BAB
II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Munasakhah
Bila
terjadi seseorang meninggalkan sejumlah harta pusaka serta beberapa orang ahli
waris, kemudian sebelum harta pusaka yang ditinggalkan itu dibagikan kepada
ahli waris yang berhak menerimanya secara ilmu Faraidh, menyusul salah seorang
waris yang seharusnya mendapat bagian harta pusaka tersebut meninggal dunia
pula, maka dalam kasus seperti itu disebut munaasakhah.[1]
Kata
munaasakha ( منا سخة) berasal dari “nasakha” ) نسخ) yang artinya
menghapus, memindahkan, mengalihkan, maka menurut bahasa kata “munaasakhah”
artinya penghapusan pemindahan sesuatu dan pengalihannya dari seseorang kepada
yang lain.[2]
Menurut ilmu
mawaris, munaasakhah ialah kematian seseorang yang sebelum harta peninggalannya
dibagi terjadi kematian seseorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak
mewarisinya sedemikian rupa sehingga terjadi pemindahan bagian sebagian ahli
warisnya lantaran dia meninggal dunia sebelum pembagian harta pusaka yang
meninggal terdahulu dilaksanakan.
Mengenai
al-munaasakhah ini para ulama mendefinisikannya, sebagai berikut:
أَنْ
يَنْتَقِلَ نَصِيْبُ بَعْضِ الْوَرَثَةِ قَبْلَ قِسْمَةِ التِّرْكَةِإِلَى مَنْ
يَرِثُ مِنْهُ.
“Berpindahnya bagian penerimaan ahli waris
karena kematiannya sebelum pelaksanaan pembagian tirkah (yang seharusnya ia
terima) kepada para ahli warisnya” (yusuf Musa,1959:371)
اِنْتِقَالُ
نَصِيْبِ أَحَدِ الْوَرَثَةِ بِسَبَبِ مَوْتِهِ إِلَى وَارِثِهِ قَبْلَ
الْقِسْمَةِ.
“Berpindahnya bagian salah seorang ahli
waris kepada ahli waris lain,karena mati sebelm pelaksanaan pembagian
warisan.”(lihat wahab Afifi 1984:103)
هِيَ
نَقْلُ إِرْثِ مَيِّتٍ إِلَى مَنْ يَرِثُهُ مِنَ اْلاَحْيَاءِ ثُمَّ مَوْتِ ثَانِ
أَوْثَالِثِ قَبْلَ تَقْسٍيْمِ التِّرْكَةِ
“yaitu,pemindahan harta warisan orang
yang meninggal dunia kepada para ahli warisnya yang masih hidup,kemudian (ahli
waris) kedua atau ketiga meninggal dunia sebelum pelaksanaan pembagian harta
warisan”. (al-Jawad,1985:30)
أَنْ
يَمُوْتَ وَاحِدٌ فَأَكْثَرُ مِنْ وَرَثَةِ الْمَيِّتِ اْلأَوَّلِ قَبْلَ قِسْمَةِ
“meninggalnya seorang atau lebih para
ahli waris dari mawaris pertama sebelum pelaksanaan pembagian warisan”.
(al-Khatrawy,t.t:56)
Dari uraian diatas
dapatlah dipahami bahwa al-munaasakhah adalah hal pemindahan bagian
penerimaan seorang atau beberapa ahli waris kepada ahli warisnya karena ia
meninggal dunia sebelum mendapatkan bagian penerimaan harta peninggalan yang
seharusnya ia atau mereka terima.[3]
Dengan
demikian masalah munaasakhah harus mengandung empat unsur,yaitu:
1. Harta
pusaka si mayit belum dibagi-bagikan kepada ahli waris menurut ketentuan
pembagian harta pusaka.
2. Terjadinya
kematian seorang atau beberapa orang ahli warisnya.
3. Pemindahan
bagian harta pusaka dari orang yang mati kemudian kepada ahli waris yang lain
atau kepada ahli warisnya yang semula tidak menjadi ahli waris terhadap orang
yang meninggal terdahulu.
4. Pemindahan
bagian ahli waris yang meninggal dunia kepada ahli warisnya haruslah dengan
jalan mempusakai, sebab jika pemindahan tersebut karena pembelian, pemberian,
atau hadiah, yang demikian itu diluar
pembahasan masalah munaasakhah.
Dengan
memperhatikan pengertian munaasakhah tersebut di atas, maka munaasakhah
itu mempunyai dua bentuk yaitu:
a. Ahli
waris yang bakal menerima pemindahan bagian pusaka dari orang yang meninggal
belakangan adalah juga termasuk ahli waris yang meninggal dunia terdahulu.
b. Ahli
waris yang bakal menerima pemindahan bagian pusaka dari orang yang meninggal
belakangan adalah ahli waris dari orang yang meninggal terdahulu.
Dalam
munaasakahah bentuk pertama tidak mengalami kesulitan,sebab dalam
masalah tersebut tidak memerlukan adanya pembagian harta pusaka dua kali, yakni
pembagian harta pusaka orang yang meninggal terdahulu kemudian membagi harta
pusaka si mati,kemudian ahli waris kedua orang itu sama saja bukan orang lain.
Oleh
karena itu, cukuplah kiranya dengan membagikan harta pusaka si
mayit terdahulu kepada
ahli waris yang ada dengan menganggap bahwa si mayit yang belakangan tidak
hidup disaat kematian si mayit yang pertama,sebagaimana dikumpulkannya harta
pribadi si mayit belakangan selain yang diwarisinya dari si mati yang pertama dengan
jumlah harta pusaka yang meninggal terdahulu itu.[4]
Misalnya
seorang meninggal dunia meninggalkan harta warisan atau uang sejumlah
Rp900.000,00 (Sembilan ratus ribu rupiah),ahli warisnya terdiri dari 2 orang
anak laki-laki yaitu Ahmad dan Hamid,dan juga 2 anak perempuan,yaitu Aisyah dan
Fatimah. Sebelum harta pusaka dibagi kepada empat orang anak tersebut,mendadak
Ahmad meninggalkan ahli waris selain Hamid,Aisyah,dan Fatimah tersebut. Dalam
kasus seperti ini pembagian cukup sekali saja. Uang tersebut dibagikan kepada
ketiga orang tersbut dengan perbandinga
2:1:1(ashabah bi ghair).
Dengan
demikian,penerimaan masing-masing adalah:
1) Hamid
mendapat 2/4 x Rp900.000,00 =
Rp450.000,00
2) Aisyah
mendapat ¼ x Rp900.000,00 =
Rp225.000,00
3) Fatimah
mendapat ¼ x Rp900.000,00 = Rp225.000,00
Jumlah
………………………………………….= Rp900.000,00
Andaikan
si Ahmad tersebut juga meninggalkan harta pusaka sebesar Rp100.000,00 dan tidak
mempunyai ahli waris selain ketiga saudara itu, maka harta pusaka peninggalan
si Ahmad di satukan dengan harta pusaka si mayit pertama hingga menjadi Rp 900.000,00
+ Rp100.000,00 = Rp 1.000.000,00.
Dengan
demikian,perolehan masing-masing ahli waris adalah:
1) Hamid
mendapat 2/4xRp1.000.000,00 =
Rp500.000,00
2) Aisyah
mendapat 1/4xRp1.000.000,00
=Rp250.000,00
3) Fatimah
mendapat 1/4xRp1.000.000,00
=Rp250.000,00
Dalam
munaasakhah bentuk kedua,yakni ahli waris si mayit kedua bukan ahli
waris si mayit pertama,maka cara penyelesaiannya,pertama-tama harta pusaka
peninggalan si mayit pertama dibagikan kepada ahli warisnya,dalam hal ini yang
meninggal dunia (belakangan)diperhitungkan masih hidup waktu meinggalnya si
mayit pertama,kemudian tahap berikutnya harta perolehan si mayit kedua
dibagikan kepada ahli warisnya sesuai dengan status masing-masing ahli waris
itu.
Secara
rinci kedudukan para ahli waris yang akan menerima pemindahan bagian penerimaan
dalam masalah al-Munaasakhah ini dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Seluruhnya
sebagai ahli waris orang yang meninggal duluan dengan kedudukan yang sama dalam
mewarisinya.
2. Seluruhnya
sebagai ahli waris orang yang meninggal duluan dengan kedudukan yang berbeda
dalam bagian warisannya.
3. Seluruhnya
bukan ahli waris orang yang meninggal duluan (hanya sebagai ahli waris orang
yang meninggal belakangan).
4. Sebagian
sebagai ahli waris orang yang meninggal duluan dan sebagian lainnya hanya
sebagai ahli waris orang yang meninggal belakangan.
Contoh
kasus munasakhah
Sebagai
contoh misalnya seorang meninggal dunia meninggalkan harta pusaka sebesar
Rp300.000,00. Ahli waris yang ditinggalkan terdiri dari seorang anak laki-laki
(A) dan seorang anak perempuan (B). Seblum dilakukan pembagian pusaka kepada
kedua orang anaknya itu mendadak A meninggal dunia dengan meninggalkan seorang
anak perempuan (C),yakni cucu dari yang meninggal pertama.
Penyelesaian
tahap pertama:
1.
Anak
laki-laki
(A)=2:2/3xRp300.000,00=Rp200.000,00
2.
Anak perempuan (B)=1
:1/3xRp300.000,00=Rp100.000,00
Jumlah
………………………………………...=Rp300.000,00
Penyelesaian
tahap kedua:
Bagian
A sebesar Rp200.000,00 dibagikan kepada ahli warisnya, perolehan masing-masing
ahli waris adalah:
1.
Anak perempuan (C) anak dari (A) 1/2x2=
1
2.
Saudari (B) 2-1 = 1
Jumlah:………………………………………= 2
Jadi bagian mereka masing-masing:
1.
Anak perempuan (C) 1/2 x Rp. 200.000,00= Rp. 100.000,00
2.
Saudari (B) 1/2 x Rp.
200.000,00= Rp. 100.000,00
Dengan
memperhatikan 2 tahap penyelesaian tesebut diatas akan tampak bahwa B pada
tahap pertama selaku anak perempuan dari yang meninggal pertama menjadi ashabah
dengan anak laki-laki dengan perbandingan 2:1 sebesar Rp. 100.000,00. Kemudian
dalam perhitungan tahap kedua dia bersatu sebagai saudara perempuan A mendapat ashabah
bersama-sama anak perempuan (C )sebesar Rp. 100.000.00 sehingga dari dua kali
pembagian itu (B) mendapat Rp.
100.000.00 + Rp. 100.000.00 = Rp. 200.000.00.
Dalam
hal ini C (anak perempuan A atau cucu si mayit yang pertama ) hanya mendapat
bagian sekali, yaitu pada tahap kedua, sebab pada tahap pertama (C) bukan ahli
waris yang berhak atas harta pusaka peningggalan si mati pertama, dia mendapat
bagian sebesar Rp. 100.000.00.
Dengan
demikian pada akhirnya dalam kasus munaasakhah ini B mendapat Rp.
200.000.00 sedangkan C mendapat Rp. 100.000.00.
2.
Munasakhah dalam KHI
Di dalam KHI, ketentuan
mengenai munasakhah diatur dalam Pasal 185, yaitu:
(1) Ahli waris yang
meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan
oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
(2) Bagian ahli waris
pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan
yang diganti.
3.
Analisis
Kasus pembagian harta waris dalam bentuk
munasakhah dapat diselelsaikan dengan dua cara;
Cara yang pertama menggunakan acuan
faraid, yaitu diselesaikan melalui tiga tahap:
Tahap pertama, penghitungan bagian harta
waris kepada ahli waris walaupun salah satu ahli waris meninggal namun tetap
dicantumkan bagiannya.
Tahap kedua, penghitungan bagian harta
waris setelah ahli waris meninggal.
Tahap ketiga, kesimpulan jumlah harta
yang diperoleh tiap ahli waris.
Sedangkan menurut KHI, apabila terjadi
kasus menasakhah maka bagian ahli waris yang meninggal tadi dialihkan kepada
anaknya. Dan apabila ahli waris yang lain mendapat bagian, tidak boleh melebihi
bagian ahli waris yang meninggal.
[1] Muhammad Ali As-Shabuni,Al-Mawarits
fi al-Syari’ah al-Islamiyah,Terj.A.Zaini Dahlan,Trigenda Karya,1995,hlm.174
[2] Muhammad bin Umar Al-Bakri,Hasyiyah
Muhammad bin Umar al Nakri,(kairo:Maktabah al-Misriyah,t.t),hlm.39
[3]
H. Suparman Usman , Yusuf somawinata, Fiqh Mawaris=Hukum kewarisan islam.
(Jakarta: Gaya Media Pratama), 1997
[4] Muhammad Yusuf Musa,Al-Tirkah
wa al-Miras fi al-Islam, ( Kairo:Daar al-Ma’rifah,tt),hlm.373
0 komentar :
Posting Komentar