Selasa, 15 Januari 2013


1.    
PERTENTANGAN ANTAR DALIL DAN CARA PENYELESAIANNYA
 Ma’na ta’arudl (Ta’arrudl al-Adillah)

Kata ta’arud, secara etimologi berarti pertentangan, sedangkan al-adillah adalah bentuk jamak dari kata dalil, yang berarti alasan, argumen, dan dalil.
Adapun secara terminologi, para ulama memiliki berbagai pendapat tentang definisi ta’arud al-adillah, diantaranya :
a.       Menurut Imam Asy-Syaukani, ta’arud al-adillah adalah suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap suatu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan dalil itu. (Asy-Syaukani : 242)
b.      Menurut Kamal Ibnu Al-Humam dan At-Taftazani, ta’arud al-adillah adalah pertentangan antara dua dalil yang tidak mungkin untuk dikompromikan antara keduanya. (At-Taftazai : 103)
c.       Ali Hasaballah berpendapat bahwa ta’arud al-adillah adalah terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalam dalil lainnya dan kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat. (Ali Hasaballah : 334)[1]
Ta’arudl ialah masing-masing daripada  dua dalil menghendaki apa yang tidak dikehendaki oleh selainnya.
Dengan ibarat yang lain, ialah:
اقتضـأ كل واحد من الد ليــلين فى وقـت واحد حــكما فى الووا وقعـة يخا لف ما يقـتضـيه الد ليـل الا خـر فيـها.
Artinya: masing-masing dalil mengkehendaki hukum diwaktu yang sama, terdapat sesuatu kejadian, yang menyalahi hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lain[2].
Abdul Wahab Khalaf mendifinisikan ta’arudh secara singkat, yaitu perbedaan antara dua nash atau dalil yang sama kekuatannya. Dari beberapa definisi tersebut memberi titik penekanan yang berbeda, namun dapat disimpulkan bahwa ta’arud itu merupakan pembahasan dua dalil yang saling bertentangan.[3]
Pada dasarnya tidak ada pertentangan antara kalam Allah dan Rasul-Nya. Oleh sebab itu, adanya anggapan ta’arud antara dua atau beberapa dalil, hanyalah dalam pandangan mujtahid, bukan pada hakikatnya. Dalam kerangka piker ini, maka ta’arud mungkin terjadi baik pada dalil-dalil yang qath’i maupun dalil zhanni.[4]

2.      Cara Penyelesaian Ta’arudh

Apabila ditemukan dua dalil yang bertentangan secara lahirnya, maka harus diadakan pembahasan untuk memadukan keduanya dengan cara-cara memadukan yang telah diatur dalam ushul fiqh. Dan apabila dua dalil tersebut telah diusahakan perpaduannya, namun tetap tidak menemukan jalan keluar, maka pelaksaannya dihentikan dan mencari dalil yang lain. Para ulama ushul telah merumuskan tahapan-tahapan penyelesaian dalil-dalil yang kontradiksi yang bertolak pada suatu prinsip yang tertuang dalam kaidah sebagai berikut:[5]
“Mengamalkan dua dalil yang berbenturan itu lebih baik daripada meninggalkan keduanya“
Dari kaidah di atas dapat dirumuskan tahapan penyelesaian dalil-dalil yang berbenturan serta cara-caranya sebagai berikut:

a.       Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi (Al-Jam’u wa al-Taufiq)
Dapat ditempuh dengan cara:
Taufiq (kompromi). Maksudnya adalah mempertemukan dan mendekatkan dalil-dalil yang diperkirakan berbenturan atau menjelaskan kedudukan hukum yang ditunjuk oleh kedua dalil tersebut, sehingga tidak terlihat lagi adanya kontradiksi:[6]
.
Contoh:
“Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaklah berwasiat bagi istri-istri mereka untuk bersenang –senang selama satu tahun.” (QS. Al-Baqarah: 240)
Dengan ayat yang berbunyi:
“Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaklah istri-istri itu menahan diri selama empat bulan sepuluh hari.”

Kedua ayat di atas secara lahir memang berbenturan karena ayat yang pertama menetapkan iddah selama satu tahun, sedangkan ayat yang kedua menetapkan iddah selama empat bulan sepuluh hari.
Usaha kompromi dalam kasus ini adalah dengan menjelaskan bahwa yang dimaksud bersenang-senang selama satu tahun pada ayat pertama adalah hak mantan istri untuk tinggal di rumah mantan suaminya selama satu tahun (jika tidak menikah lagi). Sedangkan masa iddah selama empat bulan sepuluh hari dalam ayat yang kedua maksudnya adalah sebagai batas minimal untuk tidak menikah lagi selama masa itu.
Takhsis, yaitu jika dua dalil yang secara zhahir berbenturan dan tidak mungkin dilakukan usaha kompromi, namun satu diantara dalil tersebut bersifat umum dan yang lain bersifat khusus, maka dalil yang khusus itulah yang diamalkan untuk mengatur hal yang khusus. Sedangkan dalil yang umum diamalkan menurut keumumannya sesudah dikurangi dengan ketentuan yang khusus.
Contoh firman Allah QS. Al-Baqarah:228 yang berbunyi:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menungu) tagi kali sesuci.” (QS. Al-Baqarah:22)
Dan pada ayat lain sebagai berikut:
“Perempuan-perempuan hamil (yang dicerai suami) waktu iddah mereka adalah sampai melahirkan kandungannya.”
Perbenturan secara zhahir kedua ayat di atas bahwa iddah istri yang ditalak suami adalah tiga kali sesuci, sedangkan istri yang dicerai suami dalam keadaan mengandung, maka iddahnya adalah sampai melahirkan anaknya.
Usaha penyelesaian malalui takhsis dalam dua dalil di atas yaitu memberlakukan batas melahirkan anak, khusus bagi istri yang dicerai suaminya dalam keadaan hamil. Dengan usaha takhsis ini ketentuan bagi istri yang hamil dikeluarkan dari keumumannya.

b.      Mengamalkan satu dalil diantara dua dalil yang berbenturan
Bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat dikompromikan atau ditakhsis, maka kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan keduanya. Dengan demikian hanya satu dalil yang dapat diamalkan. Usaha penyelesaian dalam bentuk ini dapat ditempuh dengan 3 cara:
Nasakh  Maksudnya apabila dapat diketahui secara pasti bahwa satu diantara dua dalil yang kontradiksi itu lebih dahulu turun atau lebih dahulu berlakunya, sedangkan dalil yang satu lagi belakangan turunnya, maka dalil yang datang belakangan itu dinyatakan berlaku untuk seterusnya, sedangkan dalil yang lebih dulu dengan sendirinya dinyatakan tidak berlaku lagi.[7]
Contoh:
“Sesungguhnya saya telah melarangmu berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah.”
Keterangan waktu yang menjelaskan berlakunya dua nash yang berbeda adalah apabila dua dalil hukum berbenturan dan tidak mungkin diselesaikan dengan cara apapun, tetapi dapat diketahui bahwa yang satu lebih dahulu datangnya dari pada yang satunya, maka yang terakhir ini menasakh yang lebih dahulu datang, sebagaimana yang terjadi pada hadist di atas, dan juga hadits di bawah ini yang berbunyi:
“Sesungguhnya saya telah melarangmu menyimpan daging kurban lebih dari keperluan tiga hari, maka sekarang makanlah dan simpanlah.”
Tarjih. Maksudnya adalah apabila diantara dua dalil yang diduga berbenturan tidak diketahui mana yang belakangan turun atau berlakunya, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan nasakh, namun ditemukan banyak petunjuk yang menyatakan bahwa salah satu diantaranya lebih kuat dari pada yang lain, maka diamalkanlah dalil yang disertai petunjuk yang menguatkan itu, dan dalil yang lain ditinggalkan.
Contoh: Seperti mendahulukan khabar dari Aisyah ra. tentang wajibnya mandi bila terjadi persetubuhan dari pada khabar Abu Hurairah yang mewajibkan mandi hanya apabila keluar mani.
Takhyir. Maksudnya bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat ditempuh secara nasakh dan tarjih, namun kedua dalil itu masih mungkin untuk diamalkan, maka penyelesaiannya ditempuh dengan cara memilih salah satu diantara dua dalil itu untuk diamalkan, sedangkan yang lain tidak diamalkan.

c.       Meninggalkan dua dalil yang berbenturan
Bila penyelesaian dua dalil yang dipandang berbenturan itu tidak mampu diselesaikan dengan dua cara di atas, maka ditempuh dengan cara ketiga, yaitu dengan meninggalkan dua dalil tersebut. Adapun cara meninggalkan kedua dalil yang berbenturan itu ada dua bentuk, yaitu:
Tawaquf (menangguhkan), menangguhkan pengamalan dalil tersebut sambil menunggu kemungkinan adanya petunjuk lain untuk mengamalkan salah satu diantara keduanya.
Tasaquth (saling berguguran), meninggalkan kedua dalil tersebut dan mencari dalil yang lain untuk diamalkan.[8]

3.      Ma’na Tarjih
Secara bahasa (etimologi), Tarjîh adalah masdâr dari rajjaha-yurrajihu, yang artinya mengukur sesuatu dengan tangan dan melihat sesuatu yang memberatkannya. Bila ada kalimat yang berbunyi; arjahul mizân, itu artinya yang paling berat dalam timbangan. Kata tarjîh sendiri sebenarnya bermakna al-mail (kecendrungan) dan al-tsaql (bobot). Secara istilah (terminologi), ada perbedaan pendapat para ulama. Imam Syaukani mendefinisikan tarjîh sebagai menetapkan satu pilihan dari dua opsi yang tersedia dan ta'ârudh (saling bertolak belakang) satu sama lainnya.
Sedangkan ulama mazhab Hanafi mendefinisikan tarjîh sebagai usaha melebihkan satu dari dua dalil yang sama kuat. Jadi, menurut mereka, tarjîh hanya terjadi bila dua dalilnya sama kuat. Bila dalilnya tidak sama kuat (contohya al-Quran dengan Hadis, atau Hadis sahih dengan Hadis dha'if), tidak dinamakan tarjîh. Ulama mazhab Syafi'i mendefinisikan tarjîh sebagai menguatkan salah satu dari dua dalil yang zhanni untuk kemudian diamalkan. Dalam perspektif mazhab ini, tarjîh hanya terjadi bila ada dua dalil yang sama-sama zhanniy. Maka, tidak ada tarjîh antara dua dalil yang sama-sama qath'iy, atau antara dalil qath'i dan dalil zhanniy[9].
Pada dasarnya definisi dari ulama Hanafi dengan Syafi'i hampir sama. Bedanya, ulama Hanafi menggunakan redaksi ‘dua dalil yang sama kuat’, sementara ulama Syafi'i menggunakan redaksi zanniy dan qath`iy. Penulis lebih sepakat untuk memakai definisi yang digunakan oleh Imam Syaukani, karena lebih umum dan lebih mencakup. Karena, menurut penulis, ta'ârudh bisa saja terjadi antara dalil yang berbeda kekuatannya, dikarenakan ketidaktahuan akan derajat dalil tersebut.
Sebagian besar ulama bersepakat untuk menggunakan metode tarjîh ini ketika terjadi ta'ârudh antar beberapa dalil. Sebagian lain menolaknya dan lebih mendahulukan takhyîr (memilih) atau pun tawaqquf. Bedanya tarjîh dengan takhyîr adalah, dalam amal tarjîh, seorang mujtahid akan sampai pada lahirnya dua kesimpulan; adanya dalil yang râjih dan yang marjuh. Sementara, dalam takhyîr, seorang mujtahid hanya memilih tanpa diikuti oleh dua hal di atas[10].
Para ulama telah sepakat bahwa dalil yang rajih (dikuatkan) harus diamalkan, sebaliknya dalil yang marjuh (dilemahkan) tidak perlu diamalkan.[11]


4.      Cara Mentarjih
‘Ali ibn Saif al-Din al-Amidi (w.631 H) ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah menjelaskan secara rinci metode tarjih. Metode tarjih yang berhubungan dengan pertentangan antara dua nash atau lebih antara lain secara global adalah :
1)        Tarjih dari segi sanad. Tarjih dari sisi ini mungkin dilakukan antara lain dengan meneliti rawi yang menurut jumhur ulama Ushul Fiqh, hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih banyak jumlahnya, didahulukan atas hadits yang lebih sedikit;
2)        Tarjih dari segi matan yang mungkin dilakukan dengan beberapa bentuk antara lain, bahwa bilamana terjadi pertentangan antara dua dalil tentang hukum suatu masalah, maka dalil yang melarang didahulukan atas dalil yang membolehkan;
3)        Tarjih dari segi adanya faktor luar yang mendukung salah satu dari dua dalil yang bertentangan. Dalil yang didukung oleh dalil yang lain termasuk dalil yang merupakan hasil ijtihad, didahulukan atas dalil yang tidak mendapat dukungan.[12]










BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Kata ta’arud, secara etimologi berarti pertentangan, sedangkan al-adillah adalah bentuk jamak dari kata dalil, yang berarti alasan, argumen, dan dalil.
Adapun secara terminologi, para ulama memiliki berbagai pendapat tentang definisi ta’arud al-adillah, diantaranya :
a.       Menurut Imam Asy-Syaukani, ta’arud al-adillah adalah suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap suatu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan dalil itu. (Asy-Syaukani : 242)
b.      Menurut Kamal Ibnu Al-Humam dan At-Taftazani, ta’arud al-adillah adalah pertentangan antara dua dalil yang tidak mungkin untuk dikompromikan antara keduanya. (At-Taftazai : 103)
c.       Ali Hasaballah berpendapat bahwa ta’arud al-adillah adalah terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalam dalil lainnya dan kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat. (Ali Hasaballah : 334)

Dari kaidah di atas dapat dirumuskan tahapan penyelesaian dalil-dalil yang berbenturan serta cara-caranya sebagai berikut:
a.       Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi (Al-Jam’u wa al-Taufiq)
b.      Mengamalkan satu dalil diantara dua dalil yang berbenturan
c.       Meninggalkan dua dalil yang berbenturan
Secara bahasa (etimologi), Tarjîh adalah masdâr dari rajjaha-yurrajihu, yang artinya mengukur sesuatu dengan tangan dan melihat sesuatu yang memberatkannya. Kata tarjîh sendiri sebenarnya bermakna al-mail (kecendrungan) dan al-tsaql (bobot). Secara istilah (terminologi), ada perbedaan pendapat para ulama. Para ulama telah sepakat bahwa dalil yang rajih (dikuatkan) harus diamalkan, sebaliknya dalil yang marjuh (dilemahkan) tidak perlu diamalkan.
Menurut ‘Ali ibn Saif al-Din al-Amidi (w.631 H) metode tarjih yang berhubungan dengan pertentangan antara dua nash atau lebih antara lain secara global adalah :
a.      Tarjih dari segi sanad. Tarjih dari sisi ini mungkin dilakukan antara lain dengan meneliti rawi yang menurut jumhur ulama Ushul Fiqh, hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih banyak jumlahnya, didahulukan atas hadits yang lebih sedikit;
b.      Tarjih dari segi matan yang mungkin dilakukan dengan beberapa bentuk antara lain, bahwa bilamana terjadi pertentangan antara dua dalil tentang hukum suatu masalah, maka dalil yang melarang didahulukan atas dalil yang membolehkan;
c.       Tarjih dari segi adanya faktor luar yang mendukung salah satu dari dua dalil yang bertentangan. Dalil yang didukung oleh dalil yang lain termasuk dalil yang merupakan hasil ijtihad, didahulukan atas dalil yang tidak mendapat dukungan.




[1]  Rachmad Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh,(Bandung:Pustaka Setia, 1999) hal. 225
[2] T. Hasbi Ash-Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam II, Cet. 6 (Jakarta: Bulan Bintang, 1981) Hal. 21.
[3] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemah. Prof. Drs. KH. Masdar Helmy, Bandung: Gema Risalah Press, 1997.
[4] Satria Effendi, Ushul Fiqh, Cet. 3 (Jakarta: Kencana, 2009) Hal, 239.
[5] Firdaus. Ushul Fiqh (Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif.(Jakarta: Zikrul Hakim, 2004) h. 198-201.
[6] Amir Syarifudin, Op Cit. h. 208
[7] Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dra al-Fikr,2001), Cet.ke-2, h. 961-962.

[8] Ibid,.
[10] Ibid.
[11]  Rachmad Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh,(Bandung:Pustaka Setia, 1999) hal. 243
[12]  Satria Effendi, Ushul Fiqh, cet. 2 (Jakarta : Kencana, 2008) , h.242.

silahkan download Disini.

0 komentar :

Posting Komentar