Selasa, 24 September 2013


PEMIKIRAN EKONOMI AL-SYATIBI
(790 H/1388 M)
A.    Riwayat Hidup
Al-Syatibi adalah seorang cendikiawan muslim yang belum terkenal di masanya. Beliau bernama lengkap Ibrahim bin Musa, bin Muhammad Al-Lakhmi Al-Ghamathi Abu Ishak, yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Syatibi yang dijuluki dengan Al-Imam Al-lAlaamah (yang sangat dalam ilmu pengetahuannya), Al-Muhaqqiq (yang memiliki kemampuan untuk meneliti sesuatu guna menemukan kesalahan dan kemudian memberi solusi), Al-Qudwah (yang pantas didkuti), Al-Hafizh (yang telah menghafal dan menjaga ribuan hadits) dan Al-Mujtahid (yang mampu mendayagunakan kemampuan untuk menghasilkan hukum)[1]. Kata “Al-Syatibi” yang merupakan ‘alam laqab[2] yang dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatibah atau Jativa), yang terletak di kawasan Spanyol bagian timur[3]. Dan beliau berasal dari Suku Arab Lakhmi. Meskipun Al-Syatibi dinisbatkan kepada negeri itu, diduga keras ia tidak lahir di sana. Karena kota tersebut sebelumya telah dikuasai oleh orang-orang Kristen atau jatuh ke tangan Kristen, dan orang-orang Islam telah diusir dari sana sejak tahun 1247 (645 H) atau hamper satu abad sebelum Al-Syatibi dilahirkan[4].
Al-Syatibi dibesarkan dan memperoleh seluruh pendidikannya di ibukota kerajaan Nashr, Granada, yang merupakan benteng terakhir umat Islam di Spanyol. Masa mudanya bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Muhammad V Al-Ghani Billah yang merupakan masa keemasan umat Islam setempat. Karena Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah dengan berdirinya Universitas Granada[5].
Dalam bermadzhab, Al-Syatibi menganut madzhab Maliki dan mendalami berbagai ilmu, baik berupa ‘ulum al-wasa’il (metode) maupun ‘ulum maqashid (esensi dan hakikat). Al-Syatibi memulai aktivitas ilmiahnya dengan belajar dan mendalami :
1.      Bahasa Arab dari Abu Abdillah Muhammad ibn Fakhkhar al-Biri, Abu Qasim Muhammad ibn Ahmad Al-Syatibi dan Abu Ja’far al-Syaqwari.
2.      Hadis dari Abu Qasim ibn Bina dan Syamsuddin al-Tilimsani.
3.      Ilmu kalam dal falsafah dari Abu Ali Mansur al-Zawawi.
4.      Ilmu ushul fiqih dari Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad bin Ahmad al-Miqarri dan Abu Abdillah bin Ah,ad al-Syarif al-Tilimsani.
5.      Ilmu sastra dari Abu Bakar al-Qarsyi al-Hasymi
Di samping ia bertemu langsung atau belajar langsung kepada gurunya di atas, ia juga melakukan korespondensi untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuannya, seperti mengirim surat kepada seorang sufi, Abu Abdillah ibn Ibad al-Nasfi al-Rundi.
Walaupun Al-Syatibi banyak mempelajari ilmu, namun ia lebih bertminat terhadap bahasa Arab, khususnya ushul fiqih. Karena metode dan falsafah fiqih Islam merupakan faktor penentu terhadap kekuatan dan kelemahan fiqih dalam menanggapi perubahan sosial.
Pemikiran Al-Syatibi dapat ditelusuri melalui karya-karya ilmiyahnya yang dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok:
1.      karya-karya yang tidak diterbitkan yaitu, (a) Syarh jalil ‘ala Al-Khulasah fi An-Nahw, (b) Khiyar Al-Majalis (syarh kitab jual beli dari shahih Al-Bukhari), (c) Syarh Rajz Ibn Malik fi An-Nahw, (d) Unwan Al-Ittifaq fi Ilm Al-Isytiqaq, dan (e) Ushul An-Nahw.
2.      kelompok kitab yang diterbitkan yaitu, (a) Al-Muwafaqat fi Ushul Asy-Syariah, (b) Al-Itisham , dan (c) Al-Ifadat wa Al-Irsyadat[6].
B.     Kehidupan Politik
Al-Syatibi hidup pada masa, di mana Granada pada saat itu banyak terjadi perubahan baik dari segi sosio-religius, politik, ekonomi dan hukum yang berpengaruh terhadap pola pikir Al-Syatibi.
Dari segi politiknya, Al-Syatibi Dari aspek politik, perubahan sosial yang terjadi pada abad ke-14 disebabkan berkhirnya masa chaos pada abad ke-13 ketika terjadi invasi Mongol ke wilayah Timur Muslim dan pesatnya perkembangan Kristen di Barat Muslim. Dari penelitian Muhammad Khalid Mas’ud, keberhasilan Sultan Muhammad V dalam menciptakan stabilitas politik dapat dipahami dari dua faktor. Pertama, keberhasilannya menjaga stabilitas politik luar negerinya, sejumlah kerajaan Kristen di utara dan rival sesama kekuasaan Muslim di Afrika Utara, dengan cara selalu mengganti perjanjian-perjanjian damai dan intrik-intrik dalam istana, friksi-friksi yang berlomba-lomba mencuri kekuasaan. Kedua, selalu memegang kendali kekuatan militer di internal kerajaan.
Stabilitas politik ini menghasilkan situasi yang damai dan salah satu manfaatnya dalam dunia keilmuan adalah terkondisikannya kesempatan yang lebih luas untuk melakukan evaluasi dan produksi pemikiran. Hal ini terlihat dengan lahirnya karya-karya masterpiece para intelektual muslim. Di Afrika Utara, Ibnu Khaldun (784 H/ 1382 M) menulis filsafat sejarah, di Syiria, Ibnu Taimiyah (728 H/ 1328 M) mengkaji ilmu politik dan teori hukum, di Persia, al-‘Iji (754 H/ 1355 M) meresistematisir teologi Sunni, dan di Spanyol, al-Syatibi memproduksi filsafat hukum Islam.
Beberapa tahun sebelumnya, jatuhnya kekuasaan dinasti Muwahhidun menyebabkan chaos politik di Spanyol. Dalam kondisi krisis ini ada dua tokoh yang mucul ke panggung politik, Ibn Hud di Marcia dan Ibn al-Ahmar di Arjona. Ibn Hud adalah rival politik Ibn Ahmar setelah runtuhnya dinasti Muwahhidun. Setelah sempat menguasai sejumlah kota seperti Almeria, Malaga, Granada, Seville dan sebagian besar Spanyol, Ibn Hud dilantik oleh penguasa dinasti Abasiyyah yaitu al-Muntasir Billah. Namun selang beberapa tahun, Ibn Ahmar berhasil merebut tampuk kepemimpinan Ibn Hud kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 634 H dan menyatakan diri sebagai Sultan Andalusia dengan menyandang gelar al-Galib Billah. Al-Galib Billah yang menjadi cikal Bani Nasr atau Bani Ahmar, menjadikan Granada sebagai pusat pemerintahan.
Bani Nasr membangun pondasi politiknya dengan cukup kuat, terbukti bertahan sampai dua abad. Hubungan diplomatik dengan luar negeri yang Kristen, Ferdinand III penguasa Castille, ditandai dengan ditandatanganinya perjanjian perdamaian atau genjatan senjata pada tahun 643 H. Namun di sisi lain, dia juga menyerukan jihad kepada suku-suku Afrika dan meminta back up kekuatan Bani Marin di Maroko, sebagai dinasti terkuat pasca dinasti Muwahidun. Kondisi strategis ini bertahan hingga kekuasaan beralih ke putra mahkota yaitu al-Gani Billah atau Sultan Muhammad V.
Di masa Gani Billah, fuqaha memiliki posisi kuat dalam konstelasi perpolitikan. Hal ini merupakan ciri khas dalam sejarah Islam di Spanyol. Kondisi ini merupakan salah satu sebab mengapa mazhab Maliki menjadi mazhab negara waktu itu. Meskipun demikian, kehidupan masyarakat Granada tidaklah sekonservatif para elit ulamanya di strukutur politik. Masyarakat cukup inklusif dan fleksibel dalam relasi sosialnya, mengingat interaksinya dengan orang-orang Kristen cukup intens baik dalam relasi sosial maupun bisnis.
Status quo para fuqaha dengan otoritas syari’ahnya ini mendapat perlawanan dengan bermunculannya gerakan-gerakan tasawuf, filsafat dan teologi. Tiga orang dari gerakan tasawuf, Abu Bakar Muhammad dari Cordova, Ibn al-Arif dari Almeria dan Ibn Barrajan dari Seville berhasil ditumpas. Ibn Barrajan mengkritik fuqaha Maliki yang sangat mengabaikan hadis. Gerakan-gerakan ini juga kelak mempengaruhi kedinamisan pemikiran al-Syatibi. Terlihat ketika al-Syatibi, meskipun Muhammad Makhluf menjadikannya sebagai ulama Maliki tingkatan ke-16 cabang Andalus, tetap menghargai ulama-ulama madzhab lainnya termasuk madzhab Hanafi yang saat itu selalu menjadi sasaran tembak nomor satu. Bahkan, dalam berbagai kesempatan ia sering memuji Abu Hanifah dan ulama lainnya. Kitab al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‘ah sendiri disusun oleh al-Syatibi dalam rangka menjembatani ketegangan yang terjadi saat itu antara Madzhab Maliki dan Hanafi.
          Al-Syatibi pernah menentang para ulama Granada saat itu. Ia mencoba meluruskan dan mengembalikan bid’ah ke sunnah serta membawa masyarakat dari kesesatan kepada kebenaran. Perseteruan sengit antara al-Syatibi dan para ulama Granada saat itu tidak dapat terelakkan. Setiap kali dia berfatwa halal, mereka sebaliknya, berfatwa haram tanpa melihat terlebih dahulu kepada nas. Karena itulah, dia dilecehkan, dicerca, dikucilkan dan dianggap keluar dari agama.
Tidak terjebak pada oposisi biner dengan kekuasaan, ia juga mengkritik gerakan tasawuf para ulama yang menyimpang saat itu. Fatwa al-Syatibi tentang praktek tasawuf yang menyimpang ini juga dikuatkan oleh seorang ulama ahli tasawuf saat itu Abu al-Hasan al-Nawawi.
Al-Syatibi juga menyoroti ta‘ashub berlebihan yang dipraktekan para ulama Granada dan masyarakat Andalusia terhadap madzhab Maliki. Mereka memandang setiap orang yang bukan madzhab Maliki adalah sesat. Sebagaimana diketahui bersama bahwa masyarakat Andalus memegang erat madzhab Maliki ini sejak raja mereka Hisyam al-Awwal bin Abdurrahman al-Dakhil yang memerintah pada tahun 173-180H menjadikan madzhab ini sebagai madzhab negara[7].
C.     Pandangan Al-Syatibi dalam Bidang ekonomi
1.      Objek kepimilikan
Pada dasarnya, Al-Syyatibi mengakui hak milik individu. Namun, ketika kepemilikan tersebut dapat menghilangkan atau menghalangi kepemilikan orang lain terhadap setiap sumberdaya yang pada dasarnya itu adalah milik umum, artinya ketika benda tersebut itu yang semula adalah milik bersama “pemberian Allah terhadap orang banyak”, al-Syatibi memangkas kepemilikan individu itu terhadap benda yang ditujukan oleh Allah kepada semua mahluk. Dalam hal ini taruhlah sebua contoh air, baik itu air yang ada di sungai Maupun di laut itu adalah adalah anugerah Ilahi kepada semua mahluk. Jadi setiap individu tidak boleh mengklaim bahwa air tersebut adalah milik Dalam hal ini, ia membedakan dua macam air, yaitu: air yang tidak dapat dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air sungai dan oase; dan air yang dapat dijadikan sebagi objek kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang tanah meilik individu. Lebih jauh, ia menyatakan, bahwa tidak hak kepemilikan yang dapat diklaim terhadap sungai dikarenakan adanya pembangunan dam.
2.      Pajak
Dalam pandangan Al-Syatibi, pemungutan pajak terhadap kaum muslim masa itu diperbolehkan, karena baitul mal yang semula menanggung pajak kaum muslim atau keperluan umum sudah tidak mampu lagi[8]. Sebagaimana yang terjadi pada Asy-Syaikh Al-Malaqi dalam kitab Al-Warn’ , ia berkata “diberlakukannya penarikan pajak atas setiap muslim adalah hal yang termasuk dalam al-mashalih al-mursalah”. Dan hal ini juga berdasarkan asumsi bahwa barang-barang berharga milik muslim pada saat itu ditarik oleh musuh, sehingga ketidakmampuan baitul mal untuk memenuhi kebutuhan hidup orang Islam saat itu[9].
D.    Teori kesejahteraan (wellfare) Al-Syatibi
Dalam pandangan al-Syatibi , pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah(kepentingan umum). Dengan mengutip pendapat dari para pendahulunya, ia mengatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggung jawab masyarakat. Dalam keadaan tidak mampu melaksanakan tanggung jawab ini masyarakat bisa mengalihkan kepada baitul mal serta menyubangkan sebagian kekayaan mereka sendiri untuk tujuan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah dapat mengenakaan pajak baru terhadap rakyatnya, sekalipun pajak tersebut belum di kenal dalam sejarah Islam.
Dari pemaparan konsep Maqashid al-Syatibi di atas, terlihat jelas bahwa syari’ah menginginkan setiap individu memerhatikan kesejahteraan mereka. Manusia senantiasa dituntut untuk mencari kemaslahatan.  Aktivitas ekonomi produksi, konsumsi dan pertukaran yang menyertakan kemaslahatan serta didefinisikan syari’ah harus diikuti sebagai kewajiban agama untuk memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat. Dengan demikian seluruh aktivitas ekonomi yang mengandung kemaslahatan  bagi umat manusia disebut sebagai kebutuhan (needs).
Pemenuhan kebutuhan adalah tujuan aktivitas ekonomi, dan pencarian terhadap terhadap tujuan ini adalah kewajiban agama. Dengan kata lain, manusia berkewajiban untuk memecahkan berbagai permaslahan ekonominya. Kebutuhan yang belum terpenuhi merupakan kunci utama dalam suatu proses motivasi. Seorang individu akan terdorong untuk berperilaku bila terdapat suatu kekuranagn dalam dirinya, baik secara psikis maupun psikologis. Motivasi itu sendiri meliputi, usaha, ketekunan dan tujuan. Hal ini pada akhirnya tentu akan meningkatkan produktivitas kerja dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Kebutuhan yang belum terpenuhi merupakan kunci uatam dalam suatu proses motivasi. Seorang individu akan terdorong untuk berperilaku bila terjadi kekurangan pada dirinya, yaitu pada fisiknya. Motivasi itu sendiri meliputi usaha, ketekunan dan tujuan[10].
E.     Teori permintaan dan penawaran
Desirabililty senantiasa ditentukan oleh maslahah. Asumsi ekonomi adalah memaksimalkan kepuasan konsumen. Dalam islam kita memiliki prinsip keseimbangan.Sejumlah besar preferensi kebutuhan dalam perspektif islam lebih mempresentasikan tingkat kebutuhan yang sebenarnya dari pada tingkayan kebutuhan sekedar. Dalam islam institusi dalam hal ini pemerintah akan turut campur guna: menghindari sikap dan prilaku ishraf, konsistensi dalam pemenuhan kemaslahatan yaitu kebutuhan dharuriyat, hajiyat, tahsiniyat dan yang terkhir menjauhi hal-hal yang menyimpang dari prinsip-prinsip ajaran islam. Dalam framwork islam, seluruh hasrat manusia tidak bisa di jadikan sebagai needs.Teori yang lahir olehnya misalkan tentang teori permintaan dan penawaran. Permintaan untuk komoditas tertentu tergantung sejauh mana ia akan di beli oleh negara. Beliu menemukan konsep yang dikenal dalam literatur ekonomi moderen sebagai derived demand[11].
Harga dikendalikan oleh permintaan dan penawaran. Apabila permintaan meningkat maka harga pun akan meningkat, sedangkan jika permintaan menurun maka harga pun menurun. Faktor-faktor yang menentukan permintaan adalah : pendapatan, jumlah penduduk, kebiasaan atau adat istiadat, pembangunan dan kemakmuran masyarakat secara umum sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran adalah: permintaan, tingkat keuntungan, tingkat usaha manusia, ukuran angkatan kerja, pengetahuan serta keterampilan mereka, kedamaian dan keamanan, latar belakang teknis dan pembangunan keseluruhan masyarakat[12].



[1] Imam Al-Syatibi, Al-I’tisham, Diterjemahkan oleh : Shalahuddin Sabki dkk (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hal. xvii
[2] Nama julukan yang sering dipanggil tiap harinya
[3] H. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 378, Ed, 3 Cet, 5
[5] H. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, 379
[8] H. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, 385
[9] Imam Al-Syatibi, Al-I’tisham, Diterjemahkan oleh : Shalahuddin Sabki dkk, xxi
[10] Rini Kusuma
[11] Permintaan turunan adalah sebuah istilah ekonomi, dimana permintahan terhadap suatu barang atau jasa yang muncul sebagai akibat dari permintaan terhadap barang lain. Hal ini dapat  muncul sebagai bagian dari lanjutan produksi ke dua. Sebagai contoh, permintaan terhadap batu bara mengarah pada peningkatan permintaan terhadap penambangan, karena batu bara harus di tambang terlebih dahulu untuk dapat dikonsumsi. Seiring dengan permintaan terhadap batu bara yang semakin meningkat, begitu pula dengan harganya. Peningkatan harga batu bara ini membuat permintaan yang lebih tinggi terhadap sumber daya yang dibutuhkan dalam penambangan batu bara dalam http://mul1rawan.wordpress.com/category/the-derived-demand-principle-prinsip-permintaan-turunan/

0 komentar :

Posting Komentar