Minggu, 25 November 2012



A.  KELAHIRAN DAULAT USMANIYAH
Berawal dari hancurnya kerajaan Bani Abbasiyah yang ditandai dengan kematiannya khalifah Abbasiyah setelah ada serbuan dari raja Khulagu Khan yang dimulai dengan pembantaian dan perampokkan di Baghdad tahun 1258 Masehi. pembantaian tersebut berlangsung selama 6 minggu yang menurut Ibnu Khaldun menewaskan kurang lebih 1.600.000 penduduk sipil yang tidak berdaya[1].
Dengan hancurnya kerajaan Bani Abbasiyah, kerajaan Islam pada waktu itu juga ikut hancur. Karena kerajaan Bani Abbasiyah merupakan salah satu kerajaan Islam besar yang menjadi tumpuan di dunia. Setelah peristiwa tersebut, muncul Kesultanan Usmaniyah yang dapat menunnjukkan kembali kegagah-perkasaan dunia Islam. Kesultanan Usmaniyah berhasil dengan gemilang  menyambungkan kembali usaha dan kemegahan masa pemerintahan Islam sebelumnya. Kerajaan ini mempertahankan kemegahannya sampai abad ke-20 , baik secara Ofensif[2] di masa jayanya maupun secara defensif di masa menurun[3].
Dalam waktu yang demikian panjang kerajaan turki Usmani mengalamai dinamika yang selalu menghadirkan format dan ciri khas yang baru dalam pemerintahan, bahkan merupakan penyelamat dan bebas dunia Islam dari kekacauan yang berkepanjangan terutama dibidang hukum, karena sebagaimana diketahui bahwa pemerintahan Turki Usmani tidak hanya terbatas pada kekuasaan dan wilayah, tapi juga meliputi bidang agama.


Pendiri kerjaan Turki Usmani adalah bangsa Turki dari qabilah Oghuz yang mendiami daerah Mungol dan daerah utara negeri China[4]. Dalam jangka waktu kurang lebih dari tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak.

B.   ADMINISTRASI DAN RAGAM PERADILAN
Para sultan Turki usmani terutama Salim I dan Sulaiman I serta para pengganti berikutnya lebih besungguh-sungguh daripada khalifah Abbasiyah dalam keinginan dan semangat untuk menjadi pemimpin yang saleh. Dalam hal ini, peranan para ulama sangat menentukan bagi para sultan turki Usmani, sehingga pada akhirnya peranan yang dimainkan para ulama itu dapat membuahkan hasil yang sangat mengembirakan. Terbukti, seluruh administrasi peradilan didasarkan pada landasan syariah.
Adapun bentuk peradilan yang terdapat pada masa Turki Usmani adalah sebagai berikut:
1.      Peradilan Syar’i. lembaga peradilan ini merupakan peradilan tertua, yang sumber hukum materialnya adalah Fiqh Islami.
2.      Peradilan campuran. Peradilan ini didirikan pada tahun 1875, yang sumber hukum materialnya adalah undang-undang asing.
3.      Peradilan Ahli (Adat). Peradilan ini didirikan pada tahun 1883, yang sumber hukum materialnya adalah undang-undang Prancis.
4.      Peradilan Milly (peradilan agama-agama di luar Islam). Sumber hukum material yang digunakan peradilan ini adalah ajaran-ajaran agama di luar Islam.
5.      Peradilan Qunshuliyah (peradilan Negara-negara asing). Peradilan di lingkungan ini berwenang mengadili dan menyelesaikan perkara berdasarkan undang-undang yang berlaku di Negara masing-masing[5].
Tidak hanya itu, peradilan yang terdapat dalam pemerintahan Usmaniyah yang terlalu toleran terhadap orang-orang yang non-Islam ddan melampaui batas-batas yang telah ditetapkan oleh Fuqaha, yaitu mengharuskan orang-orang yang bukan Islam tunduk ke bawah peradilan Islam dalam perkara-perkara kemasyarakatan, memberikan berbagai keistimewaan kepada orang-orang yang beragama lain. Sehinggga di daearah Mesir Umpamanya disamping ada peradilan Islam, juga ada peradilan Masehi[6]

C.    MASA PERKEMBANGAN PERADILAN
Kesultanan Turki Usmani didirikan pada tahun 1299 Masehi di Anatolia oleh Usman I setelah berhasil menaklukkan Byzantium dan berdiri di atas reruntuhan Dinasti Saljuk. Bangsa Turki sendiri berasal dari daerah Uni Soviet, Turkistan china yang bermigrasi ke selatan dan ke wilayah barat, kemudian menetap di Amerika.
Pada awal kelahirannya pemerintah Turki Usmani, syariat Islam secara utuh dan menyeluruh telah diterapkan untuk mengatur tata kehidupan umat Islam, baik dalam hubungan individu maupun kaitannya dengan kekuasaan pemerintahan dan hubungan kekuasaan pemerintahan Islam dengan yang lainnya. Turki Usmani dalam bermadzhab itu menganut madzhab Hanafi.
Adapun kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah Turki Usmani untuk menetapkan madzhab resmi pemerintah itu didasarkan atas beberapa pertimbangan pemikiran, antara lain sebagai berikut:
1.      Untuk mengurangi kadar pertentangan yang ditimbulkan sebagai akibat beragamnya madzhab dalam hukum Islam, sehingga dapat menghambat penerapan dan pelaksanaan hukum Islam dalam masyarakat.
2.      Letak geografis perbedaan antara pusat pemerintahan Turki yang sangat jauh dari Mekkah dan Madinah memunculkan sikap kritis umat Islam terhadap hadits yang diragukan kesahihannya.
3.      Terkesan adanya persepsi dari bangsa Turki bahwa kebanyakan hadits itu berisi adat kebiasaan bangsa Arab yang tidak mungkin sejalan dengan adat kebiasaan bangsa Turki sebagai penguasa.
4.      Diduga, faktor rasionalitas dan keluwesan madzhab Hanafi sebagai penyebab dipilihnya madzhab tersebut oleh penguasa Turki Usmani[7].
Seluruh tatanan yang berkaitan dengan penyelenggaraan peradilan didasarkan pada syariat Islam. Unit peradilan umum yang terkecil (peradilan perdata) bekerja sama dengan qadha yang merupakan bagian dari unit peradilan agama. Untuk kepentingan itu, di distrik-distrik pengadilan terdapat “subaksi” (setara kepala kepolisian) yang bertugas untuk tanfidz hukum (mengeksekusi). Disamping itu, pemerintah juga menyediakan berbagai sarana dan fasilitas yang dibutuhkan guna mendukung penyelenggaraan peradilan Pimpinan yang paling tinggi di antara mereka disebut “Syaikh al-Islam”, yang juga bergelar Mufti Agung.
Di antara mufti terkenal yang menjabat mufti agung adalah Abu Al-Su’ud. Ia ditugasi untuk memodifikasi ketatalaksanaan pemerintahan Turki Ustmani dengan ketentuan Syariat Islam. sebelum memangku jabatan yang tinggi dan mulia itu, ia juga telah merevisi hukum tanah yang berasal dari beberapa provinsi di Eropa yang berlandaskan prinsip hukum Islam. Akan tetapi, penerapan yang keras dan kaku dari prinsip-prinsip hukum Islam menjadi indikator dilakukannya kompromi antara konsep wakaf menurut Islam dengan instansi keuangan pemerintahan Turki Ustmani yang kemudian dikenal dengan “tapu”.
Kebijakan lainnya yang dilakukan Abu al-Su’ud dalam bidang peradilan berkaitan erat dengan beberapa ketetapan penting tentang wewenang hakim, yang secara umum meliputi dua hal:
1.      Para hakim digiring untuk mengikuti salah satu pendapat yang diakui atau disetujui mazhab Hanafi;
2.      Wewenang hakim dibatasi dalam bidang-bidang tertentu saja, seperti perkawinan dan warisan.[8]
Kebijakan lain yang lebih mengagetkan kalangan peradilan, terjadi pada masa pemerintahan Sulaiman I (sekitar tahun 1550), yaitu dengan mengultimatum para hakim agar tidak melakukan pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang diduga melakukan penyimpangan, tetapi disertai dengan bukti-bukti yang sahih, padahal proses pemeriksaan itu merupakan bagian terpenting bagi para hakim guna mengungkap benar tidaknya suatu tindakan yang dituduhkan
hal itu dapat mempengaruhi perkembangan hukum Islam. Tetapi di sisi yang lain, ternyata situasi seperti itu menjadi inspirasi yang dapat menghembuskan angin segar bagi para pembaharu guna melakukan terobosan-terobosan penting, yaitu dengan melakukan pelbagai perubahan atas materi hukum Islam itu kemudian dikenal dengan Kanun Name.
Muluknya konsep itu ternyata hanya “fatamorgana”, hanya tinggal cita dan bayangan. Karena dalam praktiknya, aturan-aturan hukum Islam itu dipinggirkan dari kehidupan. Pada perkembangan berikutnya banyak ketentuan hukum islam yang dimodifikasi, bahkan diganti sama sekali dengan ketentuan baru, seperti masalah denda dikenakan tidak  sebagaimana mestinya, tetapi didasarkan atas kemampuan terhukum. Begitu pula hukum hadd diganti dengan ta’zir. Selanjutnya, para hakim hanya bertugas dalam membina moral sebagaimana dikehendaki penguasa. Persoalan yang semula ditangani para hakim banyak yang diserahkan  kepada subaksi atau kepala polisi. Masalah perdagangan dan industri diserahkan kepada muhtasib.
  1. Sebelum Tanzimat
Seperti yang telah diketahui bahwa, kerajaan Turki Usmani dikepalai oleh seorang Sultan yang mempunyai kekuasaan temporal atau dunia dan kekuasaan spiritual atau rohani. Sebagai penguasa duniawi ia memakai titel Sultan dan sebagai kepala rohani umat Islam ia memakai gelar Khalifah[9]. Dengan demikian, Raja Usmani mempunyai dua bentuk kekuasaan. Kekuasaan memerintah Negara dan kekuasaan menyiarkan dan membela agama Islam.
Dalam melaksanakan kekuasaan di atas Sultan dibantu dua pegawai tinggi, sadrazam untuk urusan pemerintahan dan Syaikh al-Islam untuk urusan keagamaan. Keduanya tidak mempunyai banyak suara dalam pemerintahan dan hanya melaksanakan perintah Sultan. Dikala Sultan berhalangan atau bepergian ia digantikan sadrazam  dalam menjalankan pemerintahan.
Syaikh al-Islam yang mengurusi bidang keagamaan dibantu oleh qadhi askar al-rumali yang membawahi qadhi-qadhi wilayah Usmaniyah bagian Eropa, sedang qadhi askar anduly membawahi qadhi-qadhi wilayah Usmaniyah di Asia dan Mesir[10]. Dalam tugasnya para qadhi merujuk kepada madzhab Hanafi. Hal ini disebabkan karena madzhab yang dipakai Sultan adalah madzhab Hanafi.
Benetuk-bentuk peradilan pada masa ini adalah:
1.      Mahkamah Biasa atau Rendah (al-Juziyat), yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara pidana dan perdata.
2.      Mahkamah Banding[11] (Mahkamah al-Isti’naf), yang bertugas meneliti dan mengkaji perkara yang sedang terjadi.
3.      Mahkamah Tinggi (Mahkamah al-Tamayz au al-Naqd wa al-Ibram), yang bertugas memecat para qadhi yang terbukti melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum.
4.      Mahkamah Agung (Mahkamah al-Isti’naf al Ulya), yang lansung di bawah pengawasan Sultan[12].
Lembaga peradilan (qadha’) pada masa ini belum berjalan dengan baik, karena terdapat intervensi dari pemerintah, bahkan sistem peradilan dikuasai oleh pejabat pemerintah. Jadi, belum tampak dengan jelas pemisahan antara urusan agama dan pemerintahan.
  1. Masa Tanzimat#
Secara etimologi, tanzimat berasal dari kata nazzama yang berarti mengatur, menyusun dan memperbaiki. Dalam bahas Inggris adalah regulation yang mempunyai makna mengatur[13]. Istilah tersebut dalam bahasa Turki disebut Tanzimat-i Khairiye atau Qanun Tanzim Imtek. Dari pengertian bahas tersebut, maka Tanzimat dapat diartikan sebagai suatu rentetan usaha yang akan memberikan suatu situasi baru dalam pengaturan N>egara[14].
Tanzimat merupakan suatu gerakan pembaharuan sebagai kelanjutan dari kemajuan yang telah dilakukan oleh Sultan Sulaiman (1520-1566 M) yang termasyhur dengan sebutan al-Qanuni. dan dilanjutkan oleh Sultan Mahmud II (1808-1839 M).
Sultan Mahmud II juga dikenal sebagai Sultan yang pertama kali dengan tegas mengadakan perbedaaan antar urusan agama dengan urusan dunia. Urusan agama diatur oleh syari’at Islam (Tasyri al-Dini) dan urusan dunia diatur oleh hukum yang bukan syari’at (Tasyti al-Madani).
Hukum syari’at terletak di bawah kekuasaan Syaikh al-Islam, sedangkan hukum bukan syari’at diserahkan kepada dewan perancang hukum untuk mengaturnya, hukum yang bukan syariat diadopsi dari Eropa, Perancis dan negeri asing lainnya. Di antaranya adalah al-Nizham al-Qadha al-Madani (Undang-Undang Peradilan Perdata).
Dengan penerapan al-Nizham al-Qadha al-Madani (Undang-Undang Peradilan Perdata) dalam peradilan muncul Mahkamah al-Nizhamiyah yang terdiri dari Qadha al-Madani (Peradilan Perdata) dan Qadha Syar’i (Peradilan Agama). Dikotomi lembaga peradilan pada masa Sultan Mahmud II memberikan indikasi bahwa ada pemisahan urusan agama dan urusan dunia.
Realisasi pembaharuan ini dimulai dengan diumumkannya piagam Gulhane (Khatt-I Syarif Gulhane) pada tanggal 3 November 1839 M, kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya piagam Humayun (Khatt-I Syarif al-Humayun) pada tahun 1856 M. gerakan ini terjadi pada masa Sultan Abdul Majid (1839-1861 M) putra Sultan Mahmud II.
Piagam Gulhane berisikan beberapa bentuk perubahan pada masa Turki Usmani, yaitu:
1.      Terjaminnya ketentraman hidup, harta kehormatan dan warga Negara.
2.      Peraturan mengenai pemungutan pajak.
3.      Peraturan mengenai kewajiban dan lamanya dinas Militer[15].
Adapun isi pokok daripada piagam Gulhane adalah sebagai berikut:
1.      Tertuduh agar diadili secara terbuka dan hukuman mati agar tidak dilaksanakan sebelum ada putusan dari pengadilan.
2.      Larangan terhadap pelanggaran kehormatan pada seseorang.
3.      Jaminan terhadap hak milik dan kebebasan menggunakan hak milik itu bagi si pemilik.
4.      Terpidana masih mempunyai hak waris, dan harta tidak boleh disita.
5.      Pegawai kerajaan digaji sesuai dengan tugas dan jabatannya.
Atas dasar piagam ini, maka terjadi beberapa pembaharuan dalam berbagai institusi kemasyarakatan Turki Usmani. Di antaranya dalam bidang hukum dirumuskannya kodifikasi hukum perdata oleh Majelis al-Ahkam al-Adliyah danhukum pidana. Sedang dibidang pemerintahan adanya sistem musyawarah dan dibidang pendidikan, adanya pemisahan antara pendidikan umum dan agama, serta kekuasaan pendidikan umum dilepaskan dari kekuasaan ulama[16].
Selanjutnya pada tahun 1856 M Sultan Abdul Majid mengumumkan berlakunya piagam Humayun yang bertujuan untuk memperkuat piagam Gulhane. Pada masa ini telah ditetapkan pedoman hakim dalam menetapkan hukum, yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Dusturiyah pada tahun 1293 H/1877 M. Sehingga terhindar dari hawa nafsu dan keinginan pribadi dalam menetapkan hukum. Dan juga didirikan Mahkamah al-Tamyiz (al-Naqdu) yang merupakan lembaga yang diberi wewenang untuk memecar para Qadhi yang melakukan perbuatanyang melanggar hukum, karena dianggap tidak melaksanakan tugas sesuai ketetapan[17].
Isi dari piagam Humayun adalah sebagai berikut:
1.      Bahwa masyarakat Kristen dan non-muslim lainnya dibolehkan melakukan pembaharuan-pembaharuan penting yang mereka perlukan.
2.      Mendirikan tempat peribadatan, rumah sakit, dan pemakaman juga dibolehkan.
3.      Perbedaan-perbedaan yang diakibatkan oleh perbedaan agama, bangsa, dan bahasa dihapuskan.
4.      Kebebasan beragama dijamin, sementara memaksakan agama dilarang.
5.      Setiap rakyat berhak menjadi pegawai kerajaan.
6.      Perselisihan antar umat beragama diselesaikan oleh mahkamah campuran dalam undang-undang yang akan disusun.
7.      Pemeluk agama Kristen dan non-muslim lainnya dibolehkan masuk dinas militer.
8.      Orang asing diberi hak untuk memiliki tanah di wilayah kekuasaan Turki Ustmani.
9.      Perbedaan perpajakan antara muslim dengan non-muslim dihapuskan.
10.  Pengadaan anggaran belanja tahunan bagi negara.
11.  Pembukaan bank-bank asing.
12.  Memasukkan modal Eropa ke Turki Utsmani.
13.  Diadakan undang-undang dagang.
14.  Penghapusan hukuman mati bagi orang yang murtad.
15.  Memasukkan non-muslim ke dalam Dewan Hukum.[18]
c.       Tasyri’ setelah Tanzimat
Pada akhir periode Turki Usmani, persoalan peradilan semakin banyak dan sumber hukum yang dipegang tidak hanya terbatas pada syari’at Islam saja, tapi juga diambil dari sumber no syari’at Islam, dan pada masa ini banyak muncul lembaga peradilan yang sumber hukumnya saling berbeda, yaitu:
1.      Mahkamah al-Thawaif atau Qadha al-Milli, yaitu peradilan untuk suatu kelompok (agama), sumbernya dari agama masing-masing.
2.      Qadha al-Qanshuli, yaitu peradilan untuk warga Negara asing dengan sumber undang-undang asing tersebut.
3.      Qadha Mahkamah Pidana, yaitu bersumber dari undang-undang Eropa.
4.      Qadha Mahkamah al-Huquq (Ahwal al-Madaniyah), yaitu mengadili perkara perdata, bersumber dari Majallah al-Ahkam al-Adliyah.
5.      Majelis Syari’ al-Syarif, yaitu mengadili perkara ummat Islam khusus masalah keluarga (al-Syakhsiyah), bersumber pada Fiqh Islam[19].

D.    Kodifikasi Undang-Undang Perdata
Kodifikasi undang-undang itu dimulai dengan dibentuknya kepanitiaan yang diketuai Ahmad Judat Pasya yang beranggotakan 7 (tujuh) orang ulama. Kepanitiaan yang dibentuk pada tahun 1869 itu lebih popular dikenal dengan Panitia Himpunan Majallah yang tujuan utamanya adalah untuk mengkodifikasikan undang-undang perdata dari fikih Hanafi dan menyusun kitab muamalah yang tidak mengandung ikhtilaf.
Kepanitiaan itu dapat menyelesaikan tugasnya selama 7 (tujuh) tahun (1869-1876). Hasil kerja kerasnya dapat melahirkan Kodifikasi Undang-Undang Perdata yang disebut dengan Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah. Kitab undang-undang itu terdiri atas bagian Muqaddimah, 16 kitab dan 1651 pasal. Isi yang tertuang dalam Muqaddimah itu sendiri terdiri atas 100 pasal yang memuat tentang prinsip-prinsip umum (al-qawaid al-kuliyah). Sedangkan isi yang termaktub di dalam ke-16 kitab tersebut adalah: al-ba’i, ijarah, kafalah, rahn, amanah, hibah, syirkah, wakalah, shulh, ibra’, hawalah, syuf’ah, hukum acara, pembuktian, gugatan, peradilan, pengakuan, bukti dan sumpah.[20]
Munculnya Kemal Atatturk selaku penguasa Turki, ternyata membawa perubahan besar terhadap struktur pemerintahan dan sistem perundang-undangan yang berlaku. Dalam struktur pemerintahan terjadi pergeseran nilai dengann dihapuskannya sistem kekhilafahan, diganti dengan sistem republik yang sekuler. Begitu pula dengan sistem perundang-undangan yang bersumber kepada hukum Islam, Majalah al-Ahkam al-Adliyah dan al-Ahwal Al-Syakhshiyah (Undang-Undang Kekeluargaan) yang dikodifikasi tahun 1326 Hijriyah dan sudah diberlakukan ke seluruh wilayah kekuasaan Turki Ustmani, secara total dibekukan dan diganti dengan undang-undang yang sepenuhnya diadopsi dan Swiss. Dengan demikian, keberadaan hukum Islam yang selama itu sudah mengkristal dan menjadi kultur dalam kehidupan masyarakat muslim menjadi tidak berguna lagi. Keadaan ini sekaligus berpengaruh terhadap perkembangan peradilan, karena hakim yang semestinya menjadi benteng terakhir dalam penegakan hukum Islam dan memiliki peranan penting dalam berijtihad di pengadilan menjadi tidak berarti apa-apa lagi.

E.      Kesimpulan
  1. Turki Usmani muncul setelah hancurnya kerajaan Bani Abbasyiyah dengan ditandainya pembantaian terhadap Khalifah Abbasyiyah akibat serangan dari Khulagu Khan dan menewaskan kurang lebih 1.600.000 penduduk sipil yang tidak berdaya.
  2. Lembaga peradilan pada masa Turki Utsmani dibagi menjadi tiga periode:
a.       Masa sebelum Tanzimat
1)      Mahkamah Biasa atau Rendah (al-Juziyat), yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara pidana dan perdata.
2)      Mahkamah Banding (Mahkamah al-Isti’naf), yang bertugas meneliti dan mengkaji perkara yang sedang terjadi.
3)      Mahkamah Tinggi (Mahkamah al-Tamayz au al-Naqd wa al-Ibram), yang bertugas memecat para qadhi yang terbukti melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum.
4)      Mahkamah Agung (Mahkamah al-Isti’naf al Ulya), yang lansung di bawah pengawasan Sultan.
b.      Masa Tanzimat
1)      Peradilan Perdata.
2)      Peradilan Agama.
c.       Tasyri’ setelah Tanzimat
1)      Mahkamah al-Thawaif atau Qadha al-Milli, yaitu peradilan untuk suatu kelompok (agama), sumbernya dari agama masing-masing.
2)      Qadha al-Qanshuli, yaitu peradilan untuk warga Negara asing dengan sumber undang-undang asing tersebut.
3)      Qadha Mahkamah Pidana, yaitu bersumber dari undang-undang Eropa.
4)      Qadha Mahkamah al-Huquq (Ahwal al-Madaniyah), yaitu mengadili perkara perdata, bersumber dari Majallah al-Ahkam al-Adliyah.
5)      Majelis Syari’ al-Syarif, yaitu mengadili perkara ummat Islam khusus masalah keluarga (al-Syakhsiyah), bersumber pada Fiqh Islam.
F.      Saran
Dari beberapa uraian di atas, menandakan bahwa Islam dari awal sudah sangat kompleks dari segi hukum maupun lemabaga hukumnya. Akan tetapi, masalah yang dialami tidak selalu sama dan mungkin dalam menyelesaikan perkara hukumpun berbeda. Namun, makalah ini dapat dijadikan sebagai acuan terhadap pemutusan perkara hukum walaupun dalam makalah ini tidak menyebutkan contoh secara konkrit masalah yang terjadi pada masa Turki Usmani.

G.    DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz al-Humaidi, Abdurrahman Ibn Hayyin, Al-Qadha wa Nizamuhu fi al-Kitab al-Sunnah, Kairo: Ma’had al-Mabhas al-Ilah,1831.
Abidin, H. Zainal, Tanzimat dan Ide Pembaharuannya,  Jurnal Hunafa, Vol, 1 No, 1, 2004.
Bosworth, C. E, Dinasti-Dinasti Islam, Bandung: Mizan, 1980.
Djatnika, Rahmat, Orientasi Pengembangan Ilmu Agama Islam, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1986.
Duraib, Su’ud Ibn Ali \, Al-Tanzhim fi Mamlakah al-Arabiyah as-Su’udiyah, Riyadh: Maktab al-Wazir,1983.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.
Mukhlas, Oyo Sunaryo, Perkembangan Peradilan Islam, Bandung: Ghalia Indonesia, 2012.
Munir, Abdul, Tanzimat (Piagam Gulhane dan Humayun), dalam http://dorokabuju.blogspot.com/2012/02/tanzimat-piagam-gulhane-dan-humayun.html, 19 Oktober 2012.
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Nelli, Jumni, Perkembangan Hukum Islam Pada Masa turki Usmani, Hukum Islam, Vol. VI. No. 4. Desember 2004.





[1] Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam, (Bandung: Ghalia Indonesia, 2012),  93
[2]Negara itu sedang dalam keadaan siap siaga menghadapi Negara lawannya (http://www.artikata.com/arti-342649-ofensif.html)
[3] Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam, 94
[4] C. E Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, (Bandung: Mizan, 1980),  163
[5] Oyo Sunaryo Mukhlas, hal. 94 yang dikutip dari bukunya Muhammad Salam Madzkur, hal. 51
[6] Tengku Muhammad hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), 28
[7] Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam , 95
[8] M. Asyhari, Op.Cit,hlm.4.
[9] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), 92
[10] Abdurrahman Ibn Hayyin Abdul Aziz al-Humaidi,Al-Qadha wa Nizamuhu fi al-Kitab al-Sunnah, (Kairo: Ma’had al-Mabhas al-Ilah,1831), 298
[11] Suatu lembaga yang menerima permintaan atau permohonan salah satu pihak yang berperkara agar penetapan atau putusan yang dijatuhkan Pengadilan Agama diperiksa ulang dalam pemeriksaan tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi Agama, lihat Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 167. Yang dikutip dari bukunya M. Yahya Harahap yang berjudul (kedudukan, kewenangan dan acara pearadilan agama “undang-undang nomor 7 tahun 1989)
[12] Su’ud Ibn Ali Duraib\, Al-Tanzhim fi Mamlakah al-Arabiyah as-Su’udiyah, (Riyadh: Maktab al-Wazir,1983), 278
[13] Abdul Munir, Tanzimat (Piagam Gulhane dan Humayun), dalam http://dorokabuju.blogspot.com/2012/02/tanzimat-piagam-gulhane-dan-humayun.html, (19 Oktober 2012)
[14] H. Zainal Abidin, Tanzimat dan Ide Pembaharuannya,  (Jurnal Hunafa, Vol, 1 No, 1, 2004), 11.
[15] Jumni Nelli, Perkembangan Hukum Islam Pada Masa turki Usmani, (Hukum Islam, Vol. VI. No. 4. Desember 2004), 437
[16] Ibid, 438
[17] Su’ud Ibn Ali Duraib\, Al-Tanzhim fi Mamlakah al-Arabiyah as-Su’udiyah,384
[18] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, 102.
[19] Jumni Nelli, Perkembangan Hukum Islam Pada Masa turki Usmani, 441
[20] Rahmat Djatnika, Orientasi Pengembangan Ilmu Agama Islam, (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1986) hlm.43.

2 komentar :