Rabu, 25 September 2013


BAB II            PEMBAHASAN2.1 Riwayat Hidup Akram KhanMuhammad Akram Khan lahir pada tanggal 3 April 1945 di Pakistan. Ayahnya bernama Chaudhry Ali Muhammad. Akram Khan dilahirkan dalam keluarga yang taat beragama, sehingga ia tumbuh menjadi sosok yang mempunyai karakter yang baik. Keluarganya termasuk orang yang berkcukupan yang memungkinkan ia mendapatkan pendidikan yang baik pula. Beliau bersekolah di Punjab University pada tahun 1966-1967 dengan prestasi mendapatkan mendali emas pada dua tahun tersebut. Pengalaman Bergabung Departemen Auditor Jenderal Pakistan pada tahun 1970 setelah melewati pemeriksaan CSS sebagai Asisten Comptroller. Sejak itu telah melayani berbagai kapasitas dan naik ke tingkat Deputy General Auditor. Kemudian melanjutkan pendidikannya ke  University of Aston, Birmingham (Industrial Administration) U.K. pada tahun 1971. Mengikuti Pelatihan Profesional pada tahun 1983-1984 program satu tahun di Kanada Komprehensif Audit Foundation, Ottawa. Pernah bekerja pada bidang organisasi pada tahun 1998-2000 Mewakili Pakistan di UNCTAD Kelompok Pakar Antarpemerintah tentang Standar Internasional akuntansi dan Pelaporan (ISAR) di Jenewa.
Beliau seorang pakar ekonomi islam dari Pakistan sebagaimana mengatakan bahwa ilmu ekonomi bertujuan mempelajari kesejahteraan manusia (falah) yang dicapai dengan mengorganisir sumber-sumber daya bumi atas dasar kerjasama dan partisipasi. Oleh sebab itu, aktivitas ekonomi merupakan bagian dari kehidupan manusia. Setiap perilaku manusia didorong dari keinginannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.  Selain dibidang ekonomi beliau juga maju dibidang akutansi dan menejemennya.2.2 Hasil Karya Akram KhanBuku
  1. Khan, Muhammad Akram
    Islamic Economics: The State of the Art",  American  Journal of Islamic Social Sciences, Herndon, V A., (16:2), 1999.
  1. Khan, Muhammad Akram
    role of audit in fighting corruption,St. Petersburg, Russia,2006.
  1. Khan, Muhammad Akram
    , Management Accountability for Public Financial Management former Deputy Auditor General of Pakistan
  1. Khan, Muhammad Akram
    , Social Accountability Sourcebook Chapter 4 Participatory Public Expenditure Management At The National Level
Artikel1.       Accounting Concepts and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions”, Performit, Lahore, (XXIII:1), January 2003, pp. 3-39.
2.       Zakah Accounting and Auditing: Principles, Rules and Experience in Pakistan”, Performit, Lahore, (XXII:4), October 2002, pp.3-28.
3.       Recent Developments in Public Sector and Role of Internal Auditor”, Performit, Lahore, (XXII:3), July 2002, pp.3-27.
4.       Analysis of Government Financial Statements: The Role of Auditors”, Performit, Lahore (XXI:2), April 2001, pp. 3-37.
5.       Some Accounting Issues Relating to Zakah,” Islamic Studies, Islamabad, (39:1), 2000, Pp. 103-20.
2.3 Pemikiran Ekonomi Akram Khan1. Larangan Terhadap Bunga BankMuhammad Akram Khan ahli ekonomi Islam yang mengatakan benar ijma’nya ulama tentang keharaman bunga bank yang merujuk kepada unsur riba. Seorang pakar ekonomi terkemuka dari Pakistan. Sebagai seorang ekonomi muslim, beliau melakukan penelitian terhadap pendapat para ahli ekonomi Islam di seluruh dunia. Dalam penelitiannya beliau tidak menemukan ada pakar (ilmuwan) ekonomi Islam yang membolehkan bunga bank. Akram Khan menegaskan kembali ajaran dasar Islam yang berkaitan dengan ekonomi. Ulasan upaya sebelumnya dibuat dengan memperhatikan penghapusan bunga dari perekonomian Pakistan. Mengusulkan strategi untuk melangkah lebih jauh dan memperbaiki kesalahan yang dibuat sejauh ini. Beliau mengusulkan kepada pemerintah untuk menyajikan rancangan undang-undang untuk larangan riba. Juga menganalisis efek kemungkinan adanya larangan riba pada berbagai indikator makro ekonomi. Karena  riba mengalokasikan sumber daya secara tidak efisien. Ini mendistorsi distribusi pendapatan. [1]Larangan riba tidak akan mempengaruhi tingkat tabungan. Beliau Menganalisa alasan untuk non-implementasi perbankan bebas bunga di Pakistan dan  menyimpulkan bahwa kepemimpinan politik di negara ini tidak serius atau tulus dalam menghapuskan bunga dari perekonomian. Terdapat literatur yang cukup besar yang menunjukkan jalan bagi perubahan yang lebih. Pengalaman praktis bank syariah juga memberi kesaksian pada kesimpulan yang sama. Berpendapat bahwa sistem kapitalis saat ini yang didasarkan pada bunga telah gagal membawa kesejahteraan bagi umat manusia. Beliau Berpendapat bahwa skema hadiah diumumkan oleh berbagai bank di Pakistan tidak sesuai dengan syariah. Mereka melibatkan bunga, perjudian dan ketidakpastian, semua dilarang oleh syariat. Berpendapat bahwa syariat Islam memiliki tujuan tertentu seperti masyarakat beradab lainnya. Islam telah melarang bunga karena merupakan kendala dalam mewujudkan tujuan tersebut. Peran negatif adalah kepentingan dalam mempromosikan pengangguran, kesenjangan pendapatan, kemubaziran konsumsi, dan pengurangan tabungan dan investasi. Riba adalah fenomena ekonomi, ia harus dihilangkan dari ekonomi melalui kepentingan ekonomi. Syariah tidak menyebarluaskan hukum apapun untuk melarang itu. Sebaliknya, itu harus diserahkan kepada kehendak bebas rakyat. Negara harus mencoba untuk menghilangkannya melalui mekanisme ekonomi. Ini harus memfasilitasi pengembangan dan evolusi sistem keuangan Islam dan orang-orang harus dibujuk oleh pengoperasian lembaga keuangan Islam untuk mengadopsi mereka dan meninggalkan transaksi berbasis riba. Mengusulkan mekanisme kelembagaan untuk menghilangkan riba. Berpendapat bahwa riba adalah fenomena ekonomi. Ini harus dihilangkan dari ekonomi melalui kepentingan ekonomi. Ini bukan fenomena hukum. Syariah tidak menyebarluaskan hukum apapun untuk melarang itu. Sebaliknya, itu harus diserahkan kepada kehendak bebas rakyat.[2]Negara harus mencoba untuk menghilangkannya melalui mekanisme ekonomi. Ini harus memfasilitasi pengembangan dan evolusi sistem keuangan Islam dan orang-orang harus dibujuk oleh pengoperasian lembaga keuangan Islam untuk mengadopsi mereka dan meninggalkan transaksi berbasis riba. Mengusulkan mekanisme kelembagaan untuk menghilangkan riba. Mengembangkan kritik berbasis bunga pembiayaan utang. Berpendapat bahwa analisis Islam perbankan dan keuangan adalah pilihan yang layak dibandingkan dengan pembiayaan berbasis bunga. Dilihat dari sudut pengalaman aktual perbankan dan keuangan Islam, hal itu menunjukkan jalan bagi mempertimbangkan kemungkinan memperkenalkan pembiayaan tanpa bunga di negara-negara Barat. Mengembangkan sebuah model pembagian laba-rugi. Berpendapat bahwa pembiayaan tanpa bunga membawa stabilitas yang lebih besar dibandingkan dengan pembiayaan berbunga. Membahas konsep riba. Juga membahas berbagai modus alternatif pembiayaan seperti mudharabah, musyarakah, ijarah, waktu multiple-counter-pinjaman, dan bai 'mu'ajjal. Menelusuri sejarah perbankan Islam di Pakistan. Poin membutuhkan perubahan hukum yang diperlukan untuk membuat perubahan ini efektif. Dengan mengacu pada perdebatan tentang penghapusan bunga dari perekonomian Pakistan, berpendapat bahwa hal itu tidak akan menimbulkan gangguan ekonomi dalam perekonomian. Komunitas bisnis lebih memilih untuk mengandalkan ekuitas. Tabungan, investasi dan distribusi pendapatan dan kekayaan akan membaik. Pemerintah akan mampu membiayai kegiatannya atas dasar alternatif bebas bunga. Berpendapat bahwa riba adalah fenomena ekonomi. Ini harus dihilangkan dari ekonomi melalui kepentingan ekonomi. Ini bukan fenomena hukum. Syariah tidak menyebarluaskan hukum apapun untuk melarang itu. Sebaliknya, itu harus diserahkan kepada kehendak bebas rakyat. Negara harus mencoba untuk menghilangkannya melalui mekanisme ekonomi. Ini harus memfasilitasi pengembangan dan evolusi sistem keuangan Islam dan orang-orang harus dibujuk oleh pengoperasian lembaga keuangan Islam untuk mengadopsi mereka dan meninggalkan transaksi berbasis riba. Setelah Beliau Mengusulkan mekanisme kelembagaan untuk menghilangkan riba maka akhirnya. Putusan Banding Bench syariah Mahkamah Agung Pakistan memutuskan pada tanggal 23 Desember 1999. Penghakiman itu pada sejumlah banding berbaring dengan Mahkamah Agung Pakistan terhadap Federal syariah Pengadilan Putusan November 1991 yang menyatakan bahwa semua jenis bunga sebagai riba. Penghakiman ini menguatkan Putusan FSC dan memerintahkan Pemerintah Pakistan untuk mengambil sejumlah langkah, termasuk undang-undang baru dan mendirikan sebuah Komisi Islamisasi Sistem Keuangan pada bulan Juni 2001. Prof.Dr..M. Akram juga tidak sembarangan mengatakan ijma’nya ulama tentang bunga bank, kecuali setelah mempejalari pendapat-pendapat para ahli yang diakuinya sebagai ulama kridible dalam bidang ekonomi. Beliau tentu telah membaca ribuan buku tentang ekonomi Islam yang menjadi bidang keahliannya.[3]2. Ekonomi ZakatMemberikan latar belakang hukum zakat di Pakistan. Bergerak ke distribusi zakat dan pengaruhnya terhadap pengentasan kemiskinan di Pakistan. Menggunakan Pendapatan Rumah Tangga data Survei yang diterbitkan oleh Biro Statistik, Pemerintah Pakistan pada tahun 1990-1991. Menyimpulkan zakat yang telah mempengaruhi tingkat pendapatan lebih dari 1,73 juta orang. Tapi karena jumlah penduduk yang menderita karena kemiskinan sangat besar dan bantuan yang diberikan oleh zakat tidak memadai, masyarakat secara keseluruhan belum mampu mengentaskan kemiskinan.[4]Menyajikan pandangan ekonomi pendapat fiqh tentang zakat dan menunjukkan bahwa beberapa dari mereka mungkin tidak konsisten dengan keadilan sosial dan ekonomi. Di Pakistan bahwa mayoritas pendapat fiqh zakat tidak mengambil prinsip keadilan menjadi pertimbangan. Sebagian besar orang kaya di setiap masyarakat muslim kontemporer hampir dibebaskan dari zakat sedangkan populasi pertanian yang buruk dibebankan pada tingkat yang lebih besar. Mengidentifikasi beberapa kelemahan dalam ijtehad hari ini dan menyerukan peran ulama khusus dalam mempertimbangkan kembali masalah ini. Maka Akram Khan Memberika beberapa saran yang komprehensif dan luas tentang masalah ini.Membahas perannya dalam mengentas kemiskinan. Mengutip studi kasus dari Pakistan, Sudan, Yaman, dan Mesir. Akram Khan Menyimpulkan bahwa peran zakat dalam mengentaskan kemiskinan di negara-negara belum berkembang dengan baik berdasarkan survei lapangan dari tehsil di Pakistan. Merangkum respon dari survei tersebut maka beliau memperkenalkan konsep Islam alokasi sumber daya dan membawa keluar pentingnya aspek ketepatan cara dalam menjalankan sesuatu seperti alokasi sumber daya dalam model kesejahteraan. Mengembangkan model manfaat analisis empiris biaya dan manfaat dari program pelatihan zakat. Sehingga menunjukkan efek kesejahteraan zakat. Perkiraan hubungan multiplier pendapatan dan zakat dan menunjukkan hubungan yang lebih umum antara zakat, pendapatan dan kesempatan kerja. Maka zakat dikelolah dengan baik bukan langsung dibagikan terus habis tetapi dikembangkan dengan memunculkan lapangan pekerjaan baru sehingga masyarakat miskin tersebut bisa bekerja dan hasilnya bisa berkembang yang tujuannya juga untuk kesejahtraan mereka dan  zakat juga sebagai alat fiskal yang membahas masalah transfer zakat dan wajib dalam ekonomi Islam. Ini adalah lembaga pertama kalinya dalam sejarah manusia untuk transfer wajib pendapatan dan kekayaan dari orang kaya kepada orang miskin.[5]3. Makro Ekonomi Teori
Mengembangkan model ekonomi makro ekonomi Islam bebas bunga menggabungkan zakat sebagai variabel. Dengan asumsi kecenderungan marjinal lebih tinggi untuk mengkonsumsi kelompok berpenghasilan rendah yang menerima zakat dari kelompok berpenghasilan tinggi, model menetapkan tingkat pendapatan lebih tinggi untuk nilai-nilai tertentu parameter lainnya. Model ini juga menunjukkan bahwa fungsi investasi berdasarkan nisbah bagi laba rugi di tempat suku bunga menghasilkan keseimbangan yang stabil antara tabungan dan investasi. Sebelum menjelaskan penentuan dalam ekonomi Islam sistem yang berbeda dari penentuan pendapatan dalam ekonomi kapitalis juga dikaji. Setelah pengenalan singkat pembagian rugi-laba, mengembangkan model makro ekonomi matematika, ekonomi berlatih laba loss sharing bukan pembiayaan berbasis bunga.[6]4. PerpajakanAkram Khan Mengembangkan kasus untuk memperkenalkan pajak pengeluaran di negara Muslim di Pakistan. Berpikir bahwa pajak akan sejalan dengan kerangka syariah secara keseluruhan, selain memiliki sejumlah manfaat dengan alasan ekonomi.Menyediakan demonstrasi awal fitur penting pajak dalam bentuk barang. Untuk mengoptimalkanl zakat maka  pada produk pertanian, lahan pertanian dan ternak juga dikenai pajak. Mulai dari latar belakang hukum yang mendasar, membahas isu isu yang relevan insiden pajak dan biaya kesejahteraan bagi masyarakat dibandingkan dengan pajak properti, pajak gaji dan pajak keuntungan. Juga memeriksa dampak pada pendapatan pemerintah serta beberapa elemen dari pajak yang baik, melibatkan perbandingan pada pendapatan negara.[7]5. Negara KesejahtraanNegara kesejahteraan memperoleh momentum setelah depresi yang terjadi pada tahun 1930 di amerika dan sebagai respon terhadap tantangan kapitalisme dan kesulitan-kesulitan yang terjadi karena depresi dan perang. Falsafah yang mendasarinya menunjukkan suatu gerakan menjauhi prinsip-prinsip Darwinisme sosial dari kapitalisme laissez-faire dan menuju kepada kepercayaan bahwa kesejahteraan individu merupakan sasaran yang teramat penting, yang realisasinya diserahkan kepada operasi kekuatan-kekuatan pasar. Falsafah ini berati merupakan pengakuan formal-formal utama ekonomi bahwa kemiskinan dan ketidakmampuan seseorangmemenuhi kebutuhannya tidaklah berarti bukti kegagalan individu tersebut.Paham ini menuntut peran negara yang lebih aktif dalam bidang ekonomi dibandingkan peranannya dibawah paham kapitalisme laissez-faire. Walaupun tujuan negara sejahtera berperikemanusiaan, namun ia tidak bisa membangun strategi yang efektif untuk mencapai tujuannya. Problem ini muncul karena negara sejahtera menhadapi kekurangan sumber daya sebagaimana yang dihadapi oleh negara-negara lain. Apabila negara sejahtera meningkatkan pemanfaatannya atau sumber daya itu melalui pelayanan kesejahteraan, ia harus menurunkan pemanfaatan lain ke atas sumber-sumber daya. Ilmu ekonomi Islam didasari pada kesadaran bahwa dalam kehidupan orientasi akhir yang menjadi tujuan adalah mencapai falah. Falah bagi seorang muslim sebagai tujuan hidup sebagai motivasi utama, tidak hanya menyangkut pencapaian di dunia tetapi juga di akherat. Falah adalah kemenangan dan kemuliaan hidup yang mencakup aspek yang lengkap dan menyeluruh bagi kehidupan manusia. Muhammad Akram Khan menjelaskan beberapa komponen dalam falah yang mencakup aspek mikro dan makro sebagaiman disajikan berikut ini.Aspek Mikro dan Makro dari Falah
Unsur Falah
Aspek Mikro
Aspek Makro

Kelangsungan hidup
Kelangsungan hidup biologis
Keseimbangan ekologi dan
lingkungan


Kelangsungan hidup ekonomi
Penyediaan sumber daya alam


Penyediaan kesempatan berusaha

Kelangsungan hidup sosial Kebersamaan sosial, ketiadaan
konflik sosial


Kelangsungan hidup politik
Jati diri dan kemandirian


Kebebasan Berkeinginan

Terbebas kemiskinan
Penyediaan sumber daya untuk penduduk


Kemandirian hidup
Penyediaan sumber daya untuk generasi mendatang

Kekuatan dan harga
diri

Harga diri
Kekuatan ekonomi dan kebebasan dari utang


Kemerdekaan, perlindungan
terhadap hidup dankehormatan

Kekuatan militer


  Dengan memahami prakonsepsi tentang falah seperi di atas, maka individu muslim sebagai pribadi dan anggota masyarakat akan mampu memposisikandirinya secara tepat dalam proses ekonomi apapun itu untuk mencapai falah yang tidak hanya diarahkan bagi capaian pribadinya, tetapi juga masyarakat Islam pada umumnya. [8]Dalam ekonomi Islam motif dalam aktifitas ekonomi adalah ibadah. Motif ibadah inilah yang kemudian mempengaruhi segala prilaku konsumsi, produksi dan interaksiekonomi lainnya. Secara spesifik ada tiga motif utama dalam prilaku ekonomi Islam, yaitu mashlahah (public interest), kebutuhan (needs) dan kewajiban (obligation).[9]Mashlahah merupakan motif yang dominan diantara ketiga motif yang ada, Akram Khan menjelaskan bahwa mashlahah adalah parameter prilaku yang bernuansa altruisme (kepentingan bersama). Berikutnya, motif kebutuhan merupakan sebuah motif dasar(fitrah), dimana manusia memang memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Sedangkan motif kewajiban merupakan representasi entitas utama motif ekonomi yaitu ibadah. Ketiga motif ini saling menguatkan dan memantapkan peran motif ibadah dalam perekonomian. Dalam paradigma ekonomi Islam harta bukanlah tujuan, ia hanya sekedar alat untuk mencapai falah. Seluruh kekayaan adalah milik Allah SWT, sehingga pada hakikatnya apa yang dimiliki manusia itu hanyalah sebuah amanah. Dan nilai amanahitulah yang menuntut manusia untuk menyikapinya dengan benar. Sedangkan dari perspektif konvensional, harta merupakan kekayaan yang menjadi hak milik pribadi seseorang. Islam cenderung melihat harta berdasarkan flow concept, yang sebaiknya mengalir. Sedangkan ekonomi konvensional cenderung memandangnya berdasarkan stock concept, yang mendorong prilaku penumpukan dan penimbunan.Berdasarkan survei yang dilakukan Akram Khan (1989) sebagaimana literatur-literatur mengenai ekonomi Islam yang muncul sejak pertengahan abad 20, diketahui bahwa dalam perkembangan pemikiran ekonomi Islam para penulis muslim memiliki pendekatan dan tinjauan yang berbeda. Secara garis besar peta pemikiran dan kecenderungan dalam memahami ekonomi Islam, menurut Akram Khan, terdapat tiga bagian besar, yaitu:[10]1. Pendekatan yuridis. Mereka memberikan kontribusi dalam pembahasan ekonomi Islam melalui pendekatan legalistik dan membahas konsep-konsep dasar dari prinsip ajaran Islam berkaitan dengan ekonomi, misalnya pembahasan masalah riba, zakat, bank, kemiskinan dan pembangunan.2. Pendekatan modernis ( alternatif keritis) mereka tidak melakukan pendekatan legalistik, tetapi lebih kepada pendekatan rasionalitas kritis terhadap persoalan-persoalan ekonomi dan masyarakat yang langsung dari sumbernya yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Dengan proses ijtihad yang mereka lakukan memberikan kontribusi pada pengembangan pemikiran ekonomi yang lebih realistik dengan kenyataan sosiai. Meskipun mendapatkan reaksi dari pihak-pihak lain yang tidak mengakui pendekatan metodologi yang dilakukannya.3. Pendekatan yang dilakukan oleh para sarjana ekonomi yang belajar di Barat dan mengembangkan pemikiran ekonomi Islam melalui istilah-istilah dan pendekatan “mainstream” ekonomi konvensional (pendekatan neo klasik dan sintesa keynesian). Analisa mereka menggunakan teknik-teknik pendidikan dan pelatihan ekonomi yang mereka pelajari.Akram Khan Pada Bidang Akuntansi
Dalam bidang akuntansi Akram Khan menuangkan gagasannya diantaranya :1.      menyajikan ide-ide dan prinsip-prinsip yang dapat membantu manajer publik memahami kewajiban mereka terhadap manajemen keuangan. Seksi satu kertas memperkenalkan konsep akuntabilitas dan berbagai perusahaan dimensi.
2.      mendefinisikan prinsip-prinsip akuntabilitas dan mengidentifikasi pelaku yang akuntabilitas sedang dibahas.
3.      mendefinisikan kriteria untuk akuntabilitas dan mekanisme memegang publik manajer bertanggung jawab.
4.      membahas bagaimana akuntabilitas ditegakkan dan mengambil diskusi yang  langkah lebih lanjut dengan mengidentifikasi berbagai masalah dalam memegang pengawas bertanggung jawab Bagian ini membahas mekanisme akuntabilitas auditor.
5.      mengusulkan mekanisme untuk menilai keadaan akuntabilitas dalam suatu negara. Mekanisme ini dapat membantu dalam mengidentifikasi kesenjangan dalam kerangka akuntabilitas yang ada dan menunjukkan tindakan kebijakan untuk memperkuat itu. Untuk menempatkan seluruh diskusi dalam perspektif ke bagian yang tepat.
6.      mengeksplorasi kendala dan tantangan yang terlibat dalam memperkenalkan kerangka kerja yang kuat akuntabilitas. Itu menggambarkan dilema manajer publik sehubungan dengan akuntabilitas. Dan terakhir membuat kebijakan.[11]Akram Khan menarik hipotesis karena Islam memilki syariah yang dipatuhi semua umatnya, wajarlah bahwa masyarakatnya memilki lembaga keuangan dari akuntansinya yang diserahkan melalui pembuktian sendiri sesuai landasan agama. konsep, system, dan teknik akuntansi yang membantu suatu lembaga atau organisasi untuk menjaga agar tujuan fungsi dan operasionalnya berjalan sesuai dengan ketentuan syariah, dapat menjaga hak hal stakeholders yang ada di dalamnya, dan mendorong menjadi lembaga yang dapat mencapai kesejahteraan hakiki dunia akhirat.
Menurut Muhammad Akram Khan sifat akuntansi Islam adalah :1.      Penentuan laba rugi yang tepatWalaupun penentuan laba rugi bersifat subyektif dan bergantung nilai, kehati-hatian harus dilaksanakan agar tercapai hasil yang bijaksana (sesuai syariah) dan konsisten, sehingga dapat menjamin bahwa kepentingan semua pihak pemakai laporan dilindungi.[12]2.      Mempromosikan dan menilai efisiensi kepemimpinanSistem akuntansi harus mampu memberikan standar berdasarkan hukum sejarah untuk menjamin bahwa manajemen mengikuti kebijaksanaan-kebijaksanaan yang baik yang mempromosikan amal baik, serta dapat menilai efisiensi manajemen.3.      Ketaatan pada hukum syariahSetiap aktifitas yang dilakukan oleh unit ekonomi harus dikenali halal haramnya. Faktor ekonomi tidak harus menjadi alasan tunggal untuk menentukan berlanjut tidaknya suatu organisasi, tetapi harus tetap tunduk terhadap syariat Islam.4.      Keterikatan pada keadilanKarena tujuan utama dalam syariah adalah penerapan keadilan dalam masyarakat seluruhnya, informasi akuntan harus mampu melaporkan setiap kegiatan atau keputusan yang dibuat untuk menambah ketidakadilan di masyarakat.5.      Melaporkan dengan baikInformasi akuntansi harus berada dalam posisi yang terbaik untuk melaporkan.Akram Khan Pada Bidang Audit
Korupsi berbeda dari penipuan karena tidak meninggalkan apapun tanda dalam catatan dari suatu organisasi dan auditor, yang umumnya bekerja dengan dokumen, merasa sulit untuk memainkan peran yang efektif dalam memerangi korupsi.  Maka Akram Khan menuangkan idenya dalam buku yang berjudul Role Of Audit In Fighting Corruption yaitu:[13]1.      mendefinisikan peran audit dalam memerangi korupsi. Ini menimbulkan dan menjawab beberapa masalah yang auditor mungkin. Hal ini juga menunjukkan bahwa audit partisipatif dapat menjadi salah satu pilihan di mana korupsi telah terjadi sebagai akibat dari kolusi.
2.      proses audit korupsi menggunakan biasa metodologi perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan. Ketika mendiskusikan perencanaan audit korupsi kertas memperkenalkan konsep "Inventarisasi Peluang Korupsi" dan "Korupsi Peluang Test ". Pelaksanaan audit korupsi menunjukkan peran yang lebih besar untuk survei umum dan karyawan.
3.      menyoroti peran audit kinerja sebagai alat Audit korupsi. Ini menunjukkan bagaimana temuan yang berkaitan dengan diseconomy, inefisiensi dan inefektifitas juga dapat mengindikasikan adanya korupsi.
4.      penguatan Lembaga Audit Tertinggi (SAI), sebagai Audit melawan korupsi tidak dapat berlangsung kecuali adalingkungan yang kondusif. Makalah ini membuat rekomendasi untukpenguatan peran SAI dan tindakan bahwa internasional masyarakat harus ambil untuk mendukung SAI negara-negara bersedia untuk dimulai dengan audit korupsi.
Analisa Pemikiran Ekonomi Islam Akram KhanMenurut pakar ekonomi Pakistan Akram Khan ilmu ekonomi Islam adalah  bertujuan untuk melakukan kajian tentang kabahagiaan hidup manusia (human falah) yang dicapai dengan mengorganisasikan sumber daya di bumi atas dasar gotong royong dan partisipasi. Ekonomi islam di tetapkan bertujuan untuk memelihara kemaslahatan umat manusia, kemaslahatan hidup tersebut berkembang dan dinamis mengikuti perkembangan dan dinamika hidup umat manusia, formulasi ekonomi yang tersurat di dalam al-qur’an dan al-hadist,tidak mengatur seluruh persoalan hidup umat manusia yang berkembang tersebut secara eksplisit. Oleh karena itu Akram Khan dalam rangka mengakomodir sebagai persoalan hidup termasuk persoalan ekonomi di setiap tempat dan masa, sehingga kemaslahatan umat manusia terpelihara diantaranya yaitu:
1.      mempelajari prilaku aktual individu dan kelompok, perusahaan, pasar dan pemerintah.2.      mengajukan suatu strategi bagi perubahan sosio ekonomi dan politik suatu strategi yang dapat membantu membawa prilaku semua pemain di pasar yang mempunyai pengaruh pada lokasi dan distribisi sumber-sumber daya sedekat mungkin dengan kondisi yang di perlukan untuk merealisasikan tujuan.Jika kita analisa keberhasilan Akram Khan pada dalam roda pemerintahan dan perekonomian dengan kebijak-kebijakan yang diambil, maka ada beberapa hal yang  menjadi faktor keberahasilan Akram Khan dalam menerapkan kebijakan ekonomi dalam pemerintahannya, yaitu:
  1. Perhatian
  2. Akram Khan tentang masalah ekonomi dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil ketetapan di dalamnya melainkan dengan perenungan dan memperhatikan tentang danpak sekarang dan akan datang. Seperti pengambilan kebijakan zakat dapat digunakan atau dikembangkan kemasa yang akan dating.
  1. Lebih
  2. mengedepankan kemanfaatan umum daripada kepentingan pribadi. Seperti permasalah pembentukan baitul mal dan pendistribusiannya.
  1. Menciptakan
  2. teori teori atau pemikran-pemikiran selain pada bidang ekonomi juga pada bidang audit dan akuntansi.
Akram Khan berpedoman berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi dalam bidang ekonomi Islam dengan tujuan mencapai Negara yang sejahtera
[1] Khan, Muhammad Akram Islamic Economics: The State of the Art",  American  Journal of Islamic Social Sciences, Herndon, V A., (16:2), 1999 hal 41.
 [2] Khan, Muhammad Akram Islamic Economics: The State of the Art",  American  Journal of Islamic Social Sciences, Herndon, V A., (16:2), 1999 hal 42 [3] Khan, Muhammad Akram Islamic Economics: The State of the Art",  American  Journal of Islamic Social Sciences, Herndon, V A., (16:2), 1999, pp. Hal 47.
[4] Khan, Muhammad Akram Islamic Economics: The State of the Art",  American  Journal of Islamic Social Sciences, Herndon, V A., (16:2), 1999, pp. Hal 97.
 [5] Khan, Muhammad Akram Islamic Economics: The State of the Art",  American  Journal of Islamic Social Sciences, Herndon, V A., (16:2), 1999, pp. Hal 98-100.
[6] Khan, Muhammad Akram Islamic Economics: The State of the Art",  American  Journal of Islamic Social Sciences, Herndon, V A., (16:2), 1999, pp. Hal 15
[7] Khan, Muhammad Akram Islamic Economics: The State of the Art",  American  Journal of Islamic Social Sciences, Herndon, V A., (16:2), 1999, pp. Hal 105.
 [8] http://webmakalah.blogspot.com/2010/03/makalah-ekonomi-islam-kajian-konsep-dan.html
[9]  Muhammad Akram Khan, “The Role of Government in the Economy,” The American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 14, No. 2, 1997, hal. 157.
[10] Adi W. Karim (ed.), Sejarah Pemikiran Ekonomi Islami, Jakarta: HIT. 2001. hal 42
[11] Khan, Muhammad Akram, Management Accountability for Public Financial Management former Deputy Auditor General of Pakistan Hal 3.
[12] http://mifdlol.staff.stainsalatiga.ac.id/2013/01/24/book-review-buku-ajar-ekonomi-islam/
[13]Khan, Muhammad Akram role of audit in fighting corruption,St. Petersburg, Russia,2006. Hal 3. 



BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Munasakhah
Bila terjadi seseorang meninggalkan sejumlah harta pusaka serta beberapa orang ahli waris, kemudian sebelum harta pusaka yang ditinggalkan itu dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya secara ilmu Faraidh, menyusul salah seorang waris yang seharusnya mendapat bagian harta pusaka tersebut meninggal dunia pula, maka dalam kasus seperti itu disebut munaasakhah.[1]
Kata munaasakha  ( منا سخة) berasal dari  “nasakha” ) نسخ) yang artinya menghapus, memindahkan, mengalihkan, maka menurut bahasa kata “munaasakhah” artinya penghapusan pemindahan sesuatu dan pengalihannya dari seseorang kepada yang lain.[2]
Menurut ilmu mawaris, munaasakhah ialah kematian seseorang yang sebelum harta peninggalannya dibagi terjadi kematian seseorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak mewarisinya sedemikian rupa sehingga terjadi pemindahan bagian sebagian ahli warisnya lantaran dia meninggal dunia sebelum pembagian harta pusaka yang meninggal terdahulu dilaksanakan.
Mengenai al-munaasakhah ini para ulama mendefinisikannya, sebagai berikut:
أَنْ يَنْتَقِلَ نَصِيْبُ بَعْضِ الْوَرَثَةِ قَبْلَ قِسْمَةِ التِّرْكَةِإِلَى مَنْ يَرِثُ مِنْهُ.
 “Berpindahnya bagian penerimaan ahli waris karena kematiannya sebelum pelaksanaan pembagian tirkah (yang seharusnya ia terima) kepada para ahli warisnya” (yusuf Musa,1959:371)
اِنْتِقَالُ نَصِيْبِ أَحَدِ الْوَرَثَةِ بِسَبَبِ مَوْتِهِ إِلَى وَارِثِهِ قَبْلَ الْقِسْمَةِ.
“Berpindahnya bagian salah seorang ahli waris kepada ahli waris lain,karena mati sebelm pelaksanaan pembagian warisan.”(lihat wahab Afifi 1984:103)
هِيَ نَقْلُ إِرْثِ مَيِّتٍ إِلَى مَنْ يَرِثُهُ مِنَ اْلاَحْيَاءِ ثُمَّ مَوْتِ ثَانِ أَوْثَالِثِ قَبْلَ تَقْسٍيْمِ التِّرْكَةِ
“yaitu,pemindahan harta warisan orang yang meninggal dunia kepada para ahli warisnya yang masih hidup,kemudian (ahli waris) kedua atau ketiga meninggal dunia sebelum pelaksanaan pembagian harta warisan”. (al-Jawad,1985:30)
أَنْ يَمُوْتَ وَاحِدٌ فَأَكْثَرُ مِنْ وَرَثَةِ الْمَيِّتِ اْلأَوَّلِ قَبْلَ قِسْمَةِ
“meninggalnya seorang atau lebih para ahli waris dari mawaris pertama sebelum pelaksanaan pembagian warisan”. (al-Khatrawy,t.t:56)
Dari uraian diatas dapatlah dipahami bahwa al-munaasakhah adalah hal pemindahan bagian penerimaan seorang atau beberapa ahli waris kepada ahli warisnya karena ia meninggal dunia sebelum mendapatkan bagian penerimaan harta peninggalan yang seharusnya ia atau mereka terima.[3]
Dengan demikian masalah munaasakhah harus mengandung empat unsur,yaitu:
1.    Harta pusaka si mayit belum dibagi-bagikan kepada ahli waris menurut ketentuan pembagian harta pusaka.
2.    Terjadinya kematian seorang atau beberapa orang ahli warisnya.
3.    Pemindahan bagian harta pusaka dari orang yang mati kemudian kepada ahli waris yang lain atau kepada ahli warisnya yang semula tidak menjadi ahli waris terhadap orang yang meninggal terdahulu.
4.    Pemindahan bagian ahli waris yang meninggal dunia kepada ahli warisnya haruslah dengan jalan mempusakai, sebab jika pemindahan tersebut karena pembelian, pemberian, atau hadiah, yang  demikian itu diluar pembahasan masalah munaasakhah.
Dengan memperhatikan pengertian munaasakhah tersebut di atas, maka munaasakhah itu mempunyai dua bentuk yaitu:
a.    Ahli waris yang bakal menerima pemindahan bagian pusaka dari orang yang meninggal belakangan adalah juga termasuk ahli waris yang meninggal dunia terdahulu.
b.    Ahli waris yang bakal menerima pemindahan bagian pusaka dari orang yang meninggal belakangan adalah ahli waris dari orang yang meninggal terdahulu.
Dalam munaasakahah bentuk pertama tidak mengalami kesulitan,sebab dalam masalah tersebut tidak memerlukan adanya pembagian harta pusaka dua kali, yakni pembagian harta pusaka orang yang meninggal terdahulu kemudian membagi harta pusaka si mati,kemudian ahli waris kedua orang itu sama saja bukan orang lain.
Oleh karena itu, cukuplah kiranya dengan membagikan harta pusaka si
mayit terdahulu kepada ahli waris yang ada dengan menganggap bahwa si mayit yang belakangan tidak hidup disaat kematian si mayit yang pertama,sebagaimana dikumpulkannya harta pribadi si mayit belakangan selain yang diwarisinya dari si mati yang pertama dengan jumlah harta pusaka yang meninggal terdahulu itu.[4]
Misalnya seorang meninggal dunia meninggalkan harta warisan atau uang sejumlah Rp900.000,00 (Sembilan ratus ribu rupiah),ahli warisnya terdiri dari 2 orang anak laki-laki yaitu Ahmad dan Hamid,dan juga 2 anak perempuan,yaitu Aisyah dan Fatimah. Sebelum harta pusaka dibagi kepada empat orang anak tersebut,mendadak Ahmad meninggalkan ahli waris selain Hamid,Aisyah,dan Fatimah tersebut. Dalam kasus seperti ini pembagian cukup sekali saja. Uang tersebut dibagikan kepada ketiga orang tersbut dengan perbandinga  2:1:1(ashabah bi ghair).
Dengan demikian,penerimaan masing-masing adalah:
1)    Hamid mendapat 2/4 x Rp900.000,00            = Rp450.000,00
2)    Aisyah mendapat ¼ x Rp900.000,00             = Rp225.000,00
3)    Fatimah mendapat ¼ x Rp900.000,00            = Rp225.000,00
Jumlah ………………………………………….= Rp900.000,00
Andaikan si Ahmad tersebut juga meninggalkan harta pusaka sebesar Rp100.000,00 dan tidak mempunyai ahli waris selain ketiga saudara itu, maka harta pusaka peninggalan si Ahmad di satukan dengan harta pusaka si mayit pertama hingga menjadi Rp 900.000,00 + Rp100.000,00 = Rp 1.000.000,00.
Dengan demikian,perolehan masing-masing ahli waris adalah:
1)    Hamid mendapat 2/4xRp1.000.000,00    = Rp500.000,00
2)    Aisyah mendapat 1/4xRp1.000.000,00    =Rp250.000,00
3)    Fatimah mendapat 1/4xRp1.000.000,00  =Rp250.000,00
Dalam munaasakhah bentuk kedua,yakni ahli waris si mayit kedua bukan ahli waris si mayit pertama,maka cara penyelesaiannya,pertama-tama harta pusaka peninggalan si mayit pertama dibagikan kepada ahli warisnya,dalam hal ini yang meninggal dunia (belakangan)diperhitungkan masih hidup waktu meinggalnya si mayit pertama,kemudian tahap berikutnya harta perolehan si mayit kedua dibagikan kepada ahli warisnya sesuai dengan status masing-masing ahli waris itu.
Secara rinci kedudukan para ahli waris yang akan menerima pemindahan bagian penerimaan dalam masalah al-Munaasakhah ini dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.    Seluruhnya sebagai ahli waris orang yang meninggal duluan dengan kedudukan yang sama dalam mewarisinya.
2.    Seluruhnya sebagai ahli waris orang yang meninggal duluan dengan kedudukan yang berbeda dalam bagian warisannya.
3.    Seluruhnya bukan ahli waris orang yang meninggal duluan (hanya sebagai ahli waris orang yang meninggal belakangan).
4.    Sebagian sebagai ahli waris orang yang meninggal duluan dan sebagian lainnya hanya sebagai ahli waris orang yang meninggal belakangan.

Contoh kasus munasakhah
Sebagai contoh misalnya seorang meninggal dunia meninggalkan harta pusaka sebesar Rp300.000,00. Ahli waris yang ditinggalkan terdiri dari seorang anak laki-laki (A) dan seorang anak perempuan (B). Seblum dilakukan pembagian pusaka kepada kedua orang anaknya itu mendadak A meninggal dunia dengan meninggalkan seorang anak perempuan (C),yakni cucu dari yang meninggal pertama.
Penyelesaian tahap pertama:
1. Anak laki-laki      (A)=2:2/3xRp300.000,00=Rp200.000,00
2. Anak perempuan  (B)=1 :1/3xRp300.000,00=Rp100.000,00
Jumlah ………………………………………...=Rp300.000,00
Penyelesaian tahap kedua:
Bagian A sebesar Rp200.000,00 dibagikan kepada ahli warisnya, perolehan masing-masing ahli waris adalah:
1. Anak perempuan (C)  anak dari (A) 1/2x2= 1
2. Saudari (B) 2-1                                      = 1
Jumlah:………………………………………= 2
Jadi bagian mereka masing-masing:
1. Anak perempuan (C) 1/2 x Rp. 200.000,00= Rp. 100.000,00
2. Saudari (B)                 1/2 x Rp. 200.000,00= Rp. 100.000,00
Dengan memperhatikan 2 tahap penyelesaian tesebut diatas akan tampak bahwa B pada tahap pertama selaku anak perempuan dari yang meninggal pertama menjadi ashabah dengan anak laki-laki dengan perbandingan 2:1 sebesar Rp. 100.000,00. Kemudian dalam perhitungan tahap kedua dia bersatu sebagai saudara perempuan A mendapat ashabah bersama-sama anak perempuan (C )sebesar Rp. 100.000.00 sehingga dari dua kali pembagian itu (B) mendapat  Rp. 100.000.00 + Rp. 100.000.00 = Rp. 200.000.00.
Dalam hal ini C (anak perempuan A atau cucu si mayit yang pertama ) hanya mendapat bagian sekali, yaitu pada tahap kedua, sebab pada tahap pertama (C) bukan ahli waris yang berhak atas harta pusaka peningggalan si mati pertama, dia mendapat bagian sebesar Rp. 100.000.00.
Dengan demikian pada akhirnya dalam kasus munaasakhah ini B mendapat Rp. 200.000.00 sedangkan C mendapat Rp. 100.000.00.

2. Munasakhah dalam KHI
Di dalam KHI, ketentuan mengenai munasakhah diatur dalam Pasal 185, yaitu:
(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

3. Analisis
Kasus pembagian harta waris dalam bentuk munasakhah dapat diselelsaikan dengan dua cara;
Cara yang pertama menggunakan acuan faraid, yaitu diselesaikan melalui tiga tahap:
Tahap pertama, penghitungan bagian harta waris kepada ahli waris walaupun salah satu ahli waris meninggal namun tetap dicantumkan bagiannya.
Tahap kedua, penghitungan bagian harta waris setelah ahli waris meninggal.
Tahap ketiga, kesimpulan jumlah harta yang diperoleh tiap ahli waris.
Sedangkan menurut KHI, apabila terjadi kasus menasakhah maka bagian ahli waris yang meninggal tadi dialihkan kepada anaknya. Dan apabila ahli waris yang lain mendapat bagian, tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang meninggal.


[1] Muhammad Ali As-Shabuni,Al-Mawarits fi al-Syari’ah al-Islamiyah,Terj.A.Zaini Dahlan,Trigenda Karya,1995,hlm.174
[2] Muhammad bin Umar Al-Bakri,Hasyiyah Muhammad bin Umar al Nakri,(kairo:Maktabah al-Misriyah,t.t),hlm.39
[3] H. Suparman Usman , Yusuf somawinata, Fiqh Mawaris=Hukum kewarisan islam. (Jakarta: Gaya Media Pratama), 1997

[4] Muhammad Yusuf Musa,Al-Tirkah wa al-Miras fi al-Islam, ( Kairo:Daar al-Ma’rifah,tt),hlm.373