PENGERTIAN IJTIHAD
Ijtihad berasal dari bahasa arab yaitu “Jahada” yang mempunyai arti mencurahkan
segala kemampuan untuk mendapatkan sesuatu yang sulit atau yang ingin di
capainya badzlul al-juhdi li istinbath al-ahkam min al-nash (mencurahkan
segala pikiran untuk merumuskan sebuah hukum dari teks wahyu)[1]
Dengan kata lain,
ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam)
untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’
(agama). Dalam istilah inilah ijtihad lebih banyak dikenal dan digunakan bahkan
banyak para fuqaha yang menegaskan bahwa ijtihad dilakukan di bidang fiqih.
B. DASAR HUKUM IJTIHAD DAN HUKUM
MELAKUKAN IJTIHAD
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah
satu metode untuk menggali sumber hukum islam. Yang menjadi landasan
dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya seperti firman allah yaitu
!$¯RÎ)!$uZø9tRr&y7øs9Î)|=»tGÅ3ø9$#Èd,ysø9$$Î/zNä3óstGÏ9tû÷üt/Ĩ$¨Z9$#!$oÿÏ3y71ur&ª!$#
Artinya:
“sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara hak agar dapat menghukumi
di antara manusia dengan apa yang allah mengetahui kepadamu (QS, an-nisa’ 105)”
Dalam ayat tersebut terdapat penetapan ijtihad
berdasarkan qiyas. Adapun keterangan dari sunah, yang membolehkan berijtihad
diantaranya seperti hadis yang diriwayatkan oleh umar :
إذَا حكم الحاكم فاجْتهد
فاصاب فله اجران وإذا حكم فاجْتهد ثـمّ أخْطأ فلهُ اجْرٌ
“jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar.
Maka ia mendapat dua, dan bila salah maka ia mendapat satu pahala”.
Hal itu telah diikuti oleh para sahabat setelah nabi
wafat.Mereka selalu berijtihad jika menemukan suatu masalah baru yang tidak
terdapat dalam al-qur’an dan sunah rasul[2].
Disini juga terdapat macam-macam ijtihad karena
dikalangan ulama, terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad. Karena
imam syafi’i menyamakan ijtihad dengan qiyas, yakni dua nama, tetapi maksudnya satu.
Dia tidak mengakui ra’yu yang didasarkan pada istihsan atau maslahah mursalah.Sementara
itu para ulama lainnya memiliki pandangan yang lebih luas tentang
ijtihad.Menurut mereka itu mencakup ra’yu qiyas dan akal.
Pemahaman
mereka tentang ra’yu sebagaimana yang didasarkan oleh parasahabat, yaitu
mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh para mujtahid, atau
setidak-tidaknya mendekati tanpa melihat apakah hal itu ada dasarnya atau
tidak, berdasarkan pendapat tersebut, Dr. dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga
bagian yang sebagiannya sesuai dengan pendapat Asy-syatibi dalam kitab
Al-muwafaqat, yang diantaranya
a. ijtihad Al-batani. Yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’
dari nash.
b. ijtihad Al-qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permaslahan yang tidak
terdapat dalam al-qur’an dan as-sunah dengan menggunakan metode qiyas
c. ijtihad Al-istislah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak
terdapat dalam Al-qur’an dan As-sunah dengan menggunakan ra’yu dengan
berdasarkan kaidah istishlah.
Pembagian
diatas masih belum sempurna, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad taqiyu
al-hakim dengan mengemukakan beberapa alasan, diantaranya jami’ wal mani.
Menurutnya, ijtihad itu dapat dibagi menjadi dua bagian
saja, yaitu
1. ijtihad al-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya
didasarkan pada akal, tidak menggunakan dalil syara’. Mujtahid dibebaskan untuk berpikir, dengan mengikuti kaidah-kaidah yang
pasti.
2. ijtihad syari’, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk
dalam pembagian ini adalah ijma, qiyas, istikhsan. Istishlah, ‘urf, istishhab
dll[3].
Hukum melakuakan ijtihad itu menurut para ulama, bagi
seseorang yang sudah memenuhi persyaratan ijtihad, terdapat lima hukum yang
bisa dikenakan pada orang yang berkenan ingin berijtihad, yaitu:
a. orang tersebut dihukumi fardhu ain untuk berijtihad apabila ada
permasalahan yang menimpa dirinya, dan harus mengamalkan dari ijtihadnya dan
tidak boleh taqlid kepada orang lain.
b. juga dihukumi fardhu ain jika ditanyakan tentang suatau permasalahan
yang belum ada hukumnya
c. fardhu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak
dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada orang lain selain dirinya yang
sama-sama memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid
d. sunah, apabila berijtihad terhadap permasalahan baru, baik ditanya
maupun tidak.
e. haram, apabila berijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan
secara qathi’, sehingga hasil ijtihad bertentangan dengan hasil syara[4]
C. OBJEKIJTIHAD
Menurut
imam al-ghazali,setiap hukum syara’
yang tidak memiliki dalil yang
qathi’.Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan
objek ijtihad.Dengan demikian, syari’at islam dalam kaitannya dengan ijtihad
terbagi dalam dua bagian:
1. Syariat yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum-hukum
yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok islam, yang berdasarkan pada
dalil-dalil yang qathi’, seperti kewajiban melaksanakan sholat, puasa, zakat,
haji, dan diharamkan melakukan zina, mencuri, dan lain-lain. Semua itu
ditetapakan hukumnya didalam al-qur’an dan as-sunah.
Kewajiban shalat dan zakat berdasarkan firman allah swt.
(#qßJÏ%r&urno4qn=¢Á9$#(#qè?#uäurno4qx.¨9$#
Artinya: ”dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat (QS, an-Nur, 56)”
2. syari’at yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang
didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat dzanni, baik maksudnya, petunjuknya,
ataupun eksistensinya (tsubut), serta hukum-hukum yang belum ada nashnya dan
ijma para ulama
Apabila ada nash yang yang berkeadaannya masih dzanni, maka yang menjadi
lapangan ijtihad antara lain bagaiman maksud dari nash tersebut, maka yang
menjadi lapangan ijtihad di antaranya adalah meneliti bagaimana sanadnya,
derajat para perawinya, dan lain-lain.
Dan nash yang petunjuknya masih
zhanni, maka yang menjadi lapangan ijtihad, antara lain bagaimana maksud dari
nash tersebut, misalnya dengan memakai kaidah ‘am, khas, mutlaq muqayyad, dan
lain-lain.
Sedangkan terhadap permasalahan yang
tidak ada nashnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara
menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan,
maslahah mursalah, dan lain-lain namun, permasalahan ini banyak diperdebatkan
di kalangan para ulama[5].
D. PROFIL MUJTAHID
Jika
membahas tentang mujtahid tidak terlepas dari pengertian ijtihad yang berasal
dari pengertian ijtahadah yaitu bersungguh-sungguh rajin giat. Sedang apabila
kita meneliti makna kata jahadah adalah mencurahkan segala kemampuan.
Terdapat profil mujtahid yang diantaranya itu terdapat
empat imam yaitu :
·
IMAM MALIK
Lengkapnya Mālik
ibn Anas bin Malik bin ‘Āmr al-Asbahi atau Malik bin Anas. Lahir
di Madinah pada tahun 93 H (714 M). Dan wafat pada tahun 179 H ( 800M). Beliau
adalah pakar dibidang fikih dan ilmu hadis, merupakan pendiri mazhab
Maliki.Fikih yang beliau kembangkan bersandar pada penggunaan hadis dan
kebiasaan penduduk madinah.
Kitab yang
disusun oleh beliau adalah Al Muwaththa’. Memuat seratus ribu ( 100.000) hadis.
Yang paling terkenal adalah yang diriwayatkan dari Yahya bin Yahyah al Laitsi
al Andalusi al Mashmudi.Diantara guru beliau adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi
al Muqbiri, Na’imul Majmar, Az Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul
Munkadir, Abdullah bin Dinar, dll.
Diantara
murid beliau adalah Ibnul Mubarak, Al Qaththan, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu
Qasim, Al Qa’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al
Andalusi, Yahya Bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury,
Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Zubairi, dan
lain-lain.
·
IMAM ABU HANIFAH
Imam Ahlur
Ra’yi. Karena penggunaan rasio yang bebas dalam Mazhabnya.Hadis yang digunakan
diseleksi dengan ketat. Nama lengkap beliau adalah Nu’man bin Tsabit
bin Zuta bin Mahan at-Taymi, lahir di Kufah, Iraq pada 80 H (699 M),
meninggal di Baghdad pada 148 H (767 M), merupakan pendiri Mazhab Hanafi.
Imam Abu Hanifah dalam menetapkan
hukum fiqh terdiri dari tujuh pokok yaitu:
1. Al Kitab. 2. As Sunnah.
3. Perkataan para Sahabat. 4. Al Qiyas.
5. Al Istihsan 6.Ijma’
dan Uruf.
Imam Abu
Hanifah adalah seorang Tabiin. Pernah bertemu dengan Anas bin Malik dan
meriwayatkan hadis darinya. Beliau disebut sebagai tokoh pertama yang
menuliskan kitab fikih.Diantara gurunya adalah Hammad bin Abu Sulaiman, Atha
bin Abi Rabah, dan Nafi’ maula Ibnu Umar. Dan diantara muridnya adalah Abu
Yusuf bin Ibrahim Al Anshari, Zufar bin Hujail bin Qais al Kufi, Muhammad bin
Hasan bin farqad as Syaibani, Hasan bin Ziyad, dan lain-lain.
·
IMAM SYAFI’I
Muhammad
bin Idris asy-Syafi`i,
lahir di Gaza, Palestina, 150 H (767 M) dan wafat di Mesir pada 204 H ( 819 M
). Beliau adalah pendiri Mazhab Syafi’i yang moderat.Beliau adalah peletak
dasar ilmu Ushul Fiqh.Mazhab Syafi’i memiliki dua (2) dasar yaitu, Qadim dan
Jadid.
Dasar-dasar atau sumber hukum yang
dipakai Imam Syafi’i dalam mengistinbat hukum adalah :
- Al Kitab.
- Sunnah Mutawatirah.
- Al Ijma’.
- Khabar Ahad.
- Al Qiyas.
- Al Istishab.
Beliau
adalah salah seorang murid dari Imam Malik di Madinah dan murid dari Muslim bin
khalid az Zanji di Makkah. Dan juga sempat menimba ilmu di Iraq dari murid Imam
Abu Hanifah.Diantara kitab yang beliau tulis adalah Ar Risalah, Al Hujjah, dan
Al Umm.
Diantara
para muridnya adalah Ahmad Bin Alhajjaj Al Marwazy, Ahmad Bin
Kholid AlKhilal Al Baghdady, Ahmad Bin Sa’id Bin Basyir Al
hamdzani, Ahmad Bin Sinan Al Qoththon, Ahmad Bin sholihAl Mishry abu
Ja’far Aththobary, Ahmad Bin Asshobah Bin Abi Suraij Arroozy, Ahmad
Bin abdullah Al Makky Al Muqry, dan lain-lain.
·
IMAM AHMAD BIN HANBAL
Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal.
Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H. Beliau adalah
pendiri Mazhab Hambali.Mengumpulkan sebanyak 40.000 hadis dalam kitab
musnadnya.Dasar-dasar fatwa beliau terdapat dalam kitabnya I’laamul
Muwaaqi’in.Adapun dasar-dasar mazhabnya dalam mengistinbatkan hukum adalah :
- Nash Al Qur-an atau nash hadits.
- Fatwa sebagian Sahabat.
- Pendapat sebagian Sahabat.
- Hadits Mursal atau Hadits Doif.
- Qiyas.
Diantara
para gurunya adalah Ismail bin Ja’far, Abbad bin Abbad Al Ataky, Umari bin
Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar as Sulami, Imam
Syafi’i, dan lain-lain.Diantara murid beliau adalah Imam Bukhari, Muslim, Abu
Daud, Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Syafi’i, dan lain-lain[6].
E. SYARAT-SYARAT MUJTAHID
Di antara syarat-syarat ijtihad
adalah :
1. Menguasai Ilmu Bahasa Arab dari segi bahasa, nahwu, sarf, balaghah, Mantek dll.)dengan pemahaman di luar kepala,
agar bisa membedakan lafad yang khash
dengan yang ‘am,yang haqiqat dengan yang majaz, yang mutasyabbih dengan
yang muhkam dll.
2. Mengetahui nash-nash Al-Hadits,
yakni menggetahui hukum syari’at yang di
datangkan oleh Al-Hadits yang mampu mengeluarkan (istimbat) hukum perbuatan
orang mukallaf dari padanya. Disamping itu ia harus mengetahui keadaan
perawinya, mana yang tsiqoh (terpercaya) hingga dapat di gunakan hujah khadits
yang telah di nukil oleh dewan-dewan khadits.
3.
Mengetahui
qiyas dari segi sayrat-saratnya ,rukun-rukunya, pembagianya, jalan menggetahui
ilat dan pertentangan-pertentangan yang ada di dalamnya. Karena hal ini
merupakan sumber atau akal dari ijtihad .Dari sinilah fiqih yang harus di pakai
dalam beberapa masalah fiqih.
4.
Mengetahui
hal-ikhwal yang menjadi keapsahan suatu dalil seperti syarat, batasan
sistematika dan tata urutannya.
5.
Mengetahui
sumber-sumber terjadinya konsensus ulama (ijma’)
sehingga seseorang tidak sampai berfatwa menyalahi ijma’ tersebut.(sebagaimana
hal ini merupakan pendapat para ahli ushul fiqih).
6.
Mengerti
tentang ‘nasikih dan mansukh dalam al-qur’an maupun
al-sunnah agar tidak sampai menghukum
sesuatu dengan dalil mansukh yang
telah di tinggalkan.
7.
Mengetahui
kondisi perawi hadis dari segi kuat dan lemahnya, serta dapat membedakan hadis
yang sahih dari yang da’if dan hadis yang maqbul dari yang mardud.
8.
Mengetahui
maqashidus syari’ah tingkah laku dan adat kebiasaan manusia yang mengandung
maslhat dan kemadharatan dan sanggup mengetahui ‘illat hukum serta biasa
menganalogi peristiwa dengan peristiwa yang lain[7].
F.
RUANG LINGKUP IJTIHAD
Ruang
lingkup ijtihad ialah furu' dan dzhoniah yaitu masalah-masalah yang tidak ditentukan secara
pasti oleh nash Al-Qur'an dan Hadist. Hukum islam
tentang sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil Dhoni atau ayat-ayat Al-qur'an dan
hadis yang statusnya dhoni dan mengandung penafsiran serta hukum islam tentang
sesuatu yang sama sekali belum ditegaskan atau disinggung oleh Al-qur'an,
hadist, maupan ijma' para ulama' serta yang dikenal dengan masail fiqhiah
dan waqhiyah
BAB III
KESIMPULAN
a.
Pengertian Ijtihad
Ijtihad berasal dari bahasa arab yaitu “Jahada” yang mempunyai arti mencurahkan
segala kemampuan untuk mendapatkan sesuatu (yang sulit), dan dalam praktek
agamanya berarti ijtihad di gunakan pada masalah yang sulit di cari hukum dalam
syari.Ijtihad adalah mencurahkan segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’), melalui salah satu
dalil syara’ dan dengan cara tertentu.
b. Dasar Hukum Ijtihad
Menurut imam al-ghazali,setiap hukum syara’ yang
tidak memiliki dalil yang qathi’.Dari pendapatnya itu,
diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad.
c. Objek Ijtihad
Objek
ijtihad ialah setiap peristiwa hukum yang sudah ada nash-nya yang
bersifat zhanni, ataupun yang belum ada nash-nya sama sekali.
Bagi peristiwa-peristiwa yang tidak ada ketentuan nash-nya, maka objek ijtihad
dalam soal ini adalah meneliti hukumnya dengan jalan memakai qiyas atau
istihsan, maslakhah mursalah dan dalil-dalil hukum lainnya. Hal ini berarti ijtihad lebih luas daripada qiyas, setiap ada qiyas tentu
terdapat ijtihad, tetapi belum tentu setiap ada ijtihad terdapat qiyas.
d. Profil Mujtahid
IMAM MALIK
Lengkapnya Mālik
ibn Anas bin Malik bin ‘Āmr al-Asbahi atau Malik bin Anas. Lahir
di Madinah pada tahun 93 H (714 M). Dan wafat pada tahun 179 H ( 800M). Beliau
adalah pakar dibidang fikih dan ilmu hadis, merupakan pendiri mazhab
Maliki.Fikih yang beliau kembangkan bersandar pada penggunaan hadis dan
kebiasaan penduduk madinah.
IMAM ABU HANIFAH
Imam Ahlur
Ra’yi. Karena penggunaan rasio yang bebas dalam Mazhabnya.Hadis yang digunakan
diseleksi dengan ketat. Nama lengkap beliau adalah Nu’man bin Tsabit
bin Zuta bin Mahan at-Taymi, lahir di Kufah, Iraq pada 80 H (699 M),
meninggal di Baghdad pada 148 H (767 M), merupakan pendiri Mazhab Hanafi.
Imam Abu Hanifah dalam menetapkan
hukum fiqh terdiri dari tujuh pokok yaitu:
1. Al Kitab. 2. As Sunnah.
3. Perkataan para Sahabat. 4. Al Qiyas.
5. Al Istihsan 6.Ijma’
dan Uruf.
IMAM SYAFI’I
Muhammad
bin Idris asy-Syafi`i,
lahir di Gaza, Palestina, 150 H (767 M) dan wafat di Mesir pada 204 H ( 819 M
). Beliau adalah pendiri Mazhab Syafi’i yang moderat.Beliau adalah peletak
dasar ilmu Ushul Fiqh.Mazhab Syafi’i memiliki dua (2) dasar yaitu, Qadim dan
Jadid.
Dasar-dasar atau sumber hukum yang
dipakai Imam Syafi’i dalam mengistinbat hukum adalah :
- Al Kitab.
- Sunnah Mutawatirah.
- Al Ijma’.
- Khabar Ahad.
- Al Qiyas.
- Al Istishab.
IMAM AHMAD BIN HANBAL
Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal.
Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H. Beliau adalah
pendiri Mazhab Hambali.Mengumpulkan sebanyak 40.000 hadis dalam kitab
musnadnya.Dasar-dasar fatwa beliau terdapat dalam kitabnya I’laamul
Muwaaqi’in.Adapun dasar-dasar mazhabnya dalam mengistinbatkan hukum adalah :
- Nash Al Qur-an atau nash hadits.
- Fatwa sebagian Sahabat.
- Pendapat sebagian Sahabat.
- Hadits Mursal atau Hadits Doif.
- Qiyas.
e. Ruang Lingkup
Ijtihad
Ruang
lingkup ijtihad ialah furu' dan dhoniah yaitu masalah-masalah
yang tidak ditentukan secara pasti oleh nash Al-Qur'an dan Hadist. Hukum islam tentang sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil Dhoni
atau ayat-ayat Al-qur'an dan hadis yang statusnya dhoni dan mengandung
penafsiran serta hukum islam tentang sesuatu yang sama sekali belum ditegaskan
atau disinggung oleh Al-qur'an, hadist, maupan ijma' para ulama' serta yang
dikenal dengan masail fiqhiah dan waqhiyah
f. Syarat Mujtahid
Di antara syarat-syarat ijtihad
adalah :
1. Menguasai Ilmu Bahasa Arab dari segi bahasa, nahwu, sarf, balaghah, Mantek dll.)dengan pemahaman di luar kepala dan faham denganayat yang mutasyabbih dengan yang muhkam dll.
2. Mengetahui nash-nash Al-Hadits, yakni menggetahui hukum
syari’at yang di datangkan oleh
Al-Hadits yang mampu mengeluarkan (istimbat) hukum perbuatan orang mukallaf
dari padanya.
3.
Mengetahui
qiyas dari segi sayrat-saratnya ,rukun-rukunya, pembagianya, jalan menggetahui
ilat dan pertentangan-pertentangan yang ada di dalamnya.
4.
Mengetahui
hal-ikhwal yang menjadi keapsahan suatu dalil seperti syarat, batasan
sistematika dan tata urutannya.
5.
Mengetahui
sumber-sumber terjadinya konsensus ulama (ijma’)
sehingga seseorang tidak sampai berfatwa menyalahi ijma’ tersebut.(sebagaimana
hal ini merupakan pendapat para ahli ushul fiqih).
6.
Mengerti
tentang ‘nasikih dan mansukh dalam al-qur’an maupun
al-sunnah agar tidak sampai menghukum
sesuatu dengan dalil mansukh yang
telah di tinggalkan.
7.
Mengetahui
kondisi perawi hadis dari segi kuat dan lemahnya, serta dapat membedakan hadis
yang sahih dari yang da’if dan hadis yang maqbul dari yang mardud.
8.
Mengetahui
maqashidus syari’ah tingkah laku dan adat kebiasaan manusia yang mengandung
maslhat dan kemadharatan dan sanggup mengetahui ‘illat hukum serta biasa
menganalogi peristiwa dengan peristiwa yang lain.
bagus,,, sya suka baca tentang masalah ushul,,, makasih gan (http://s-hukum.blogspot.com/)
BalasHapussama-sama gan
BalasHapus