1.
PERTENTANGAN
ANTAR DALIL DAN CARA PENYELESAIANNYA
Ma’na ta’arudl (Ta’arrudl al-Adillah)
Kata ta’arud, secara etimologi berarti
pertentangan, sedangkan al-adillah adalah bentuk jamak dari kata dalil,
yang berarti alasan, argumen, dan dalil.
Adapun secara terminologi, para ulama memiliki
berbagai pendapat tentang definisi ta’arud al-adillah, diantaranya :
a. Menurut Imam Asy-Syaukani, ta’arud al-adillah adalah suatu dalil
yang menentukan hukum tertentu terhadap suatu persoalan, sedangkan dalil lain
menentukan hukum yang berbeda dengan dalil itu. (Asy-Syaukani : 242)
b. Menurut Kamal Ibnu Al-Humam dan At-Taftazani, ta’arud al-adillah
adalah pertentangan antara dua dalil yang tidak mungkin untuk dikompromikan
antara keduanya. (At-Taftazai : 103)
c. Ali Hasaballah berpendapat bahwa ta’arud al-adillah adalah
terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang
dikandung dalam dalil lainnya dan kedua dalil tersebut berada dalam satu
derajat. (Ali Hasaballah : 334)[1]
Ta’arudl ialah masing-masing daripada dua dalil menghendaki apa yang tidak
dikehendaki oleh selainnya.
Dengan ibarat
yang lain, ialah:
اقتضـأ كل واحد
من الد ليــلين فى وقـت واحد حــكما فى الووا وقعـة يخا لف ما يقـتضـيه الد ليـل
الا خـر فيـها.
Artinya: masing-masing dalil mengkehendaki
hukum diwaktu yang sama, terdapat sesuatu kejadian, yang menyalahi hukum yang
dikehendaki oleh dalil yang lain[2].
Abdul
Wahab Khalaf mendifinisikan ta’arudh secara singkat, yaitu perbedaan
antara dua nash atau dalil yang sama kekuatannya. Dari beberapa definisi
tersebut memberi titik penekanan yang berbeda, namun dapat disimpulkan bahwa ta’arud
itu merupakan pembahasan dua dalil yang saling bertentangan.[3]
Pada
dasarnya tidak ada pertentangan antara kalam Allah dan Rasul-Nya. Oleh sebab
itu, adanya anggapan ta’arud antara dua atau beberapa dalil, hanyalah dalam
pandangan mujtahid, bukan pada hakikatnya. Dalam kerangka piker ini, maka
ta’arud mungkin terjadi baik pada dalil-dalil yang qath’i maupun dalil zhanni.[4]
2.
Cara
Penyelesaian Ta’arudh
Apabila
ditemukan dua dalil yang bertentangan secara lahirnya, maka harus diadakan
pembahasan untuk memadukan keduanya dengan cara-cara memadukan yang telah
diatur dalam ushul fiqh. Dan apabila dua dalil tersebut telah diusahakan
perpaduannya, namun tetap tidak menemukan jalan keluar, maka pelaksaannya
dihentikan dan mencari dalil yang lain. Para ulama ushul telah merumuskan
tahapan-tahapan penyelesaian dalil-dalil yang kontradiksi yang bertolak pada
suatu prinsip yang tertuang dalam kaidah sebagai berikut:[5]
“Mengamalkan
dua dalil yang berbenturan itu lebih baik daripada meninggalkan keduanya“
Dari kaidah di
atas dapat dirumuskan tahapan penyelesaian dalil-dalil yang berbenturan serta
cara-caranya sebagai berikut:
a.
Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi (Al-Jam’u
wa al-Taufiq)
Dapat ditempuh
dengan cara:
Taufiq (kompromi).
Maksudnya adalah mempertemukan dan mendekatkan dalil-dalil yang diperkirakan
berbenturan atau menjelaskan kedudukan hukum yang ditunjuk oleh kedua dalil
tersebut, sehingga tidak terlihat lagi adanya kontradiksi:[6]
.
Contoh:
“Orang-orang
yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaklah berwasiat bagi
istri-istri mereka untuk bersenang –senang selama satu tahun.” (QS.
Al-Baqarah: 240)
Dengan ayat
yang berbunyi:
“Orang-orang
yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaklah istri-istri
itu menahan diri selama empat bulan sepuluh hari.”
Kedua
ayat di atas secara lahir memang berbenturan karena ayat yang pertama
menetapkan iddah selama satu tahun, sedangkan ayat yang kedua menetapkan iddah
selama empat bulan sepuluh hari.
Usaha
kompromi dalam kasus ini adalah dengan menjelaskan bahwa yang dimaksud
bersenang-senang selama satu tahun pada ayat pertama adalah hak mantan istri
untuk tinggal di rumah mantan suaminya selama satu tahun (jika tidak menikah
lagi). Sedangkan masa iddah selama empat bulan sepuluh hari dalam ayat yang
kedua maksudnya adalah sebagai batas minimal untuk tidak menikah lagi selama
masa itu.
Takhsis, yaitu jika
dua dalil yang secara zhahir berbenturan dan tidak mungkin dilakukan usaha
kompromi, namun satu diantara dalil tersebut bersifat umum dan yang lain
bersifat khusus, maka dalil yang khusus itulah yang diamalkan untuk mengatur
hal yang khusus. Sedangkan dalil yang umum diamalkan menurut keumumannya
sesudah dikurangi dengan ketentuan yang khusus.
Contoh
firman Allah QS. Al-Baqarah:228 yang berbunyi:
“Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menungu) tagi kali sesuci.” (QS.
Al-Baqarah:22)
Dan
pada ayat lain sebagai berikut:
“Perempuan-perempuan
hamil (yang dicerai suami) waktu iddah mereka adalah sampai melahirkan
kandungannya.”
Perbenturan
secara zhahir kedua ayat di atas bahwa iddah istri yang ditalak suami adalah
tiga kali sesuci, sedangkan istri yang dicerai suami dalam keadaan mengandung,
maka iddahnya adalah sampai melahirkan anaknya.
Usaha
penyelesaian malalui takhsis dalam dua dalil di atas yaitu memberlakukan
batas melahirkan anak, khusus bagi istri yang dicerai suaminya dalam keadaan
hamil. Dengan usaha takhsis ini ketentuan bagi istri yang hamil
dikeluarkan dari keumumannya.
b. Mengamalkan
satu dalil diantara dua dalil yang berbenturan
Bila
dua dalil yang berbenturan tidak dapat dikompromikan atau ditakhsis,
maka kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan keduanya. Dengan demikian hanya
satu dalil yang dapat diamalkan. Usaha penyelesaian dalam bentuk ini dapat
ditempuh dengan 3 cara:
Nasakh Maksudnya apabila dapat diketahui secara pasti
bahwa satu diantara dua dalil yang kontradiksi itu lebih dahulu turun atau
lebih dahulu berlakunya, sedangkan dalil yang satu lagi belakangan turunnya,
maka dalil yang datang belakangan itu dinyatakan berlaku untuk seterusnya,
sedangkan dalil yang lebih dulu dengan sendirinya dinyatakan tidak berlaku
lagi.[7]
Contoh:
“Sesungguhnya
saya telah melarangmu berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah.”
Keterangan
waktu yang menjelaskan berlakunya dua nash yang berbeda adalah apabila dua
dalil hukum berbenturan dan tidak mungkin diselesaikan dengan cara apapun,
tetapi dapat diketahui bahwa yang satu lebih dahulu datangnya dari pada yang
satunya, maka yang terakhir ini menasakh yang lebih dahulu datang, sebagaimana
yang terjadi pada hadist di atas, dan juga hadits di bawah ini yang berbunyi:
“Sesungguhnya
saya telah melarangmu menyimpan daging kurban lebih dari keperluan tiga hari,
maka sekarang makanlah dan simpanlah.”
Tarjih. Maksudnya
adalah apabila diantara dua dalil yang diduga berbenturan tidak diketahui mana
yang belakangan turun atau berlakunya, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan
nasakh, namun ditemukan banyak petunjuk yang menyatakan bahwa salah satu
diantaranya lebih kuat dari pada yang lain, maka diamalkanlah dalil yang
disertai petunjuk yang menguatkan itu, dan dalil yang lain ditinggalkan.
Contoh:
Seperti mendahulukan khabar dari Aisyah ra. tentang wajibnya mandi bila terjadi
persetubuhan dari pada khabar Abu Hurairah yang mewajibkan mandi hanya apabila
keluar mani.
Takhyir. Maksudnya
bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat ditempuh secara nasakh dan tarjih,
namun kedua dalil itu masih mungkin untuk diamalkan, maka penyelesaiannya
ditempuh dengan cara memilih salah satu diantara dua dalil itu untuk diamalkan,
sedangkan yang lain tidak diamalkan.
c. Meninggalkan
dua dalil yang berbenturan
Bila
penyelesaian dua dalil yang dipandang berbenturan itu tidak mampu diselesaikan
dengan dua cara di atas, maka ditempuh dengan cara ketiga, yaitu dengan
meninggalkan dua dalil tersebut. Adapun cara meninggalkan kedua dalil yang
berbenturan itu ada dua bentuk, yaitu:
Tawaquf
(menangguhkan),
menangguhkan pengamalan dalil tersebut sambil menunggu kemungkinan adanya
petunjuk lain untuk mengamalkan salah satu diantara keduanya.
Tasaquth (saling
berguguran), meninggalkan kedua dalil tersebut dan mencari dalil yang lain
untuk diamalkan.[8]
3.
Ma’na Tarjih
Secara bahasa (etimologi), Tarjîh adalah masdâr
dari rajjaha-yurrajihu, yang artinya mengukur sesuatu dengan tangan dan melihat
sesuatu yang memberatkannya. Bila ada kalimat yang berbunyi; arjahul mizân, itu
artinya yang paling berat dalam timbangan. Kata tarjîh sendiri sebenarnya
bermakna al-mail (kecendrungan) dan al-tsaql (bobot). Secara istilah
(terminologi), ada perbedaan pendapat para ulama. Imam Syaukani mendefinisikan
tarjîh sebagai menetapkan satu pilihan dari dua opsi yang tersedia dan ta'ârudh
(saling bertolak belakang) satu sama lainnya.
Sedangkan ulama mazhab Hanafi mendefinisikan
tarjîh sebagai usaha melebihkan satu dari dua dalil yang sama kuat. Jadi,
menurut mereka, tarjîh hanya terjadi bila dua dalilnya sama kuat. Bila dalilnya
tidak sama kuat (contohya al-Quran dengan Hadis, atau Hadis sahih dengan Hadis
dha'if), tidak dinamakan tarjîh. Ulama mazhab Syafi'i mendefinisikan tarjîh
sebagai menguatkan salah satu dari dua dalil yang zhanni untuk kemudian
diamalkan. Dalam perspektif mazhab ini, tarjîh hanya terjadi bila ada dua dalil
yang sama-sama zhanniy. Maka, tidak ada tarjîh antara dua dalil yang sama-sama
qath'iy, atau antara dalil qath'i dan dalil zhanniy[9].
Pada dasarnya definisi dari ulama Hanafi dengan
Syafi'i hampir sama. Bedanya, ulama Hanafi menggunakan redaksi ‘dua dalil yang
sama kuat’, sementara ulama Syafi'i menggunakan redaksi zanniy dan qath`iy.
Penulis lebih sepakat untuk memakai definisi yang digunakan oleh Imam Syaukani,
karena lebih umum dan lebih mencakup. Karena, menurut penulis, ta'ârudh bisa
saja terjadi antara dalil yang berbeda kekuatannya, dikarenakan ketidaktahuan
akan derajat dalil tersebut.
Sebagian besar ulama bersepakat untuk menggunakan metode tarjîh ini ketika terjadi ta'ârudh antar beberapa dalil. Sebagian lain menolaknya dan lebih mendahulukan takhyîr (memilih) atau pun tawaqquf. Bedanya tarjîh dengan takhyîr adalah, dalam amal tarjîh, seorang mujtahid akan sampai pada lahirnya dua kesimpulan; adanya dalil yang râjih dan yang marjuh. Sementara, dalam takhyîr, seorang mujtahid hanya memilih tanpa diikuti oleh dua hal di atas[10].
Sebagian besar ulama bersepakat untuk menggunakan metode tarjîh ini ketika terjadi ta'ârudh antar beberapa dalil. Sebagian lain menolaknya dan lebih mendahulukan takhyîr (memilih) atau pun tawaqquf. Bedanya tarjîh dengan takhyîr adalah, dalam amal tarjîh, seorang mujtahid akan sampai pada lahirnya dua kesimpulan; adanya dalil yang râjih dan yang marjuh. Sementara, dalam takhyîr, seorang mujtahid hanya memilih tanpa diikuti oleh dua hal di atas[10].
Para ulama telah sepakat
bahwa dalil yang rajih (dikuatkan) harus diamalkan, sebaliknya dalil yang marjuh
(dilemahkan) tidak perlu diamalkan.[11]
4. Cara Mentarjih
‘Ali ibn Saif al-Din
al-Amidi (w.631 H) ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah menjelaskan secara
rinci metode tarjih. Metode tarjih yang berhubungan dengan
pertentangan antara dua nash atau lebih antara lain secara global adalah
:
1)
Tarjih dari segi sanad.
Tarjih dari sisi ini mungkin dilakukan antara lain dengan meneliti rawi
yang menurut jumhur ulama Ushul Fiqh, hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang
lebih banyak jumlahnya, didahulukan atas hadits yang lebih sedikit;
2)
Tarjih dari segi matan
yang mungkin dilakukan dengan beberapa bentuk antara lain, bahwa bilamana
terjadi pertentangan antara dua dalil tentang hukum suatu masalah, maka dalil
yang melarang didahulukan atas dalil yang membolehkan;
3)
Tarjih dari segi adanya faktor
luar yang mendukung salah satu dari dua dalil yang bertentangan. Dalil yang
didukung oleh dalil yang lain termasuk dalil yang merupakan hasil ijtihad,
didahulukan atas dalil yang tidak mendapat dukungan.[12]
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Kata ta’arud, secara etimologi berarti
pertentangan, sedangkan al-adillah adalah bentuk jamak dari kata dalil,
yang berarti alasan, argumen, dan dalil.
Adapun secara terminologi, para ulama memiliki
berbagai pendapat tentang definisi ta’arud al-adillah, diantaranya :
a. Menurut Imam Asy-Syaukani, ta’arud al-adillah adalah suatu dalil
yang menentukan hukum tertentu terhadap suatu persoalan, sedangkan dalil lain
menentukan hukum yang berbeda dengan dalil itu. (Asy-Syaukani : 242)
b. Menurut Kamal Ibnu Al-Humam dan At-Taftazani, ta’arud al-adillah
adalah pertentangan antara dua dalil yang tidak mungkin untuk dikompromikan
antara keduanya. (At-Taftazai : 103)
c. Ali Hasaballah berpendapat bahwa ta’arud al-adillah adalah
terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang
dikandung dalam dalil lainnya dan kedua dalil tersebut berada dalam satu
derajat. (Ali Hasaballah : 334)
Dari kaidah di
atas dapat dirumuskan tahapan penyelesaian dalil-dalil yang berbenturan serta
cara-caranya sebagai berikut:
a. Mengamalkan dua
dalil yang kontradiksi (Al-Jam’u wa al-Taufiq)
b. Mengamalkan
satu dalil diantara dua dalil yang berbenturan
c. Meninggalkan
dua dalil yang berbenturan
Secara bahasa (etimologi), Tarjîh adalah masdâr
dari rajjaha-yurrajihu, yang artinya mengukur sesuatu dengan tangan dan melihat
sesuatu yang memberatkannya. Kata tarjîh sendiri sebenarnya bermakna al-mail
(kecendrungan) dan al-tsaql (bobot). Secara istilah (terminologi), ada
perbedaan pendapat para ulama. Para ulama telah sepakat
bahwa dalil yang rajih (dikuatkan) harus diamalkan, sebaliknya dalil yang marjuh
(dilemahkan) tidak perlu diamalkan.
Menurut ‘Ali ibn Saif
al-Din al-Amidi (w.631 H) metode tarjih yang berhubungan dengan
pertentangan antara dua nash atau lebih antara lain secara global adalah
:
a.
Tarjih dari segi sanad.
Tarjih dari sisi ini mungkin dilakukan antara lain dengan meneliti rawi
yang menurut jumhur ulama Ushul Fiqh, hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang
lebih banyak jumlahnya, didahulukan atas hadits yang lebih sedikit;
b.
Tarjih dari segi matan
yang mungkin dilakukan dengan beberapa bentuk antara lain, bahwa bilamana
terjadi pertentangan antara dua dalil tentang hukum suatu masalah, maka dalil
yang melarang didahulukan atas dalil yang membolehkan;
c.
Tarjih dari segi adanya faktor
luar yang mendukung salah satu dari dua dalil yang bertentangan. Dalil yang
didukung oleh dalil yang lain termasuk dalil yang merupakan hasil ijtihad,
didahulukan atas dalil yang tidak mendapat dukungan.
[1] Rachmad Syafe’i, Ilmu Ushul
Fiqh,(Bandung:Pustaka Setia, 1999) hal. 225
[2] T. Hasbi Ash-Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam II, Cet. 6 (Jakarta: Bulan
Bintang, 1981) Hal. 21.
[3] Abdul Wahab
Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemah. Prof. Drs. KH. Masdar Helmy, Bandung: Gema
Risalah Press, 1997.
[4] Satria Effendi,
Ushul Fiqh, Cet. 3 (Jakarta: Kencana, 2009) Hal, 239.
[5] Firdaus.
Ushul Fiqh (Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif.(Jakarta:
Zikrul Hakim, 2004) h. 198-201.
[6] Amir
Syarifudin, Op Cit. h. 208
[7] Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut:
Dra al-Fikr,2001), Cet.ke-2, h. 961-962.
[8] Ibid,.
[10]
Ibid.
[11] Rachmad Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh,(Bandung:Pustaka
Setia, 1999) hal. 243
0 komentar :
Posting Komentar