Senin, 23 September 2013


A.    Deskripsi Masalah
Dengan kehadirannya lembaga penggadaian di Indonesia sudah menjadi hal yang lumrah kita dengar. Bahkan kalau kita berjalan di daerah-daerah pertokoan, sering kali dijumpai motto “Mengatasi Masalah tanpa Masalah”. Sekarang lembaga ini mendapat banyak perhatian dari masyarakat, utamanya masyarakat menengah ke bawah. Karena kerap kali didapati masyarakat melakukan aktifitas demikian dan mungkin kita sebagai pelakunya. Hal ini disebabkan karena keuangan kita lagi defisit.
Setiap tindakan yang kita ambil bukan tanpa ada resikonya. Setidaknya apa yang kita lakukan itu dapat meminimalisir resiko yang kita ambil. Misalnya, kita tahu ada lembaga penggadain konvensional dan juga lembaga penggadaian syariah. Prinsip yang dilakukan lembaga konvensional adalah dapat memakmurkan stakeholder, di mana pemakmuran tersebut dilakukan dengan menarik bunga terhadap nasabahnya. Penarikan nasabah tersebut bukan hanya sekali, melainkan setiap bulan sampai wkatu jatuh tempo tiba. Beda halnya dengan lembaga penggadaian syariah yang tidak mengenal bunga melainkan biaya penitipan barang. Penjelasan ini sesuai dengan pernyataannya Muhammad Syafi’i Antonio dalam bukunya “Bank Syariah dari Teori ke Praktik”, bahwa perbedaan utama antara baiaya rahn dan bunga pengadaina adalah sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda, sedangkan biaya rahn hanya sekali dan ditetapkan di muka[1].
Rahn dalam perspektif Prof. Dr. H. Ismail Nawawi adalah menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan sebagai pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa mengembalikan utangnya[2]


B.     Identifikasi Masalah
Sekilas lembaga penggadain memang terlihat sangat membantu. Dan tentu saja dengan menyuarakan mottonya “mengatasi masalah tanpa masalah”, lembaga ini berhasil menafsir dan mencitrakan dirinya dimata masyarakat sangat baik. Akan tetapi, disadari atau tidak ternyata dalam prakteknya lembaga ini belum dapat terlepas dari persoalan. Dengan berkaca mata pada syari’at Islam, ketika perjanjian gadai ditunaikan terdapat unsur-unsur yang dilarang syariat. Hal ini dapat terlihat dari praktek gadai itu sendiri yang menentukan adanya bunga gadai, yang mana pembayarannya dilakukan setiap 15 hari sekali. Dan tentu saja pembayarannya haruslah tepat waktu karena jika terjadi keterlambatan pembayaran, maka bunga gadai akan bertambah menjadi dua kali lipat dari kewajibannya. Bukan hanya riba, ketidakjelasan (gharar), dan qimar juga ikut serta menghiasi aktifitas lembaga ini. Yang secara jelas terdapat kencenderungan merugikan salah satu pihak.
Memang hal ini tidaklah terlalu diperhatikan oleh masyarakat. Tetapi, ketika mereka terjebak dengan bunga yang membengkak serta ketidak sanggupan untuk membayar, maka di sinilah letak permasalahan itu muncul. Oleh karena itu, berangkat dari uraian yang telah dikemukakan di atas, maka kami selaku penulis membuat kajian ini dengan maksud untuk menganalisa dan memberikan sebuah solusi dengan pendekatan Fiqh Islam sebagai jawaban atas ketidak syari’atannya atas praktek pegadaian saat ini.

C.    Artikulasi Dalil
Dalil tentang rahn yang kami temukan dari fatwa DSN dalam hal ini menjadi pijakan tentang pembolehan melakukan akad rahn, yaitu sebagai berikut:
1.      Firman Allah, QS. Al-Baqarah [2]: 283:
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ...........
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)…….”
2.      Hadis Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyahr.a., ia berkata:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم إشترى من يهودى طعاما إلى أجل ورهنه دراعا من حديد
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w pernah membeli makanan dengan berhutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya.”.
3.      Hadits Nabi riwayat al-Syafi'i, al-Daraquthni dan IbnuMajah dari Abu Hurairah, Nabi s.a.w. bersabda:
لا يغلق الرهن من صاحبه الذى رهنه له غنمه وعليه غرمه
“Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya.”
4.      Hadits Nabi riwayat Jama’ah, kecuali Muslim dan al-Nasa’i, Nabi s.a.w. bersabda:
الرهن يركب بنفقته إذا كان مرهونا ولبن الدرّ يشرب بنفقته إذا كان مرهونا الذى يركب ويشرب النفقة
“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Orang yang menggunakan kendaraan dan memerah susu tersebut wajib menanggung biaya perawatan dan pemeliharaan.”.
5.      Ijma:
Para ulama sepakat membolehkan akad Rahn (al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1985, V: 181).
6.      Kaidah Fiqih:
الأصل في المعاملات الإجابة إلا أن يدل دليل على تحريمها
Pada dasarnya segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya[3].

D.    Opersionalisasi Dalil
Operasionalisasi dalil ini, kami dasarkan kepada pendapatnya al-Jazairi (2005: 532-534)
1.      Barang gadai (rahn) harus berada di tangan murtahin dan bukan di tangan rahin. Jika rahin meminta pengembalian rahn dari tangan murtahin dan bukan di tangan rahin maka tidak diperbolehkan. Sedangkan murtahin, ia diperbolehkan mengembalikan rahn kepada pemiliknya, karena ia mempunyai hak di dalamnya.
2.      Barang-barang yang tidak boleh diperjualbelikan tidak boleh digadaikan, kecuali tanaman dan buah-bauhan yang di pohonnya belum masak, karena kedua penjualan barang tersebut haram, namun bila digadaikan diperbolehkan, karena tidak ada gharar di dalamnya bagi murtahin, karena piutangnya tetap ada meskipun tanaman dan buah-buahan yang digadaikan kepadanya mengalami kerusakan.
3.      Jika tempo gadai telah habis maka murtahin meminta rahin melunasi utangnya. Jika rahin tidak membayar utangnya maka murtahin mengambil piutangnya dari hasil barang yang digadaikan rahin kepadanya jika ada. Jika hasilnya tidak ada, ia menjualnya dan mengambil piutangnya dari hasil penjualan barang gadai. Jika hasil penjualan barang gadai lebih dari piutangnya, ia kembalikan sisanya kepada rahin. Jika hasil penjualan barang gadai tidak cukup untuk membayar utang, maka sisa utang tetap menjadi tanggungan rahin.
4.      Rahn adalah amanah di tangan murtahin. Jadi, jika rahn mengalami kerusakan karena kelalaiannya, maka ia wajib menggantinya. Jika rahn mengalami kerusakan bukan karena kelalaiannya, ia tidak wajib mengganti piutangnya, Karena tetap menjadi tanggungan rahin.
5.      Gadai boleh dititpkan kepada orang yang bisa dipercaya selain murtahin, sebab yang terpenting dari rahn adalah dijaga, dan itu bisa dilakukan oleh orang yang bisa dipercaya.
6.      Jika rahin mensyaratkan rahn tidak dijual ketika utangnya telah jatuh tempo, rahn menjadi batal. Begitu juga jika murtahin mensyaratkan kepada rahin dengan berkata kepadanya, “jika tempo pembayaran utang telah jatuh dan engkau tidak membayar utangmu kepadaku, maka rahn menjadi milikku”, hukumnya menjadi tidak sah, Karena Rasulullah saw. Bersabda: “rahn itu tidak boleh dimiliki. Rahn itu milik orang yang menggadaikan. Ia berhak atas keuntungan dan kerugiannya”. (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang baik).
7.      Jika rahin cekcok dengan murtahin mengenai besarnya utang, ucapan yang diterima ialah ucapan rahin dengan cara bersumpah, kecuali jika murtahin bisa mendatangkan barang bukti. Jika keduanya cekcok tentang rahn, misalnya rahin berkata: “aku gadaikan unta dan anaknya kepadamu”, namun murtahin berkata: “tidak, engkau hanya menggadaikan unta saja tanpa anaknya kepadaku”, ucapan yang diterima adalah ucapan murtahin dengan cara bersumpah, kecuali jika rahin bisa mendatangkan barang bukti yang menguatkan dakwaannya, karena Rasulullah bersabda: “barang bukti dimintakan dari orang yang mengklaim dan sumpah dimintakan dari orang yang tidak mengaku”, (HR. al-Baihaqi dengan sanad yang baik).
8.      Jika murtahin mengklaim telah mengembalikan rahn dan rahin tidak mengakuinya, ucapan yang diterima ialah ucapan rahin dengan cara bersumpah, kecuali jika murtahin bisa mendatangkan barang bukti yang menguatkan klaimnya.
9.      Murtahin berhak menaiki rahn yang bisa dinaiki dan memerah rahn yang bisa diperah sesuai dengan besarnya biaya yang ia keluarkan untuk rahn tersebut. Tapi ia harus adil di dalamnya, dalam arti tidak memanfaatkan lebih banyak daripada biaya yang ia keluarkan untuk rahn tersebut, Karena Rasulullah bersabda: “punggung hewan itu bisa dinaiki dengan mengeluarkan biaya untuknya jika hewan tersebut digadaikan. Air susu bisa diperah dengan mengeluarkan biaya yang digadaikan, dan orang yang menaiki dan memerah harus menanggung pembiayaannya”. (HR. Bukhari).
10.  Hasil rahn seperti anak dari rahn (jika rahn berbentuk hewan), panen (jika rahn berbentuk tanaman) dan lain sebagainya, menjadi milik rahin. Oleh karena itu ia berhak memberi air dan apa saja yang dibutuhkannya, karena Rasulullah bersabda: “rahn itu milik orang yang menggadaikannya. Ia berhak atas keuntungan dan kerugiannya”. (HR. Ibnu Majah).
11.  Jika murtahin mengeluarkan biaya untuk rahn tanpa meminta izin kepada rahin, ia tidak boleh meminta rahin mengganti biaya yang telah dikeluarkannya untuk rahn teesebut. Jika murtahin tidak bisa meminta izin kepada rahin karena lokasinya berjauhan, ia berhak meminta rahin mengganti biaya tersebut. Jika tempat keduanya tidak berjauhan, ia tidak boleh meminta pengembalian biaya yang dikeluarkannya untuk rahn, karena orang yang bertindak sukarela itu tidak boleh meminta pengembalian atas apa yang telah dikerjakannya.
12.  Jika rumah yang digadaikan mengalami kerusakan, kemudian murtahin memperbaikinya tanpa seizing rahin, hukumnya tidak dilarang kalau ia meminta penggantian biaya yang ia telah keluarkan untuk perbaikan rumah tersebut, kecuali jika rahn berupa alat, seperti kayu dan batu yang tidak bisa dicabut, ia boleh meminta penggantian kepada rahin.
13.  Jika rahin meninggal dunia atau bangkrut, murtahin lebih berhak atas rahn daripada semua kreditur. Jika tempo pembayaran utang telah jatuh, ia menjual rahn yang ada padanya dan ia mengambil piutangnya dari hasil penjualan rahn tersebut. Jika hasil perjualan rahn surplus maka ia mengembalikannya kepada rahin, dan jika hasil penjualannya defisit, ia memiliki hak yang sama bersama para kreditur terhadap sisa rahn[4].

  1. Formulasi Natijah
Gadai dalam islam memiliki istilah yaitu rahn. Gadai sendiri secara umum diartikan sebagai perjanjian untuk menahan jaminan (barang) milik si peminjam atas pinjaman yang diterimanya.
Sesuai dengan apa yang sudah kami ketahui bahwasannya masih ada kantor-kantor pengadaian yang menggunakan transaksi gadai ini dengan sistem bunga, dengan bertambahnya hutang yang belum dilunasi sesuai perjanjian. Hal seperti ini dapat memberatkan pihak yang berhutang ketika dia belum bisa untuk membayar pada jangka waktu yang diperjanjikan. Karena disamping dia belum membayar hutang, juga diberatkan dengan bunga tersebut.
Diperbolehkannya transaksi rahn telah diperkuat dengan dalil-dalil pada uraian “artikulasi dalil dan diperjelas dengan operasionalisasi dalil” yang pada intinya segala bentuk muamalat boleh dilakukan termasuk rahn, kecuali apabila terdapat dalil yang mengharamkannya.
Ketika kedua belah pihak sudah menyepakati perjanjian rahn ini maka, barang gadai harus berada di tangan murtahin, bukan di tangan rahin. Barang-barang yang tidak boleh diperjualbelikan tidak boleh digadaikan, kecuali tanaman dan buah-bauhan yang di pohonnya belum masak. Barang gadai juga boleh dititikan ke orang lain (pihak ke-3) selagi bisa dipercaya. Rahn dianggap batal apabila terdapat syarat-syarat tertentu, dengan kata lain tidak diperbolehkan apabila ada syarat-syarat tertentu yang tidak menguntungkan bagi salah satu pihak. 
Apabila rahin meninggal dunia atau bangkrut, murtahin lebih berhak atas rahn. Kemudian ketika sudah jatuh tempo murtahin segera menjual barang gadai tersebut dan mengambil hasil penjualan rahn sesuai dengan piutangnya, jika nominal penjualan rahn lebih besar dari piutannya maka sisanya dikembalikan kepada rahin atau keluarga rahin.

  1. Rekomendasi Solusi
Dalam dunia bisnis tidak luput dengan usaha pemenuhan kebutuhan setiap individu. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhannya tersebut ada yang membuka usaha jual-beli atau dengan cara membuka usaha sewa-menyewa. Pada zaman modern seperti ini memiliki berbagai macam untuk memenuhi kebutuhan. Selain jual-beli dan sewa-menyewa ada juga peminjaman uang dengan mengunakan jaminan barang, cara tersebut adalah gadai. Gadai adalah jaminan sebuah barang atau benda milik debitur untuk menjamin pelunasan utangnya tersebut.
Gadai tentu tidak lepas dari sebuah permasalahan, karena setiap hal pasti ada sisi positif dan negatifnya.
Bila terjadi marhun hilang dibawah penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila terjadi rusak atau hilangnya itu karena kelalaian murtahin atau karena disia-siakan, misalkan murtahin bermain-main dengan api, lalu terbakar barang gadaian itu, atau gudang tempat penyimpanan barang tidak dikunci, lalu barang tersebut hilang dicuri orang. Solusinya murtahin diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya, bila tidak demikian, ketika ada cacat atau kerusakan apalagi sampai hilang, sudah menjadi tanggung jawab murtahin.
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya (wanprestasi) atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrase syariah setelah kata sepakat dalam musyawarah tidak tercapai.



[1] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, hal. 130
[2] H. Ismail Nawawi, Fikih Mumalah Klasik dan Kontemporer, Bogor: Ghalia Indonesia, 2012, hal. 198
[3] Fatwa DSN MUI, Rahn, Jakarta, hal. 1-2
[4] Ibid, 201

A.    Deskripsi Masalah
Dengan kehadirannya lembaga penggadaian di Indonesia sudah menjadi hal yang lumrah kita dengar. Bahkan kalau kita berjalan di daerah-daerah pertokoan, sering kali dijumpai motto “Mengatasi Masalah tanpa Masalah”. Sekarang lembaga ini mendapat banyak perhatian dari masyarakat, utamanya masyarakat menengah ke bawah. Karena kerap kali didapati masyarakat melakukan aktifitas demikian dan mungkin kita sebagai pelakunya. Hal ini disebabkan karena keuangan kita lagi defisit.
Setiap tindakan yang kita ambil bukan tanpa ada resikonya. Setidaknya apa yang kita lakukan itu dapat meminimalisir resiko yang kita ambil. Misalnya, kita tahu ada lembaga penggadain konvensional dan juga lembaga penggadaian syariah. Prinsip yang dilakukan lembaga konvensional adalah dapat memakmurkan stakeholder, di mana pemakmuran tersebut dilakukan dengan menarik bunga terhadap nasabahnya. Penarikan nasabah tersebut bukan hanya sekali, melainkan setiap bulan sampai wkatu jatuh tempo tiba. Beda halnya dengan lembaga penggadaian syariah yang tidak mengenal bunga melainkan biaya penitipan barang. Penjelasan ini sesuai dengan pernyataannya Muhammad Syafi’i Antonio dalam bukunya “Bank Syariah dari Teori ke Praktik”, bahwa perbedaan utama antara baiaya rahn dan bunga pengadaina adalah sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda, sedangkan biaya rahn hanya sekali dan ditetapkan di muka[1].
Rahn dalam perspektif Prof. Dr. H. Ismail Nawawi adalah menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan sebagai pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa mengembalikan utangnya[2]


B.     Identifikasi Masalah
Sekilas lembaga penggadain memang terlihat sangat membantu. Dan tentu saja dengan menyuarakan mottonya “mengatasi masalah tanpa masalah”, lembaga ini berhasil menafsir dan mencitrakan dirinya dimata masyarakat sangat baik. Akan tetapi, disadari atau tidak ternyata dalam prakteknya lembaga ini belum dapat terlepas dari persoalan. Dengan berkaca mata pada syari’at Islam, ketika perjanjian gadai ditunaikan terdapat unsur-unsur yang dilarang syariat. Hal ini dapat terlihat dari praktek gadai itu sendiri yang menentukan adanya bunga gadai, yang mana pembayarannya dilakukan setiap 15 hari sekali. Dan tentu saja pembayarannya haruslah tepat waktu karena jika terjadi keterlambatan pembayaran, maka bunga gadai akan bertambah menjadi dua kali lipat dari kewajibannya. Bukan hanya riba, ketidakjelasan (gharar), dan qimar juga ikut serta menghiasi aktifitas lembaga ini. Yang secara jelas terdapat kencenderungan merugikan salah satu pihak.
Memang hal ini tidaklah terlalu diperhatikan oleh masyarakat. Tetapi, ketika mereka terjebak dengan bunga yang membengkak serta ketidak sanggupan untuk membayar, maka di sinilah letak permasalahan itu muncul. Oleh karena itu, berangkat dari uraian yang telah dikemukakan di atas, maka kami selaku penulis membuat kajian ini dengan maksud untuk menganalisa dan memberikan sebuah solusi dengan pendekatan Fiqh Islam sebagai jawaban atas ketidak syari’atannya atas praktek pegadaian saat ini.

C.    Artikulasi Dalil
Dalil tentang rahn yang kami temukan dari fatwa DSN dalam hal ini menjadi pijakan tentang pembolehan melakukan akad rahn, yaitu sebagai berikut:
1.      Firman Allah, QS. Al-Baqarah [2]: 283:
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ...........
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)…….”
2.      Hadis Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyahr.a., ia berkata:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم إشترى من يهودى طعاما إلى أجل ورهنه دراعا من حديد
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w pernah membeli makanan dengan berhutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya.”.
3.      Hadits Nabi riwayat al-Syafi'i, al-Daraquthni dan IbnuMajah dari Abu Hurairah, Nabi s.a.w. bersabda:
لا يغلق الرهن من صاحبه الذى رهنه له غنمه وعليه غرمه
“Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya.”
4.      Hadits Nabi riwayat Jama’ah, kecuali Muslim dan al-Nasa’i, Nabi s.a.w. bersabda:
الرهن يركب بنفقته إذا كان مرهونا ولبن الدرّ يشرب بنفقته إذا كان مرهونا الذى يركب ويشرب النفقة
“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Orang yang menggunakan kendaraan dan memerah susu tersebut wajib menanggung biaya perawatan dan pemeliharaan.”.
5.      Ijma:
Para ulama sepakat membolehkan akad Rahn (al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1985, V: 181).
6.      Kaidah Fiqih:
الأصل في المعاملات الإجابة إلا أن يدل دليل على تحريمها
Pada dasarnya segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya[3].

D.    Opersionalisasi Dalil
Operasionalisasi dalil ini, kami dasarkan kepada pendapatnya al-Jazairi (2005: 532-534)
1.      Barang gadai (rahn) harus berada di tangan murtahin dan bukan di tangan rahin. Jika rahin meminta pengembalian rahn dari tangan murtahin dan bukan di tangan rahin maka tidak diperbolehkan. Sedangkan murtahin, ia diperbolehkan mengembalikan rahn kepada pemiliknya, karena ia mempunyai hak di dalamnya.
2.      Barang-barang yang tidak boleh diperjualbelikan tidak boleh digadaikan, kecuali tanaman dan buah-bauhan yang di pohonnya belum masak, karena kedua penjualan barang tersebut haram, namun bila digadaikan diperbolehkan, karena tidak ada gharar di dalamnya bagi murtahin, karena piutangnya tetap ada meskipun tanaman dan buah-buahan yang digadaikan kepadanya mengalami kerusakan.
3.      Jika tempo gadai telah habis maka murtahin meminta rahin melunasi utangnya. Jika rahin tidak membayar utangnya maka murtahin mengambil piutangnya dari hasil barang yang digadaikan rahin kepadanya jika ada. Jika hasilnya tidak ada, ia menjualnya dan mengambil piutangnya dari hasil penjualan barang gadai. Jika hasil penjualan barang gadai lebih dari piutangnya, ia kembalikan sisanya kepada rahin. Jika hasil penjualan barang gadai tidak cukup untuk membayar utang, maka sisa utang tetap menjadi tanggungan rahin.
4.      Rahn adalah amanah di tangan murtahin. Jadi, jika rahn mengalami kerusakan karena kelalaiannya, maka ia wajib menggantinya. Jika rahn mengalami kerusakan bukan karena kelalaiannya, ia tidak wajib mengganti piutangnya, Karena tetap menjadi tanggungan rahin.
5.      Gadai boleh dititpkan kepada orang yang bisa dipercaya selain murtahin, sebab yang terpenting dari rahn adalah dijaga, dan itu bisa dilakukan oleh orang yang bisa dipercaya.
6.      Jika rahin mensyaratkan rahn tidak dijual ketika utangnya telah jatuh tempo, rahn menjadi batal. Begitu juga jika murtahin mensyaratkan kepada rahin dengan berkata kepadanya, “jika tempo pembayaran utang telah jatuh dan engkau tidak membayar utangmu kepadaku, maka rahn menjadi milikku”, hukumnya menjadi tidak sah, Karena Rasulullah saw. Bersabda: “rahn itu tidak boleh dimiliki. Rahn itu milik orang yang menggadaikan. Ia berhak atas keuntungan dan kerugiannya”. (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang baik).
7.      Jika rahin cekcok dengan murtahin mengenai besarnya utang, ucapan yang diterima ialah ucapan rahin dengan cara bersumpah, kecuali jika murtahin bisa mendatangkan barang bukti. Jika keduanya cekcok tentang rahn, misalnya rahin berkata: “aku gadaikan unta dan anaknya kepadamu”, namun murtahin berkata: “tidak, engkau hanya menggadaikan unta saja tanpa anaknya kepadaku”, ucapan yang diterima adalah ucapan murtahin dengan cara bersumpah, kecuali jika rahin bisa mendatangkan barang bukti yang menguatkan dakwaannya, karena Rasulullah bersabda: “barang bukti dimintakan dari orang yang mengklaim dan sumpah dimintakan dari orang yang tidak mengaku”, (HR. al-Baihaqi dengan sanad yang baik).
8.      Jika murtahin mengklaim telah mengembalikan rahn dan rahin tidak mengakuinya, ucapan yang diterima ialah ucapan rahin dengan cara bersumpah, kecuali jika murtahin bisa mendatangkan barang bukti yang menguatkan klaimnya.
9.      Murtahin berhak menaiki rahn yang bisa dinaiki dan memerah rahn yang bisa diperah sesuai dengan besarnya biaya yang ia keluarkan untuk rahn tersebut. Tapi ia harus adil di dalamnya, dalam arti tidak memanfaatkan lebih banyak daripada biaya yang ia keluarkan untuk rahn tersebut, Karena Rasulullah bersabda: “punggung hewan itu bisa dinaiki dengan mengeluarkan biaya untuknya jika hewan tersebut digadaikan. Air susu bisa diperah dengan mengeluarkan biaya yang digadaikan, dan orang yang menaiki dan memerah harus menanggung pembiayaannya”. (HR. Bukhari).
10.  Hasil rahn seperti anak dari rahn (jika rahn berbentuk hewan), panen (jika rahn berbentuk tanaman) dan lain sebagainya, menjadi milik rahin. Oleh karena itu ia berhak memberi air dan apa saja yang dibutuhkannya, karena Rasulullah bersabda: “rahn itu milik orang yang menggadaikannya. Ia berhak atas keuntungan dan kerugiannya”. (HR. Ibnu Majah).
11.  Jika murtahin mengeluarkan biaya untuk rahn tanpa meminta izin kepada rahin, ia tidak boleh meminta rahin mengganti biaya yang telah dikeluarkannya untuk rahn teesebut. Jika murtahin tidak bisa meminta izin kepada rahin karena lokasinya berjauhan, ia berhak meminta rahin mengganti biaya tersebut. Jika tempat keduanya tidak berjauhan, ia tidak boleh meminta pengembalian biaya yang dikeluarkannya untuk rahn, karena orang yang bertindak sukarela itu tidak boleh meminta pengembalian atas apa yang telah dikerjakannya.
12.  Jika rumah yang digadaikan mengalami kerusakan, kemudian murtahin memperbaikinya tanpa seizing rahin, hukumnya tidak dilarang kalau ia meminta penggantian biaya yang ia telah keluarkan untuk perbaikan rumah tersebut, kecuali jika rahn berupa alat, seperti kayu dan batu yang tidak bisa dicabut, ia boleh meminta penggantian kepada rahin.
13.  Jika rahin meninggal dunia atau bangkrut, murtahin lebih berhak atas rahn daripada semua kreditur. Jika tempo pembayaran utang telah jatuh, ia menjual rahn yang ada padanya dan ia mengambil piutangnya dari hasil penjualan rahn tersebut. Jika hasil perjualan rahn surplus maka ia mengembalikannya kepada rahin, dan jika hasil penjualannya defisit, ia memiliki hak yang sama bersama para kreditur terhadap sisa rahn[4].

  1. Formulasi Natijah
Gadai dalam islam memiliki istilah yaitu rahn. Gadai sendiri secara umum diartikan sebagai perjanjian untuk menahan jaminan (barang) milik si peminjam atas pinjaman yang diterimanya.
Sesuai dengan apa yang sudah kami ketahui bahwasannya masih ada kantor-kantor pengadaian yang menggunakan transaksi gadai ini dengan sistem bunga, dengan bertambahnya hutang yang belum dilunasi sesuai perjanjian. Hal seperti ini dapat memberatkan pihak yang berhutang ketika dia belum bisa untuk membayar pada jangka waktu yang diperjanjikan. Karena disamping dia belum membayar hutang, juga diberatkan dengan bunga tersebut.
Diperbolehkannya transaksi rahn telah diperkuat dengan dalil-dalil pada uraian “artikulasi dalil dan diperjelas dengan operasionalisasi dalil” yang pada intinya segala bentuk muamalat boleh dilakukan termasuk rahn, kecuali apabila terdapat dalil yang mengharamkannya.
Ketika kedua belah pihak sudah menyepakati perjanjian rahn ini maka, barang gadai harus berada di tangan murtahin, bukan di tangan rahin. Barang-barang yang tidak boleh diperjualbelikan tidak boleh digadaikan, kecuali tanaman dan buah-bauhan yang di pohonnya belum masak. Barang gadai juga boleh dititikan ke orang lain (pihak ke-3) selagi bisa dipercaya. Rahn dianggap batal apabila terdapat syarat-syarat tertentu, dengan kata lain tidak diperbolehkan apabila ada syarat-syarat tertentu yang tidak menguntungkan bagi salah satu pihak. 
Apabila rahin meninggal dunia atau bangkrut, murtahin lebih berhak atas rahn. Kemudian ketika sudah jatuh tempo murtahin segera menjual barang gadai tersebut dan mengambil hasil penjualan rahn sesuai dengan piutangnya, jika nominal penjualan rahn lebih besar dari piutannya maka sisanya dikembalikan kepada rahin atau keluarga rahin.

  1. Rekomendasi Solusi
Dalam dunia bisnis tidak luput dengan usaha pemenuhan kebutuhan setiap individu. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhannya tersebut ada yang membuka usaha jual-beli atau dengan cara membuka usaha sewa-menyewa. Pada zaman modern seperti ini memiliki berbagai macam untuk memenuhi kebutuhan. Selain jual-beli dan sewa-menyewa ada juga peminjaman uang dengan mengunakan jaminan barang, cara tersebut adalah gadai. Gadai adalah jaminan sebuah barang atau benda milik debitur untuk menjamin pelunasan utangnya tersebut.
Gadai tentu tidak lepas dari sebuah permasalahan, karena setiap hal pasti ada sisi positif dan negatifnya.
Bila terjadi marhun hilang dibawah penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila terjadi rusak atau hilangnya itu karena kelalaian murtahin atau karena disia-siakan, misalkan murtahin bermain-main dengan api, lalu terbakar barang gadaian itu, atau gudang tempat penyimpanan barang tidak dikunci, lalu barang tersebut hilang dicuri orang. Solusinya murtahin diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya, bila tidak demikian, ketika ada cacat atau kerusakan apalagi sampai hilang, sudah menjadi tanggung jawab murtahin.
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya (wanprestasi) atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrase syariah setelah kata sepakat dalam musyawarah tidak tercapai.



[1] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, hal. 130
[2] H. Ismail Nawawi, Fikih Mumalah Klasik dan Kontemporer, Bogor: Ghalia Indonesia, 2012, hal. 198
[3] Fatwa DSN MUI, Rahn, Jakarta, hal. 1-2
[4] Ibid, 201