِنْ ثَمَّ وَجَبَ غَسْلُ جُزْءٍ مِنَ الرَّقَبَةِ وَالرَّأْسِ مَعَ الْوَجْهِ,
وَغسْلُ جُزْءٍ مِنَ اْلعَضُدِ وَالسَّاقِ مَعَ الذِّرَاعِ وَسَتْرُ جُزْءٍ مِنَ
السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ وَيُحْرَمُ الْاِسْتِمْتَاعُ بِمَابَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ
مَعَ اْلعَوْرَةِ فِى اْلحَيْضِ لِحُرْ مَةِ الْفَرْجِ
“Setiap yang
diharamkan itu tentu mempunyai harim yang mengelilingi sesuatu yang haram;
seperti dua belah paha yang mengelilingi aurat besar. Harim dari sesuatu
perbuatan wajib adalah sesuatu hal yang perbuatan wajib itu sendiri tidak akan
sempurna kecuali kalau hal itu ikut serta dikerjakan. Oleh karena itu wajib
mencuci sebagian leher dan kepala ketika mencuci muka; mencuci sebagian lengan
(sebelah atas) dan sebagian betis ketika mencuci tangan (dan kaki), menutup
sebagian pusat dan lutut (ketika menutup aurat). Dan haram istimta’ di antara
pusat dan lutut ketika istri dalam keadaan haidi, karena terlarangnya istimta’
dengan kemaluan”.
4.
Kaidah kesebelas
اَلْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ
“Hak mendapatkan hasil
disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian”.
Kaidah
di atas sebenarnya adlah hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Ahmad, Abu
Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Aisyah ra.
Dasar
kaidah ini ialah Hadis Nabi:
اِنَّ
رَجُلًا اِبْتَاعَ عَبْدًا فَاَقَامَ عِنْدَهُ مَاشَاءَاللهُ اَنْ يُقِيْمَ, ثُمَّ
وَجَدَبِهِ عَيْبًا فَخَا صَمَهُ اِلَى النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَرَدَّهُ عَلَيْهِ فَقَالَ الرَّجُلُ : يَارَسُوْلَ اللهِ فَقَدِ اسْتَعْمَلَ
غُلَامِى فَقَالَ: اَلْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ.
“Bahwa seorang laki-laki menjual seorang
budak, maka budak itu bermukmim di tempat pembeli dalam beberapa hari kemudian
si pembeli mendapatkan cacat pada budak tersebut dan melaporkan kepada Nabi
SAW, maka Nabi mengembalikan budak itu kepada laki-laki menjual. Maka
berkatakanlah laki-laki itu: “Wahai Rasulullah, ia (pembeli) telah
mempekerjakan (mengambil manfaat) terhadap budakku”. Rasulullah bersabda: “Hak
mendapatkan hasil itu disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian”.
Menurut Abu Ubaid, yang dimaksud dengan الخراج pada hadits di atas adalah pekerjaan hamba yang telah dibeli
oleh seseorang yang kemudian menyuruh agar hamba itu bekerja untuk waktu
tertentu. Setelah diketahui adanya cacat yang disembunyikan oleh penjual,
kemudian ia kembalikan pada penjual tersebut, dengan diambil seluruh uang
sesuai harganya dan ia telah mendapatkan keuntungannya dengan memeperkerjakan
hamba itu karena ia telah memberikan pembelanjaannya, dan bila ada kerugian
maka ia yang rugi.[9]
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
1)
Qawaidul fiqhiyah adalah “Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang
berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang
dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.
2)
Pada
umumnya pembahasan qawaidul fiqhiyah berdasarkan pembagiannya, dibagi menjadi 2 yaitu:
kaidah-kaidah asasiah dan kaidah-kaidah ghairu asasiah.
3) Kaidah ghairu asasiah yang
tidak dipertentangkan banyaknya ada empat puluh kaidah. Kaidah ini tidak asasi,
tetapi keberadaannya tetap didudukkan sebagai kaidah yang penting dalam hukum
islam, karena itu dalam kalangan fuqaha’ sepakat kehujjahan kaidah ini.
4)
Berikut 4 kaidah yang berhubungan dengan kegitan muamalah:
1.
Kaidah keempat
الَتَّا بِعُ تَا بِعٌ
“ Pengikut
itu adalah mengikuti”
2.
Kaidah keenam
اْلحُدُوْدُ تَسْقُطُ بِالشُّبُهَاتِ.
“Hukuman-hukuman
itu gugur karena syubhat”
3.
Kaidah kedelapan
اَلْحَرِيْمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَحَرِيْمٌ
لَهُ
“Yang
mengelilingi larangan hukumnya sama dengan yang dikelilingi”.
4.
Kaidah kesebelas
اَلْخَرَاجُ
بِالضَّمَانِ
“Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan
menanggung kerugian”.
[2]
http://chikalku.blogspot.com/2011/07/kaidah-kaidah-fiqh.html
[3] Jaih Mubarok, Kaidah
Fiqh: sejarah dan kaidah asasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), Halaman
6.
[4] Nashr
Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: AMZAH, 2009), Halaman 1.
[5] Muchlis
Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan
Fiqhiyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Halaman105.
[7] Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad
Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta:
AMZAH, 2009), Halaman 23.
[8] Abdul Mujib, Al-Qawaidul Fiqhiyah, (Malang: Fakultas
Tarbiyah IAIN Sunan
Ampel, 1978), Hal. 58-59.
[9] Muchlis Usman, Kaidah-kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Halaman156.
0 komentar :
Posting Komentar