Rabu, 25 September 2013


BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Munasakhah
Bila terjadi seseorang meninggalkan sejumlah harta pusaka serta beberapa orang ahli waris, kemudian sebelum harta pusaka yang ditinggalkan itu dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya secara ilmu Faraidh, menyusul salah seorang waris yang seharusnya mendapat bagian harta pusaka tersebut meninggal dunia pula, maka dalam kasus seperti itu disebut munaasakhah.[1]
Kata munaasakha  ( منا سخة) berasal dari  “nasakha” ) نسخ) yang artinya menghapus, memindahkan, mengalihkan, maka menurut bahasa kata “munaasakhah” artinya penghapusan pemindahan sesuatu dan pengalihannya dari seseorang kepada yang lain.[2]
Menurut ilmu mawaris, munaasakhah ialah kematian seseorang yang sebelum harta peninggalannya dibagi terjadi kematian seseorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak mewarisinya sedemikian rupa sehingga terjadi pemindahan bagian sebagian ahli warisnya lantaran dia meninggal dunia sebelum pembagian harta pusaka yang meninggal terdahulu dilaksanakan.
Mengenai al-munaasakhah ini para ulama mendefinisikannya, sebagai berikut:
أَنْ يَنْتَقِلَ نَصِيْبُ بَعْضِ الْوَرَثَةِ قَبْلَ قِسْمَةِ التِّرْكَةِإِلَى مَنْ يَرِثُ مِنْهُ.
 “Berpindahnya bagian penerimaan ahli waris karena kematiannya sebelum pelaksanaan pembagian tirkah (yang seharusnya ia terima) kepada para ahli warisnya” (yusuf Musa,1959:371)
اِنْتِقَالُ نَصِيْبِ أَحَدِ الْوَرَثَةِ بِسَبَبِ مَوْتِهِ إِلَى وَارِثِهِ قَبْلَ الْقِسْمَةِ.
“Berpindahnya bagian salah seorang ahli waris kepada ahli waris lain,karena mati sebelm pelaksanaan pembagian warisan.”(lihat wahab Afifi 1984:103)
هِيَ نَقْلُ إِرْثِ مَيِّتٍ إِلَى مَنْ يَرِثُهُ مِنَ اْلاَحْيَاءِ ثُمَّ مَوْتِ ثَانِ أَوْثَالِثِ قَبْلَ تَقْسٍيْمِ التِّرْكَةِ
“yaitu,pemindahan harta warisan orang yang meninggal dunia kepada para ahli warisnya yang masih hidup,kemudian (ahli waris) kedua atau ketiga meninggal dunia sebelum pelaksanaan pembagian harta warisan”. (al-Jawad,1985:30)
أَنْ يَمُوْتَ وَاحِدٌ فَأَكْثَرُ مِنْ وَرَثَةِ الْمَيِّتِ اْلأَوَّلِ قَبْلَ قِسْمَةِ
“meninggalnya seorang atau lebih para ahli waris dari mawaris pertama sebelum pelaksanaan pembagian warisan”. (al-Khatrawy,t.t:56)
Dari uraian diatas dapatlah dipahami bahwa al-munaasakhah adalah hal pemindahan bagian penerimaan seorang atau beberapa ahli waris kepada ahli warisnya karena ia meninggal dunia sebelum mendapatkan bagian penerimaan harta peninggalan yang seharusnya ia atau mereka terima.[3]
Dengan demikian masalah munaasakhah harus mengandung empat unsur,yaitu:
1.    Harta pusaka si mayit belum dibagi-bagikan kepada ahli waris menurut ketentuan pembagian harta pusaka.
2.    Terjadinya kematian seorang atau beberapa orang ahli warisnya.
3.    Pemindahan bagian harta pusaka dari orang yang mati kemudian kepada ahli waris yang lain atau kepada ahli warisnya yang semula tidak menjadi ahli waris terhadap orang yang meninggal terdahulu.
4.    Pemindahan bagian ahli waris yang meninggal dunia kepada ahli warisnya haruslah dengan jalan mempusakai, sebab jika pemindahan tersebut karena pembelian, pemberian, atau hadiah, yang  demikian itu diluar pembahasan masalah munaasakhah.
Dengan memperhatikan pengertian munaasakhah tersebut di atas, maka munaasakhah itu mempunyai dua bentuk yaitu:
a.    Ahli waris yang bakal menerima pemindahan bagian pusaka dari orang yang meninggal belakangan adalah juga termasuk ahli waris yang meninggal dunia terdahulu.
b.    Ahli waris yang bakal menerima pemindahan bagian pusaka dari orang yang meninggal belakangan adalah ahli waris dari orang yang meninggal terdahulu.
Dalam munaasakahah bentuk pertama tidak mengalami kesulitan,sebab dalam masalah tersebut tidak memerlukan adanya pembagian harta pusaka dua kali, yakni pembagian harta pusaka orang yang meninggal terdahulu kemudian membagi harta pusaka si mati,kemudian ahli waris kedua orang itu sama saja bukan orang lain.
Oleh karena itu, cukuplah kiranya dengan membagikan harta pusaka si
mayit terdahulu kepada ahli waris yang ada dengan menganggap bahwa si mayit yang belakangan tidak hidup disaat kematian si mayit yang pertama,sebagaimana dikumpulkannya harta pribadi si mayit belakangan selain yang diwarisinya dari si mati yang pertama dengan jumlah harta pusaka yang meninggal terdahulu itu.[4]
Misalnya seorang meninggal dunia meninggalkan harta warisan atau uang sejumlah Rp900.000,00 (Sembilan ratus ribu rupiah),ahli warisnya terdiri dari 2 orang anak laki-laki yaitu Ahmad dan Hamid,dan juga 2 anak perempuan,yaitu Aisyah dan Fatimah. Sebelum harta pusaka dibagi kepada empat orang anak tersebut,mendadak Ahmad meninggalkan ahli waris selain Hamid,Aisyah,dan Fatimah tersebut. Dalam kasus seperti ini pembagian cukup sekali saja. Uang tersebut dibagikan kepada ketiga orang tersbut dengan perbandinga  2:1:1(ashabah bi ghair).
Dengan demikian,penerimaan masing-masing adalah:
1)    Hamid mendapat 2/4 x Rp900.000,00            = Rp450.000,00
2)    Aisyah mendapat ¼ x Rp900.000,00             = Rp225.000,00
3)    Fatimah mendapat ¼ x Rp900.000,00            = Rp225.000,00
Jumlah ………………………………………….= Rp900.000,00
Andaikan si Ahmad tersebut juga meninggalkan harta pusaka sebesar Rp100.000,00 dan tidak mempunyai ahli waris selain ketiga saudara itu, maka harta pusaka peninggalan si Ahmad di satukan dengan harta pusaka si mayit pertama hingga menjadi Rp 900.000,00 + Rp100.000,00 = Rp 1.000.000,00.
Dengan demikian,perolehan masing-masing ahli waris adalah:
1)    Hamid mendapat 2/4xRp1.000.000,00    = Rp500.000,00
2)    Aisyah mendapat 1/4xRp1.000.000,00    =Rp250.000,00
3)    Fatimah mendapat 1/4xRp1.000.000,00  =Rp250.000,00
Dalam munaasakhah bentuk kedua,yakni ahli waris si mayit kedua bukan ahli waris si mayit pertama,maka cara penyelesaiannya,pertama-tama harta pusaka peninggalan si mayit pertama dibagikan kepada ahli warisnya,dalam hal ini yang meninggal dunia (belakangan)diperhitungkan masih hidup waktu meinggalnya si mayit pertama,kemudian tahap berikutnya harta perolehan si mayit kedua dibagikan kepada ahli warisnya sesuai dengan status masing-masing ahli waris itu.
Secara rinci kedudukan para ahli waris yang akan menerima pemindahan bagian penerimaan dalam masalah al-Munaasakhah ini dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.    Seluruhnya sebagai ahli waris orang yang meninggal duluan dengan kedudukan yang sama dalam mewarisinya.
2.    Seluruhnya sebagai ahli waris orang yang meninggal duluan dengan kedudukan yang berbeda dalam bagian warisannya.
3.    Seluruhnya bukan ahli waris orang yang meninggal duluan (hanya sebagai ahli waris orang yang meninggal belakangan).
4.    Sebagian sebagai ahli waris orang yang meninggal duluan dan sebagian lainnya hanya sebagai ahli waris orang yang meninggal belakangan.

Contoh kasus munasakhah
Sebagai contoh misalnya seorang meninggal dunia meninggalkan harta pusaka sebesar Rp300.000,00. Ahli waris yang ditinggalkan terdiri dari seorang anak laki-laki (A) dan seorang anak perempuan (B). Seblum dilakukan pembagian pusaka kepada kedua orang anaknya itu mendadak A meninggal dunia dengan meninggalkan seorang anak perempuan (C),yakni cucu dari yang meninggal pertama.
Penyelesaian tahap pertama:
1. Anak laki-laki      (A)=2:2/3xRp300.000,00=Rp200.000,00
2. Anak perempuan  (B)=1 :1/3xRp300.000,00=Rp100.000,00
Jumlah ………………………………………...=Rp300.000,00
Penyelesaian tahap kedua:
Bagian A sebesar Rp200.000,00 dibagikan kepada ahli warisnya, perolehan masing-masing ahli waris adalah:
1. Anak perempuan (C)  anak dari (A) 1/2x2= 1
2. Saudari (B) 2-1                                      = 1
Jumlah:………………………………………= 2
Jadi bagian mereka masing-masing:
1. Anak perempuan (C) 1/2 x Rp. 200.000,00= Rp. 100.000,00
2. Saudari (B)                 1/2 x Rp. 200.000,00= Rp. 100.000,00
Dengan memperhatikan 2 tahap penyelesaian tesebut diatas akan tampak bahwa B pada tahap pertama selaku anak perempuan dari yang meninggal pertama menjadi ashabah dengan anak laki-laki dengan perbandingan 2:1 sebesar Rp. 100.000,00. Kemudian dalam perhitungan tahap kedua dia bersatu sebagai saudara perempuan A mendapat ashabah bersama-sama anak perempuan (C )sebesar Rp. 100.000.00 sehingga dari dua kali pembagian itu (B) mendapat  Rp. 100.000.00 + Rp. 100.000.00 = Rp. 200.000.00.
Dalam hal ini C (anak perempuan A atau cucu si mayit yang pertama ) hanya mendapat bagian sekali, yaitu pada tahap kedua, sebab pada tahap pertama (C) bukan ahli waris yang berhak atas harta pusaka peningggalan si mati pertama, dia mendapat bagian sebesar Rp. 100.000.00.
Dengan demikian pada akhirnya dalam kasus munaasakhah ini B mendapat Rp. 200.000.00 sedangkan C mendapat Rp. 100.000.00.

2. Munasakhah dalam KHI
Di dalam KHI, ketentuan mengenai munasakhah diatur dalam Pasal 185, yaitu:
(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

3. Analisis
Kasus pembagian harta waris dalam bentuk munasakhah dapat diselelsaikan dengan dua cara;
Cara yang pertama menggunakan acuan faraid, yaitu diselesaikan melalui tiga tahap:
Tahap pertama, penghitungan bagian harta waris kepada ahli waris walaupun salah satu ahli waris meninggal namun tetap dicantumkan bagiannya.
Tahap kedua, penghitungan bagian harta waris setelah ahli waris meninggal.
Tahap ketiga, kesimpulan jumlah harta yang diperoleh tiap ahli waris.
Sedangkan menurut KHI, apabila terjadi kasus menasakhah maka bagian ahli waris yang meninggal tadi dialihkan kepada anaknya. Dan apabila ahli waris yang lain mendapat bagian, tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang meninggal.


[1] Muhammad Ali As-Shabuni,Al-Mawarits fi al-Syari’ah al-Islamiyah,Terj.A.Zaini Dahlan,Trigenda Karya,1995,hlm.174
[2] Muhammad bin Umar Al-Bakri,Hasyiyah Muhammad bin Umar al Nakri,(kairo:Maktabah al-Misriyah,t.t),hlm.39
[3] H. Suparman Usman , Yusuf somawinata, Fiqh Mawaris=Hukum kewarisan islam. (Jakarta: Gaya Media Pratama), 1997

[4] Muhammad Yusuf Musa,Al-Tirkah wa al-Miras fi al-Islam, ( Kairo:Daar al-Ma’rifah,tt),hlm.373

0 komentar :

Posting Komentar