A. KELAHIRAN
DAULAT USMANIYAH
Berawal
dari hancurnya kerajaan Bani Abbasiyah yang ditandai dengan kematiannya khalifah
Abbasiyah setelah ada serbuan dari raja Khulagu Khan yang dimulai dengan
pembantaian dan perampokkan di Baghdad tahun 1258 Masehi. pembantaian tersebut
berlangsung selama 6 minggu yang menurut Ibnu Khaldun menewaskan kurang lebih
1.600.000 penduduk sipil yang tidak berdaya[1].

Dalam
waktu yang demikian panjang kerajaan turki Usmani mengalamai dinamika yang
selalu menghadirkan format dan ciri khas yang baru dalam pemerintahan, bahkan
merupakan penyelamat dan bebas dunia Islam dari kekacauan yang berkepanjangan
terutama dibidang hukum, karena sebagaimana diketahui bahwa pemerintahan Turki
Usmani tidak hanya terbatas pada kekuasaan dan wilayah, tapi juga meliputi
bidang agama.
Pendiri
kerjaan Turki Usmani adalah bangsa Turki dari qabilah Oghuz yang mendiami
daerah Mungol dan daerah utara negeri China[4].
Dalam jangka waktu kurang lebih dari tiga abad, mereka pindah ke Turkistan
kemudian Persia dan Irak.
B. ADMINISTRASI
DAN RAGAM PERADILAN
Para
sultan Turki usmani terutama Salim I dan Sulaiman I serta para pengganti
berikutnya lebih besungguh-sungguh daripada khalifah Abbasiyah dalam keinginan
dan semangat untuk menjadi pemimpin yang saleh. Dalam hal ini, peranan para
ulama sangat menentukan bagi para sultan turki Usmani, sehingga pada akhirnya
peranan yang dimainkan para ulama itu dapat membuahkan hasil yang sangat
mengembirakan. Terbukti, seluruh administrasi peradilan didasarkan pada
landasan syariah.
Adapun
bentuk peradilan yang terdapat pada masa Turki Usmani adalah sebagai berikut:
1. Peradilan Syar’i.
lembaga peradilan ini merupakan peradilan tertua, yang sumber hukum materialnya
adalah Fiqh Islami.
2. Peradilan
campuran. Peradilan ini didirikan pada tahun 1875, yang sumber hukum
materialnya adalah undang-undang asing.
3. Peradilan Ahli
(Adat). Peradilan ini didirikan pada tahun 1883, yang sumber hukum
materialnya adalah undang-undang Prancis.
4. Peradilan Milly
(peradilan agama-agama di luar Islam). Sumber hukum material yang digunakan
peradilan ini adalah ajaran-ajaran agama di luar Islam.
5. Peradilan Qunshuliyah
(peradilan Negara-negara asing). Peradilan di lingkungan ini berwenang
mengadili dan menyelesaikan perkara berdasarkan undang-undang yang berlaku di
Negara masing-masing[5].
Tidak
hanya itu, peradilan yang terdapat dalam pemerintahan Usmaniyah yang terlalu
toleran terhadap orang-orang yang non-Islam ddan melampaui batas-batas yang
telah ditetapkan oleh Fuqaha, yaitu mengharuskan orang-orang yang bukan
Islam tunduk ke bawah peradilan Islam dalam perkara-perkara kemasyarakatan,
memberikan berbagai keistimewaan kepada orang-orang yang beragama lain.
Sehinggga di daearah Mesir Umpamanya disamping ada peradilan Islam, juga ada
peradilan Masehi[6]
C. MASA PERKEMBANGAN PERADILAN
Kesultanan
Turki Usmani didirikan pada tahun 1299 Masehi di Anatolia oleh Usman I setelah
berhasil menaklukkan Byzantium dan berdiri di atas reruntuhan Dinasti Saljuk. Bangsa
Turki sendiri berasal dari daerah Uni Soviet, Turkistan china yang bermigrasi
ke selatan dan ke wilayah barat, kemudian menetap di Amerika.
Pada
awal kelahirannya pemerintah Turki Usmani, syariat Islam secara utuh dan
menyeluruh telah diterapkan untuk mengatur tata kehidupan umat Islam, baik
dalam hubungan individu maupun kaitannya dengan kekuasaan pemerintahan dan
hubungan kekuasaan pemerintahan Islam dengan yang lainnya. Turki Usmani dalam
bermadzhab itu menganut madzhab Hanafi.
Adapun
kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah Turki Usmani untuk menetapkan madzhab
resmi pemerintah itu didasarkan atas beberapa pertimbangan pemikiran, antara
lain sebagai berikut:
1. Untuk mengurangi
kadar pertentangan yang ditimbulkan sebagai akibat beragamnya madzhab dalam
hukum Islam, sehingga dapat menghambat penerapan dan pelaksanaan hukum Islam
dalam masyarakat.
2. Letak geografis
perbedaan antara pusat pemerintahan Turki yang sangat jauh dari Mekkah dan
Madinah memunculkan sikap kritis umat Islam terhadap hadits yang diragukan
kesahihannya.
3. Terkesan adanya
persepsi dari bangsa Turki bahwa kebanyakan hadits itu berisi adat kebiasaan
bangsa Arab yang tidak mungkin sejalan dengan adat kebiasaan bangsa Turki
sebagai penguasa.
4. Diduga, faktor
rasionalitas dan keluwesan madzhab Hanafi sebagai penyebab dipilihnya madzhab
tersebut oleh penguasa Turki Usmani[7].
Seluruh
tatanan yang berkaitan dengan penyelenggaraan peradilan didasarkan pada syariat
Islam. Unit peradilan umum yang terkecil (peradilan perdata) bekerja sama
dengan qadha yang merupakan bagian
dari unit peradilan agama. Untuk kepentingan itu, di distrik-distrik pengadilan
terdapat “subaksi” (setara kepala
kepolisian) yang bertugas untuk tanfidz hukum
(mengeksekusi). Disamping itu, pemerintah juga menyediakan berbagai sarana dan
fasilitas yang dibutuhkan guna mendukung penyelenggaraan peradilan Pimpinan yang paling tinggi di
antara mereka disebut “Syaikh al-Islam”, yang juga bergelar Mufti Agung.
Di
antara mufti terkenal yang menjabat mufti agung adalah Abu Al-Su’ud. Ia
ditugasi untuk memodifikasi ketatalaksanaan pemerintahan Turki Ustmani dengan
ketentuan Syariat Islam. sebelum
memangku jabatan yang tinggi dan mulia itu,
ia juga telah merevisi hukum tanah yang berasal dari beberapa provinsi di Eropa
yang berlandaskan prinsip hukum Islam. Akan tetapi, penerapan yang keras dan
kaku dari prinsip-prinsip hukum Islam menjadi indikator dilakukannya kompromi
antara konsep wakaf menurut Islam dengan instansi keuangan pemerintahan Turki
Ustmani yang kemudian dikenal dengan “tapu”.
Kebijakan
lainnya yang dilakukan Abu al-Su’ud dalam bidang peradilan berkaitan erat
dengan beberapa ketetapan penting tentang wewenang hakim, yang secara umum
meliputi dua hal:
1.
Para hakim digiring untuk
mengikuti salah satu pendapat yang diakui atau disetujui mazhab Hanafi;
2.
Wewenang hakim dibatasi
dalam bidang-bidang tertentu saja, seperti perkawinan dan warisan.[8]
Kebijakan lain yang lebih mengagetkan kalangan
peradilan, terjadi pada masa pemerintahan Sulaiman I (sekitar tahun 1550),
yaitu dengan mengultimatum para hakim agar tidak melakukan pemeriksaan terhadap
pihak-pihak yang diduga melakukan penyimpangan, tetapi disertai dengan
bukti-bukti yang sahih, padahal proses pemeriksaan itu merupakan bagian
terpenting bagi para hakim guna mengungkap benar tidaknya suatu tindakan yang
dituduhkan
hal itu dapat mempengaruhi perkembangan hukum Islam.
Tetapi di sisi yang lain, ternyata situasi seperti itu menjadi inspirasi yang
dapat menghembuskan angin segar bagi para pembaharu guna melakukan
terobosan-terobosan penting, yaitu dengan melakukan pelbagai perubahan atas
materi hukum Islam itu kemudian dikenal dengan Kanun Name.
Muluknya
konsep itu ternyata hanya “fatamorgana”, hanya tinggal cita dan bayangan.
Karena dalam praktiknya, aturan-aturan hukum Islam itu dipinggirkan dari
kehidupan. Pada perkembangan berikutnya banyak ketentuan hukum islam yang
dimodifikasi, bahkan diganti sama sekali dengan ketentuan baru, seperti masalah
denda dikenakan tidak sebagaimana
mestinya, tetapi didasarkan atas kemampuan terhukum. Begitu pula hukum hadd diganti dengan ta’zir. Selanjutnya, para hakim hanya bertugas dalam membina moral
sebagaimana dikehendaki penguasa. Persoalan yang semula ditangani para hakim
banyak yang diserahkan kepada subaksi
atau kepala polisi. Masalah perdagangan dan industri diserahkan kepada muhtasib.
- Sebelum Tanzimat
Seperti
yang telah diketahui bahwa, kerajaan Turki Usmani dikepalai oleh seorang Sultan
yang mempunyai kekuasaan temporal atau dunia dan kekuasaan spiritual atau
rohani. Sebagai penguasa duniawi ia memakai titel Sultan dan sebagai kepala
rohani umat Islam ia memakai gelar Khalifah[9].
Dengan demikian, Raja Usmani mempunyai dua bentuk kekuasaan. Kekuasaan
memerintah Negara dan kekuasaan menyiarkan dan membela agama Islam.
Dalam
melaksanakan kekuasaan di atas Sultan dibantu dua pegawai tinggi, sadrazam untuk
urusan pemerintahan dan Syaikh al-Islam untuk urusan keagamaan. Keduanya
tidak mempunyai banyak suara dalam pemerintahan dan hanya melaksanakan perintah
Sultan. Dikala Sultan berhalangan atau bepergian ia digantikan sadrazam dalam menjalankan pemerintahan.
Syaikh
al-Islam yang
mengurusi bidang keagamaan dibantu oleh qadhi askar al-rumali yang
membawahi qadhi-qadhi wilayah Usmaniyah bagian Eropa, sedang qadhi
askar anduly membawahi qadhi-qadhi wilayah Usmaniyah di Asia dan
Mesir[10].
Dalam tugasnya para qadhi merujuk kepada madzhab Hanafi. Hal ini
disebabkan karena madzhab yang dipakai Sultan adalah madzhab Hanafi.
Benetuk-bentuk
peradilan pada masa ini adalah:
1. Mahkamah Biasa
atau Rendah (al-Juziyat), yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara
pidana dan perdata.
2. Mahkamah Banding[11]
(Mahkamah al-Isti’naf), yang bertugas meneliti dan mengkaji perkara yang
sedang terjadi.
3. Mahkamah Tinggi
(Mahkamah al-Tamayz au al-Naqd wa al-Ibram), yang bertugas memecat para qadhi
yang terbukti melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum.
4. Mahkamah Agung (Mahkamah
al-Isti’naf al Ulya), yang lansung di bawah pengawasan Sultan[12].
Lembaga
peradilan (qadha’) pada masa ini belum berjalan dengan baik, karena
terdapat intervensi dari pemerintah, bahkan sistem peradilan dikuasai oleh
pejabat pemerintah. Jadi, belum tampak dengan jelas pemisahan antara urusan
agama dan pemerintahan.
- Masa Tanzimat#
Secara
etimologi, tanzimat berasal dari kata nazzama yang berarti
mengatur, menyusun dan memperbaiki. Dalam bahas Inggris adalah regulation yang
mempunyai makna mengatur[13].
Istilah tersebut dalam bahasa Turki disebut Tanzimat-i Khairiye atau Qanun
Tanzim Imtek. Dari
pengertian bahas tersebut, maka Tanzimat dapat diartikan sebagai suatu
rentetan usaha yang akan memberikan suatu situasi baru dalam pengaturan
N>egara[14].
Tanzimat
merupakan suatu gerakan pembaharuan sebagai kelanjutan dari kemajuan yang telah
dilakukan oleh Sultan Sulaiman (1520-1566 M) yang termasyhur dengan sebutan al-Qanuni.
dan dilanjutkan oleh Sultan Mahmud II (1808-1839 M).
Sultan
Mahmud II juga dikenal sebagai Sultan yang pertama kali dengan tegas mengadakan
perbedaaan antar urusan agama dengan urusan dunia. Urusan agama diatur oleh
syari’at Islam (Tasyri al-Dini) dan urusan dunia diatur oleh hukum yang
bukan syari’at (Tasyti al-Madani).
Hukum
syari’at terletak di bawah kekuasaan Syaikh al-Islam, sedangkan hukum
bukan syari’at diserahkan kepada dewan perancang hukum untuk mengaturnya, hukum
yang bukan syariat diadopsi dari Eropa, Perancis dan negeri asing lainnya. Di
antaranya adalah al-Nizham al-Qadha al-Madani (Undang-Undang Peradilan
Perdata).
Dengan
penerapan al-Nizham al-Qadha al-Madani (Undang-Undang Peradilan Perdata)
dalam peradilan muncul Mahkamah al-Nizhamiyah yang terdiri dari Qadha
al-Madani (Peradilan Perdata) dan Qadha Syar’i (Peradilan Agama).
Dikotomi lembaga peradilan pada masa Sultan Mahmud II memberikan indikasi bahwa
ada pemisahan urusan agama dan urusan dunia.
Realisasi
pembaharuan ini dimulai dengan diumumkannya piagam Gulhane (Khatt-I Syarif
Gulhane) pada tanggal 3 November 1839 M, kemudian ditindaklanjuti dengan
dikeluarkannya piagam Humayun (Khatt-I Syarif al-Humayun) pada tahun
1856 M. gerakan ini terjadi pada masa Sultan Abdul Majid (1839-1861 M) putra
Sultan Mahmud II.
Piagam
Gulhane berisikan beberapa bentuk perubahan pada masa Turki Usmani,
yaitu:
1. Terjaminnya
ketentraman hidup, harta kehormatan dan warga Negara.
2. Peraturan
mengenai pemungutan pajak.
3. Peraturan
mengenai kewajiban dan lamanya dinas Militer[15].
Adapun isi pokok daripada
piagam Gulhane adalah sebagai berikut:
1.
Tertuduh agar diadili secara
terbuka dan hukuman mati agar tidak dilaksanakan sebelum ada putusan dari
pengadilan.
2.
Larangan terhadap
pelanggaran kehormatan pada seseorang.
3.
Jaminan terhadap hak milik
dan kebebasan menggunakan hak milik itu bagi si pemilik.
4.
Terpidana masih mempunyai
hak waris, dan harta tidak boleh disita.
5.
Pegawai kerajaan digaji
sesuai dengan tugas dan jabatannya.
Atas
dasar piagam ini, maka terjadi beberapa pembaharuan dalam berbagai institusi
kemasyarakatan Turki Usmani. Di antaranya dalam bidang hukum dirumuskannya
kodifikasi hukum perdata oleh Majelis al-Ahkam al-Adliyah danhukum
pidana. Sedang dibidang pemerintahan adanya sistem musyawarah dan dibidang
pendidikan, adanya pemisahan antara pendidikan umum dan agama, serta kekuasaan
pendidikan umum dilepaskan dari kekuasaan ulama[16].
Selanjutnya
pada tahun 1856 M Sultan Abdul Majid mengumumkan berlakunya piagam Humayun
yang bertujuan untuk memperkuat piagam Gulhane. Pada masa ini telah
ditetapkan pedoman hakim dalam menetapkan hukum, yaitu dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Dusturiyah pada tahun 1293 H/1877 M. Sehingga terhindar
dari hawa nafsu dan keinginan pribadi dalam menetapkan hukum. Dan juga
didirikan Mahkamah al-Tamyiz (al-Naqdu) yang merupakan lembaga
yang diberi wewenang untuk memecar para Qadhi yang melakukan
perbuatanyang melanggar hukum, karena dianggap tidak melaksanakan tugas sesuai
ketetapan[17].
Isi
dari piagam Humayun adalah sebagai berikut:
1.
Bahwa masyarakat Kristen dan
non-muslim lainnya dibolehkan melakukan pembaharuan-pembaharuan penting yang
mereka perlukan.
2.
Mendirikan tempat
peribadatan, rumah sakit, dan pemakaman juga dibolehkan.
3.
Perbedaan-perbedaan yang
diakibatkan oleh perbedaan agama, bangsa, dan bahasa dihapuskan.
4.
Kebebasan beragama dijamin,
sementara memaksakan agama dilarang.
5.
Setiap rakyat berhak menjadi
pegawai kerajaan.
6.
Perselisihan antar umat
beragama diselesaikan oleh mahkamah campuran dalam undang-undang yang akan
disusun.
7.
Pemeluk agama Kristen dan
non-muslim lainnya dibolehkan masuk dinas militer.
8.
Orang asing diberi hak untuk
memiliki tanah di wilayah kekuasaan Turki Ustmani.
9.
Perbedaan perpajakan antara
muslim dengan non-muslim dihapuskan.
10.
Pengadaan anggaran belanja
tahunan bagi negara.
11.
Pembukaan bank-bank asing.
12.
Memasukkan modal Eropa ke
Turki Utsmani.
13.
Diadakan undang-undang
dagang.
14.
Penghapusan hukuman mati
bagi orang yang murtad.
15.
Memasukkan non-muslim ke
dalam Dewan Hukum.[18]
c.
Tasyri’
setelah Tanzimat
Pada
akhir periode Turki Usmani, persoalan peradilan semakin banyak dan sumber hukum
yang dipegang tidak hanya terbatas pada syari’at Islam saja, tapi juga diambil
dari sumber no syari’at Islam, dan pada masa ini banyak muncul lembaga peradilan
yang sumber hukumnya saling berbeda, yaitu:
1. Mahkamah al-Thawaif atau Qadha al-Milli, yaitu
peradilan untuk suatu kelompok (agama), sumbernya dari agama masing-masing.
2. Qadha al-Qanshuli, yaitu peradilan untuk warga
Negara asing dengan sumber undang-undang asing tersebut.
3. Qadha Mahkamah Pidana, yaitu
bersumber dari undang-undang Eropa.
4. Qadha Mahkamah al-Huquq (Ahwal al-Madaniyah), yaitu
mengadili perkara perdata, bersumber dari Majallah al-Ahkam al-Adliyah.
5. Majelis Syari’ al-Syarif, yaitu
mengadili perkara ummat Islam khusus masalah keluarga (al-Syakhsiyah),
bersumber pada Fiqh Islam[19].
D.
Kodifikasi
Undang-Undang Perdata
Kodifikasi undang-undang itu dimulai dengan
dibentuknya kepanitiaan yang diketuai Ahmad Judat Pasya yang beranggotakan 7
(tujuh) orang ulama. Kepanitiaan yang dibentuk pada tahun 1869 itu lebih
popular dikenal dengan Panitia Himpunan
Majallah yang tujuan utamanya adalah untuk mengkodifikasikan undang-undang
perdata dari fikih Hanafi dan menyusun kitab muamalah yang tidak mengandung
ikhtilaf.
Kepanitiaan itu dapat menyelesaikan tugasnya selama 7
(tujuh) tahun (1869-1876). Hasil kerja kerasnya dapat melahirkan Kodifikasi Undang-Undang Perdata yang
disebut dengan Majallah al-Ahkam
al-‘Adliyah. Kitab undang-undang itu terdiri atas bagian Muqaddimah, 16
kitab dan 1651 pasal. Isi yang tertuang dalam Muqaddimah itu sendiri terdiri
atas 100 pasal yang memuat tentang prinsip-prinsip umum (al-qawaid al-kuliyah). Sedangkan isi yang termaktub di dalam ke-16
kitab tersebut adalah: al-ba’i, ijarah,
kafalah, rahn, amanah, hibah, syirkah, wakalah, shulh, ibra’, hawalah, syuf’ah,
hukum acara, pembuktian, gugatan, peradilan, pengakuan, bukti dan sumpah.[20]
Munculnya Kemal Atatturk selaku penguasa Turki,
ternyata membawa perubahan besar terhadap struktur pemerintahan dan sistem
perundang-undangan yang berlaku. Dalam struktur pemerintahan terjadi pergeseran
nilai dengann dihapuskannya sistem kekhilafahan, diganti dengan sistem republik
yang sekuler. Begitu pula dengan sistem perundang-undangan yang bersumber
kepada hukum Islam, Majalah al-Ahkam al-Adliyah dan al-Ahwal Al-Syakhshiyah
(Undang-Undang Kekeluargaan) yang dikodifikasi tahun 1326 Hijriyah dan sudah
diberlakukan ke seluruh wilayah kekuasaan Turki Ustmani, secara total dibekukan
dan diganti dengan undang-undang yang sepenuhnya diadopsi dan Swiss. Dengan
demikian, keberadaan hukum Islam yang selama itu sudah mengkristal dan menjadi
kultur dalam kehidupan masyarakat muslim menjadi tidak berguna lagi. Keadaan
ini sekaligus berpengaruh terhadap perkembangan peradilan, karena hakim yang
semestinya menjadi benteng terakhir dalam penegakan hukum Islam dan memiliki
peranan penting dalam berijtihad di pengadilan menjadi tidak berarti apa-apa
lagi.
E.
Kesimpulan
- Turki Usmani muncul setelah
hancurnya kerajaan Bani Abbasyiyah dengan ditandainya pembantaian terhadap
Khalifah Abbasyiyah akibat serangan dari Khulagu Khan dan menewaskan kurang
lebih 1.600.000 penduduk sipil yang tidak berdaya.
- Lembaga peradilan pada masa
Turki Utsmani dibagi menjadi tiga periode:
a. Masa sebelum Tanzimat
1) Mahkamah Biasa
atau Rendah (al-Juziyat), yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara
pidana dan perdata.
2) Mahkamah Banding
(Mahkamah al-Isti’naf), yang bertugas meneliti dan mengkaji perkara yang
sedang terjadi.
3) Mahkamah Tinggi
(Mahkamah al-Tamayz au al-Naqd wa al-Ibram), yang bertugas memecat para qadhi
yang terbukti melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum.
4) Mahkamah Agung (Mahkamah
al-Isti’naf al Ulya), yang lansung di bawah pengawasan Sultan.
b. Masa Tanzimat
1) Peradilan
Perdata.
2) Peradilan Agama.
c. Tasyri’ setelah Tanzimat
1) Mahkamah al-Thawaif atau Qadha al-Milli, yaitu
peradilan untuk suatu kelompok (agama), sumbernya dari agama masing-masing.
2) Qadha al-Qanshuli, yaitu peradilan untuk warga
Negara asing dengan sumber undang-undang asing tersebut.
3) Qadha Mahkamah Pidana, yaitu
bersumber dari undang-undang Eropa.
4) Qadha Mahkamah al-Huquq (Ahwal al-Madaniyah), yaitu
mengadili perkara perdata, bersumber dari Majallah al-Ahkam al-Adliyah.
5) Majelis Syari’ al-Syarif, yaitu mengadili perkara
ummat Islam khusus masalah keluarga (al-Syakhsiyah), bersumber pada Fiqh
Islam.
F.
Saran
Dari beberapa
uraian di atas, menandakan bahwa Islam dari awal sudah sangat kompleks dari
segi hukum maupun lemabaga hukumnya. Akan tetapi, masalah yang dialami tidak
selalu sama dan mungkin dalam menyelesaikan perkara hukumpun berbeda. Namun,
makalah ini dapat dijadikan sebagai acuan terhadap pemutusan perkara hukum
walaupun dalam makalah ini tidak menyebutkan contoh secara konkrit masalah yang
terjadi pada masa Turki Usmani.
G.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Aziz al-Humaidi, Abdurrahman Ibn Hayyin, Al-Qadha wa Nizamuhu fi al-Kitab
al-Sunnah, Kairo: Ma’had al-Mabhas al-Ilah,1831.
Abidin, H. Zainal, Tanzimat dan Ide Pembaharuannya, Jurnal Hunafa, Vol, 1 No, 1, 2004.
Bosworth, C. E, Dinasti-Dinasti
Islam, Bandung: Mizan, 1980.
Djatnika, Rahmat, Orientasi Pengembangan Ilmu Agama Islam,
Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1986.
Duraib,
Su’ud Ibn Ali \, Al-Tanzhim fi Mamlakah al-Arabiyah as-Su’udiyah, Riyadh:
Maktab al-Wazir,1983.
Hasbi
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.
Mukhlas,
Oyo Sunaryo, Perkembangan Peradilan Islam, Bandung: Ghalia Indonesia,
2012.
Munir, Abdul, Tanzimat (Piagam Gulhane dan Humayun), dalam http://dorokabuju.blogspot.com/2012/02/tanzimat-piagam-gulhane-dan-humayun.html,
19 Oktober 2012.
Nasution,
Harun, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta:
Bulan Bintang, 1996.
Nelli, Jumni, Perkembangan Hukum Islam Pada Masa turki Usmani, Hukum
Islam, Vol. VI. No. 4. Desember 2004.
[1]
Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam, (Bandung: Ghalia
Indonesia, 2012), 93
[2]Negara
itu sedang dalam keadaan siap siaga menghadapi Negara lawannya (http://www.artikata.com/arti-342649-ofensif.html)
[3]
Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam, 94
[4]
C. E Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, (Bandung: Mizan, 1980), 163
[5]
Oyo Sunaryo Mukhlas, hal. 94 yang dikutip dari bukunya Muhammad Salam Madzkur,
hal. 51
[6]
Tengku Muhammad hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), 28
[7]
Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam , 95
[8]
M. Asyhari, Op.Cit,hlm.4.
[9]
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1996), 92
[10]
Abdurrahman Ibn Hayyin Abdul Aziz al-Humaidi,Al-Qadha wa Nizamuhu fi
al-Kitab al-Sunnah, (Kairo: Ma’had al-Mabhas al-Ilah,1831), 298
[11]
Suatu lembaga yang menerima permintaan atau permohonan salah satu pihak yang
berperkara agar penetapan atau putusan yang dijatuhkan Pengadilan Agama
diperiksa ulang dalam pemeriksaan tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi Agama,
lihat Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh
al-Qadha, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 167. Yang dikutip dari bukunya M.
Yahya Harahap yang berjudul (kedudukan, kewenangan dan acara pearadilan agama
“undang-undang nomor 7 tahun 1989)
[12]
Su’ud Ibn Ali Duraib\, Al-Tanzhim fi Mamlakah al-Arabiyah as-Su’udiyah, (Riyadh:
Maktab al-Wazir,1983), 278
[13]
Abdul Munir, Tanzimat (Piagam Gulhane dan Humayun), dalam http://dorokabuju.blogspot.com/2012/02/tanzimat-piagam-gulhane-dan-humayun.html,
(19 Oktober 2012)
[14]
H. Zainal Abidin, Tanzimat dan Ide Pembaharuannya, (Jurnal Hunafa, Vol, 1 No, 1, 2004), 11.
[15]
Jumni Nelli, Perkembangan Hukum Islam Pada Masa turki Usmani, (Hukum
Islam, Vol. VI. No. 4. Desember 2004), 437
[16]
Ibid, 438
[17]
Su’ud Ibn Ali Duraib\, Al-Tanzhim fi Mamlakah al-Arabiyah as-Su’udiyah,384
[18]
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, 102.
[19]
Jumni Nelli, Perkembangan Hukum Islam Pada Masa turki Usmani, 441
[20]
Rahmat Djatnika, Orientasi Pengembangan Ilmu Agama Islam, (Jakarta:
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1986) hlm.43.
Mohon ijin copy yahom siasti astu.........?
BalasHapus👍👍
BalasHapus