PEMIKIRAN EKONOMI AL-SYATIBI
(790 H/1388 M)
A. Riwayat Hidup
Al-Syatibi
adalah seorang cendikiawan muslim yang belum terkenal di masanya. Beliau
bernama lengkap Ibrahim bin Musa, bin Muhammad Al-Lakhmi Al-Ghamathi Abu Ishak,
yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Syatibi yang dijuluki dengan Al-Imam
Al-lAlaamah (yang sangat dalam ilmu pengetahuannya), Al-Muhaqqiq (yang
memiliki kemampuan untuk meneliti sesuatu guna menemukan kesalahan dan kemudian
memberi solusi), Al-Qudwah (yang pantas didkuti), Al-Hafizh (yang
telah menghafal dan menjaga ribuan hadits) dan Al-Mujtahid (yang
mampu mendayagunakan kemampuan untuk menghasilkan hukum)[1].
Kata “Al-Syatibi” yang merupakan ‘alam laqab[2]
yang dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatibah atau Jativa),
yang terletak di kawasan Spanyol bagian timur[3].
Dan beliau berasal dari Suku Arab Lakhmi. Meskipun Al-Syatibi dinisbatkan
kepada negeri itu, diduga keras ia tidak lahir di sana. Karena kota tersebut
sebelumya telah dikuasai oleh orang-orang Kristen atau jatuh ke tangan Kristen,
dan orang-orang Islam telah diusir dari sana sejak tahun 1247 (645 H) atau
hamper satu abad sebelum Al-Syatibi dilahirkan[4].
Al-Syatibi
dibesarkan dan memperoleh seluruh pendidikannya di ibukota kerajaan Nashr,
Granada, yang merupakan benteng terakhir umat Islam di Spanyol. Masa mudanya
bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Muhammad V Al-Ghani Billah yang
merupakan masa keemasan umat Islam setempat. Karena Granada menjadi pusat
kegiatan ilmiah dengan berdirinya Universitas Granada[5].
Dalam
bermadzhab, Al-Syatibi menganut madzhab Maliki dan mendalami berbagai ilmu,
baik berupa ‘ulum al-wasa’il (metode) maupun ‘ulum maqashid (esensi
dan hakikat). Al-Syatibi memulai aktivitas ilmiahnya dengan belajar dan
mendalami :
1. Bahasa Arab dari
Abu Abdillah Muhammad ibn Fakhkhar al-Biri, Abu Qasim Muhammad ibn Ahmad
Al-Syatibi dan Abu Ja’far al-Syaqwari.
2. Hadis dari Abu
Qasim ibn Bina dan Syamsuddin al-Tilimsani.
3. Ilmu kalam dal
falsafah dari Abu Ali Mansur al-Zawawi.
4. Ilmu ushul fiqih
dari Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad bin Ahmad al-Miqarri dan Abu Abdillah bin
Ah,ad al-Syarif al-Tilimsani.
5. Ilmu sastra dari
Abu Bakar al-Qarsyi al-Hasymi
Di
samping ia bertemu langsung atau belajar langsung kepada gurunya di atas, ia
juga melakukan korespondensi untuk meningkatkan dan mengembangkan
pengetahuannya, seperti mengirim surat kepada seorang sufi, Abu Abdillah ibn
Ibad al-Nasfi al-Rundi.
Walaupun
Al-Syatibi banyak mempelajari ilmu, namun ia lebih bertminat terhadap bahasa
Arab, khususnya ushul fiqih. Karena metode dan falsafah fiqih Islam merupakan
faktor penentu terhadap kekuatan dan kelemahan fiqih dalam menanggapi perubahan
sosial.
Pemikiran
Al-Syatibi dapat ditelusuri melalui karya-karya ilmiyahnya yang dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok:
1. karya-karya yang
tidak diterbitkan yaitu, (a) Syarh jalil ‘ala Al-Khulasah fi An-Nahw, (b)
Khiyar Al-Majalis (syarh kitab jual beli dari shahih Al-Bukhari), (c) Syarh
Rajz Ibn Malik fi An-Nahw, (d) Unwan Al-Ittifaq fi Ilm Al-Isytiqaq, dan (e)
Ushul An-Nahw.
2. kelompok kitab
yang diterbitkan yaitu, (a) Al-Muwafaqat fi Ushul Asy-Syariah, (b) Al-Itisham ,
dan (c) Al-Ifadat wa Al-Irsyadat[6].
B. Kehidupan Politik
Al-Syatibi
hidup pada masa, di mana Granada pada saat itu banyak terjadi perubahan baik
dari segi sosio-religius, politik, ekonomi dan hukum yang berpengaruh terhadap
pola pikir Al-Syatibi.
Dari
segi politiknya, Al-Syatibi Dari aspek politik, perubahan sosial yang terjadi
pada abad ke-14 disebabkan berkhirnya masa chaos pada abad ke-13 ketika terjadi
invasi Mongol ke wilayah Timur Muslim dan pesatnya perkembangan Kristen di
Barat Muslim. Dari penelitian Muhammad Khalid Mas’ud, keberhasilan Sultan
Muhammad V dalam menciptakan stabilitas politik dapat dipahami dari dua faktor.
Pertama, keberhasilannya menjaga stabilitas politik luar negerinya, sejumlah
kerajaan Kristen di utara dan rival sesama kekuasaan Muslim di Afrika Utara,
dengan cara selalu mengganti perjanjian-perjanjian damai dan intrik-intrik
dalam istana, friksi-friksi yang berlomba-lomba mencuri kekuasaan. Kedua,
selalu memegang kendali kekuatan militer di internal kerajaan.
Stabilitas
politik ini menghasilkan situasi yang damai dan salah satu manfaatnya dalam
dunia keilmuan adalah terkondisikannya kesempatan yang lebih luas untuk
melakukan evaluasi dan produksi pemikiran. Hal ini terlihat dengan lahirnya
karya-karya masterpiece para intelektual muslim. Di Afrika Utara, Ibnu Khaldun
(784 H/ 1382 M) menulis filsafat sejarah, di Syiria, Ibnu Taimiyah (728 H/ 1328
M) mengkaji ilmu politik dan teori hukum, di Persia, al-‘Iji (754 H/ 1355 M)
meresistematisir teologi Sunni, dan di Spanyol, al-Syatibi memproduksi filsafat
hukum Islam.
Beberapa
tahun sebelumnya, jatuhnya kekuasaan dinasti Muwahhidun menyebabkan chaos
politik di Spanyol. Dalam kondisi krisis ini ada dua tokoh yang mucul ke
panggung politik, Ibn Hud di Marcia dan Ibn al-Ahmar di Arjona. Ibn Hud adalah
rival politik Ibn Ahmar setelah runtuhnya dinasti Muwahhidun. Setelah sempat menguasai
sejumlah kota seperti Almeria, Malaga, Granada, Seville dan sebagian besar
Spanyol, Ibn Hud dilantik oleh penguasa dinasti Abasiyyah yaitu al-Muntasir
Billah. Namun selang beberapa tahun, Ibn Ahmar berhasil merebut tampuk
kepemimpinan Ibn Hud kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 634 H
dan menyatakan diri sebagai Sultan Andalusia dengan menyandang gelar al-Galib
Billah. Al-Galib Billah yang menjadi cikal Bani Nasr atau Bani Ahmar,
menjadikan Granada sebagai pusat pemerintahan.
Bani
Nasr membangun pondasi politiknya dengan cukup kuat, terbukti bertahan sampai
dua abad. Hubungan diplomatik dengan luar negeri yang Kristen, Ferdinand III
penguasa Castille, ditandai dengan ditandatanganinya perjanjian perdamaian atau
genjatan senjata pada tahun 643 H. Namun di sisi lain, dia juga menyerukan
jihad kepada suku-suku Afrika dan meminta back up kekuatan Bani Marin di
Maroko, sebagai dinasti terkuat pasca dinasti Muwahidun. Kondisi strategis ini
bertahan hingga kekuasaan beralih ke putra mahkota yaitu al-Gani Billah atau
Sultan Muhammad V.
Di masa
Gani Billah, fuqaha memiliki posisi kuat dalam konstelasi perpolitikan. Hal ini
merupakan ciri khas dalam sejarah Islam di Spanyol. Kondisi ini merupakan salah
satu sebab mengapa mazhab Maliki menjadi mazhab negara waktu itu. Meskipun
demikian, kehidupan masyarakat Granada tidaklah sekonservatif para elit
ulamanya di strukutur politik. Masyarakat cukup inklusif dan fleksibel dalam
relasi sosialnya, mengingat interaksinya dengan orang-orang Kristen cukup intens
baik dalam relasi sosial maupun bisnis.
Status
quo para fuqaha dengan otoritas syari’ahnya ini mendapat perlawanan dengan
bermunculannya gerakan-gerakan tasawuf, filsafat dan teologi. Tiga orang dari
gerakan tasawuf, Abu Bakar Muhammad dari Cordova, Ibn al-Arif dari Almeria dan
Ibn Barrajan dari Seville berhasil ditumpas. Ibn Barrajan mengkritik fuqaha
Maliki yang sangat mengabaikan hadis. Gerakan-gerakan ini juga kelak
mempengaruhi kedinamisan pemikiran al-Syatibi. Terlihat ketika al-Syatibi,
meskipun Muhammad Makhluf menjadikannya sebagai ulama Maliki tingkatan ke-16
cabang Andalus, tetap menghargai ulama-ulama madzhab lainnya termasuk madzhab
Hanafi yang saat itu selalu menjadi sasaran tembak nomor satu. Bahkan, dalam
berbagai kesempatan ia sering memuji Abu Hanifah dan ulama lainnya. Kitab
al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‘ah sendiri disusun oleh al-Syatibi dalam rangka
menjembatani ketegangan yang terjadi saat itu antara Madzhab Maliki dan
Hanafi.
Al-Syatibi pernah menentang para ulama Granada saat itu. Ia mencoba meluruskan dan mengembalikan bid’ah ke sunnah serta membawa masyarakat dari kesesatan kepada kebenaran. Perseteruan sengit antara al-Syatibi dan para ulama Granada saat itu tidak dapat terelakkan. Setiap kali dia berfatwa halal, mereka sebaliknya, berfatwa haram tanpa melihat terlebih dahulu kepada nas. Karena itulah, dia dilecehkan, dicerca, dikucilkan dan dianggap keluar dari agama.
Al-Syatibi pernah menentang para ulama Granada saat itu. Ia mencoba meluruskan dan mengembalikan bid’ah ke sunnah serta membawa masyarakat dari kesesatan kepada kebenaran. Perseteruan sengit antara al-Syatibi dan para ulama Granada saat itu tidak dapat terelakkan. Setiap kali dia berfatwa halal, mereka sebaliknya, berfatwa haram tanpa melihat terlebih dahulu kepada nas. Karena itulah, dia dilecehkan, dicerca, dikucilkan dan dianggap keluar dari agama.
Tidak
terjebak pada oposisi biner dengan kekuasaan, ia juga mengkritik gerakan
tasawuf para ulama yang menyimpang saat itu. Fatwa al-Syatibi tentang praktek
tasawuf yang menyimpang ini juga dikuatkan oleh seorang ulama ahli tasawuf saat
itu Abu al-Hasan al-Nawawi.
Al-Syatibi
juga menyoroti ta‘ashub berlebihan yang dipraktekan para ulama Granada dan
masyarakat Andalusia terhadap madzhab Maliki. Mereka memandang setiap orang
yang bukan madzhab Maliki adalah sesat. Sebagaimana diketahui bersama bahwa
masyarakat Andalus memegang erat madzhab Maliki ini sejak raja mereka Hisyam
al-Awwal bin Abdurrahman al-Dakhil yang memerintah pada tahun 173-180H
menjadikan madzhab ini sebagai madzhab negara[7].
C. Pandangan
Al-Syatibi dalam Bidang ekonomi
1. Objek
kepimilikan
Pada
dasarnya, Al-Syyatibi mengakui hak milik individu. Namun, ketika kepemilikan
tersebut dapat menghilangkan atau menghalangi kepemilikan orang lain terhadap
setiap sumberdaya yang pada dasarnya itu adalah milik umum, artinya ketika
benda tersebut itu yang semula adalah milik bersama “pemberian Allah terhadap
orang banyak”, al-Syatibi memangkas kepemilikan individu itu terhadap benda
yang ditujukan oleh Allah kepada semua mahluk. Dalam hal ini taruhlah sebua
contoh air, baik itu air yang ada di sungai Maupun di laut itu adalah adalah
anugerah Ilahi kepada semua mahluk. Jadi setiap individu tidak boleh mengklaim
bahwa air tersebut adalah milik Dalam hal ini, ia membedakan dua macam air,
yaitu: air yang tidak dapat dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air
sungai dan oase; dan air yang dapat dijadikan sebagi objek kepemilikan, seperti
air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang tanah meilik individu. Lebih
jauh, ia menyatakan, bahwa tidak hak kepemilikan yang dapat diklaim terhadap
sungai dikarenakan adanya pembangunan dam.
2. Pajak
Dalam
pandangan Al-Syatibi, pemungutan pajak terhadap kaum muslim masa itu
diperbolehkan, karena baitul mal yang semula menanggung pajak kaum muslim atau
keperluan umum sudah tidak mampu lagi[8].
Sebagaimana yang terjadi pada Asy-Syaikh Al-Malaqi dalam kitab Al-Warn’
, ia berkata “diberlakukannya penarikan pajak atas setiap muslim adalah hal
yang termasuk dalam al-mashalih al-mursalah”. Dan hal ini juga
berdasarkan asumsi bahwa barang-barang berharga milik muslim pada saat itu
ditarik oleh musuh, sehingga ketidakmampuan baitul mal untuk memenuhi kebutuhan
hidup orang Islam saat itu[9].
D. Teori
kesejahteraan (wellfare) Al-Syatibi
Dalam
pandangan al-Syatibi , pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang
maslahah(kepentingan umum). Dengan mengutip pendapat dari para pendahulunya, ia
mengatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggung
jawab masyarakat. Dalam keadaan tidak mampu melaksanakan tanggung jawab ini
masyarakat bisa mengalihkan kepada baitul mal serta menyubangkan sebagian
kekayaan mereka sendiri untuk tujuan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah dapat
mengenakaan pajak baru terhadap rakyatnya, sekalipun pajak tersebut belum di
kenal dalam sejarah Islam.
Dari
pemaparan konsep Maqashid al-Syatibi di atas, terlihat jelas bahwa syari’ah
menginginkan setiap individu memerhatikan kesejahteraan mereka. Manusia
senantiasa dituntut untuk mencari kemaslahatan. Aktivitas ekonomi
produksi, konsumsi dan pertukaran yang menyertakan kemaslahatan serta
didefinisikan syari’ah harus diikuti sebagai kewajiban agama untuk memperoleh
kebaikan di dunia dan di akhirat. Dengan demikian seluruh aktivitas ekonomi
yang mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut sebagai
kebutuhan (needs).
Pemenuhan
kebutuhan adalah tujuan aktivitas ekonomi, dan pencarian terhadap terhadap
tujuan ini adalah kewajiban agama. Dengan kata lain, manusia berkewajiban untuk
memecahkan berbagai permaslahan ekonominya. Kebutuhan yang belum terpenuhi
merupakan kunci utama dalam suatu proses motivasi. Seorang individu akan
terdorong untuk berperilaku bila terdapat suatu kekuranagn dalam dirinya, baik
secara psikis maupun psikologis. Motivasi itu sendiri meliputi, usaha,
ketekunan dan tujuan. Hal ini pada akhirnya tentu akan meningkatkan
produktivitas kerja dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Kebutuhan
yang belum terpenuhi merupakan kunci uatam dalam suatu proses motivasi. Seorang
individu akan terdorong untuk berperilaku bila terjadi kekurangan pada dirinya,
yaitu pada fisiknya. Motivasi itu sendiri meliputi usaha, ketekunan dan tujuan[10].
E. Teori permintaan
dan penawaran
Desirabililty
senantiasa ditentukan oleh maslahah. Asumsi ekonomi adalah memaksimalkan
kepuasan konsumen. Dalam islam kita memiliki prinsip keseimbangan.Sejumlah
besar preferensi kebutuhan dalam perspektif islam lebih mempresentasikan
tingkat kebutuhan yang sebenarnya dari pada tingkayan kebutuhan sekedar. Dalam
islam institusi dalam hal ini pemerintah akan turut campur guna: menghindari
sikap dan prilaku ishraf, konsistensi dalam pemenuhan kemaslahatan yaitu
kebutuhan dharuriyat, hajiyat, tahsiniyat dan yang terkhir menjauhi hal-hal
yang menyimpang dari prinsip-prinsip ajaran islam. Dalam framwork islam,
seluruh hasrat manusia tidak bisa di jadikan sebagai needs.Teori yang lahir
olehnya misalkan tentang teori permintaan dan penawaran. Permintaan untuk
komoditas tertentu tergantung sejauh mana ia akan di beli oleh negara. Beliu
menemukan konsep yang dikenal dalam literatur ekonomi moderen sebagai derived
demand[11].
Harga dikendalikan oleh
permintaan dan penawaran. Apabila permintaan meningkat maka harga pun akan
meningkat, sedangkan jika permintaan menurun maka harga pun menurun.
Faktor-faktor yang menentukan permintaan adalah : pendapatan, jumlah penduduk,
kebiasaan atau adat istiadat, pembangunan dan kemakmuran masyarakat secara umum
sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran adalah: permintaan, tingkat
keuntungan, tingkat usaha manusia, ukuran angkatan kerja, pengetahuan serta
keterampilan mereka, kedamaian dan keamanan, latar belakang teknis dan
pembangunan keseluruhan masyarakat[12].
[1]
Imam Al-Syatibi, Al-I’tisham, Diterjemahkan oleh : Shalahuddin Sabki dkk
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hal. xvii
[2]
Nama julukan yang sering dipanggil tiap harinya
[3]
H. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 378, Ed, 3 Cet, 5
[5]
H. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, 379
[6]
Rini Kusuma dalam http://kusumarini21.blogspot.com/2013/01/makalah-pengantar-bisnis.html
(11 Mei 2013)
[8]
H. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, 385
[9]
Imam Al-Syatibi, Al-I’tisham, Diterjemahkan oleh : Shalahuddin Sabki
dkk, xxi
[10]
Rini Kusuma
[11]
Permintaan turunan adalah sebuah istilah ekonomi, dimana permintahan
terhadap suatu barang atau jasa yang muncul sebagai akibat dari permintaan
terhadap barang lain. Hal ini dapat muncul sebagai bagian dari lanjutan
produksi ke dua. Sebagai contoh, permintaan terhadap batu bara mengarah pada
peningkatan permintaan terhadap penambangan, karena batu bara harus di tambang
terlebih dahulu untuk dapat dikonsumsi. Seiring dengan permintaan terhadap batu
bara yang semakin meningkat, begitu pula dengan harganya. Peningkatan harga
batu bara ini membuat permintaan yang lebih tinggi terhadap sumber daya yang
dibutuhkan dalam penambangan batu bara dalam http://mul1rawan.wordpress.com/category/the-derived-demand-principle-prinsip-permintaan-turunan/
0 komentar :
Posting Komentar