PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dengan masalah ekonomi yang mana
melibatkan hubungan antar manusia dengan manusia lainnya, hubungan itu harus
didasarkan pada norma – norma agama islam yang mengatur segala aspek kehidupan
termasuk yang berkaitan dengan masalah mu’amalah. Dalam konteks, usaha
mengembangkan system ekonomi islam, kita mencoba melihat sebuah konsep
pemikiran yang sangat brilian pada waktu itu, sebagai inspirasi dan petunjuk.
Untuk itu penulis mencoba menyampaikan pokok – pokok pikiran dari salah satu
ulama yaitu: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang berkaitan dengan masalah
ekonomi, meskipun jarak antara kita dan lahirnya beliau sangat jauh. Ia hidup pada
akhir abad ke 7 dan awal abad ke 8 Hijriah, dia memiliki ilmu pengetahuan yang
sangat dalam tentang ajaran islam. Islam masa kini membutuhkan pandangan
ekonomi yang jernih tentang apa yang diharapkan dan bagaimana sesuatu itu bisa
dilakukan. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan kebebasan dalam berusaha
dan hak milik, yang dibatasi oleh hukum moral dan diawasi oleh negara yang adil
dan mampu menegakkan hukum syari’at. Seluruh kegiatan ekonomi dibolehkan,
kecuali yang secara tegas dilarang oleh syari’at.
PEMBAHASAN
Biografi Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah yang
bernama lengkap Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim lahir di kota Harran pada
tanggal 22 Januari 1263 M. (10 Rabiul Awwal 661 H). Ia berasal dari keluarga
yang berpendidikan tinggi. Ayah paman dan kakeqnya merupakan ulama besar Mazhab
Hambali dan penulis sejumlah buku.
Berkat kecerdasan dan
kejeniusannya, Ibnu Taimiyah yang masih berusia sangat muda telah mampu
menamatkan sejumlah mata pelajaran,
seperti tafsir, hadis, fiqih, matimatika, dan pilsafat serta berhasil menjadi
yang terbaik diantara teman-teman seperguruannya. Guru ibnu Taimiyah berjumlah
200 orang, diantaranya adalah Syamsuddin Al Maqdisi, Ahmmad bin Abu Al Khair,
Ibnu Abi Al Yusr, dan Al Kamal bin Adul Majd bin Asakir.[1]
Ketika berusia 12
tahun, Ibnu Taimiyah telah diberi kepercayaan oleh gurunya yaitu Syamsuddin Al
Makdisi, untuk mengeluarkan patwa. Pada saat yang bersamaan ia juga memulai
kiprahnya sebagai seorang guru. Kedalaman ilmu Ibnu Taimiyah memperoleh
penghargaan dari pemerintah paada saat itu dengan menawarinya jabatan kepala
kantor pengadilan. Namun, karena hati nuraninya tidak mampu memenuhi berbagai
batasan yang ditentukan oleh penguasa, ia menolak tawaran tersebut.
2. Pemikiran Ekonomi
Pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah banyak diambil dari berbagai karya
tulisnya, antara lain Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam, as-Syar’iyyah fi Ishlah
ar-Ra’I wa ar-Ra’iyah dan al-Hisbah fi al-Islam.
1. Harga yang Adil, Mekanisme Pasar dan Regulasi
Harga
a. Harga yang Adil
Konsep harga yang adil
pada hakikatnya telah ada dan digunakan sejak awal kehadiran Islam. Al-Quran
sendiri sangat menekankan keadilan dalam setiap aspek kehidupan umat manusia.
Oleh karena itu, adalah hal yang wajar jika keadilan juga diwujudkan dalam
aktivitas pasar, khususnya harga. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah Saw.
menggolongkan riba sebagai penjualan yang terlalu mahal yang melebihi
kepercayaan para konsumen.
Istilah harga adil
telah disebutkan dalam beberapa hadits nabi dalam konteks kompensasi seorang
pemilik, misalnya dalam kasus seorang majikan yang membebaskan budaknya. Dalam
hal ini, budak tersebut menjadi manusia merdeka dan pemiliknya memperoleh
sebuah kompensasi dengan hara yang adil (qimah al-adl).
Konsep Ibnu Taimiyah mengenai
kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl) tidak sama dengan harga yang
adil (tsaman al-mitsl). Persoalan tentang kompensasi yang adil atau
setara (‘iwadh al-mitsl) muncul ketika mengupas persoalan kewajiban
moral dan hukum. Menurutnya, prinsip-prinsip ini terkandung dalam beberapa
kasus berikut:
(a) Ketika seseorang harus bertanggung jawab karena membahayakan
orang lain atau merusak harta dan keuntungan.
(b) Ketika seseorang mempunyai kewajiban untuk membayar kembali
sejumlah barag atau keuntunganyang setara atau membayar ganti rugi terhadap
luka-luka sebagian orang lain.
(c) Ketika seseorang diminta untuk menentukan akad yang rusak (al-‘ukud
al-fasidah) dan akad yang shahih (al-uqud al-shahihah) dalam suatu
peristiwa yang menyimpang dalam kehidupan dan hak milik.
Prinsip umum yang sama
berlaku pada pembayaran iuran kompensasi lainnya. Misalnya :
(a) Hadiah yang diberikan oleh gubernur kepada orang-orang Muslim,
anak-anak yatim dan wakaf.
(b) Kompensasi oleh agen bisnis yang menjadi wakil untuk melakukan
pembayaran kompensasi.
(c) Pemberian upah oleh atau kepada rekan bisnis (al-musyarik wa
al-mudharib)
Konsep Upah yang Adil
Pada abad pertengahan, konsep upah yang adil dimaksudkan sebagai tingkat upah
yang wajib diberikan kepada para pekerja sehingga mereka dapat hidup secara
layak ditengah-tengah masyarakat. Berkenaan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah
mengacu pada tingkat harga yang berlaku dipasar tenaga kerja (tas’ir fil
a’mal) dan menggunakan istilah upah yang setara (ujrah al-mitsl).
Seperti halnya harga,
prinsip dasar yang menjadi objek observasi dalam menentukan suatu tingkat upah
adalah definisi menyeluruh tentang kualitas dan kuantitas. Harga dan upah,
ketika keduannya tidak pasti dan tidak ditntukan atau tidak dispesifikasikan
dan tidak diketahui jenisnya, merupakan hal yang samar dan penuh dengan
spekulasi.
Konsep Laba yang Adil
Ibnu taimiyah mengakui ide tentang keuntungan yang merupakan motivasi para
pedagang. Menurutnya, para pedagang berhak memperoleh keuntungan melalui
cara-cara yang dapat diterima secara umum (al-ribh al ma’ruf)
tanpa merusak kepentingan dirinya sendiri dan kepentingan para pelanggannya.
Berdasarkan definisi harga yang adil, Ibnu Taimiyah mendefinisikan laba yang
adil sebagai laba normal yang secara umum diperoleh dari jenis perdagangan
tertentu, tanpa merugikan orang lain. Ia menentang keuntungan yang tidak lazim,
bersifat eksploitatif (gaban fahisy) dengan memanfaatka ketidakpedulian
masyarakat terhadap kondisi pasar yang ada (mustarsil).
Relevansi Konsep Harga
Adil dan Laba yang Adil Bagi Masyarakat
Tujuan utama dari harga yang adil dan berbagai permasalahan lain yang terkait
adalah untuk menegakan keadilan dalam bertransaksi pertukaran dan berbagai
hubungan lainya di antara anggota masyarakat.kedua konsep ini juga dimaksudkan
sebagai panduan bagi para penguasa untuk melindungi masyarakat dari berbagai
tindakan eksploitatif.dengan kata lain,pada hakikatnya konsep ini akan lebih
memudahkan bagi masyarakat dalam mempertemukan kewajiban moral dengan kewajiban
finansial.
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah,adil bagi para pedagang berarti barang~barang
dagangan mereka tidak dipaksa untuk dijual pada tingkat harga yang dapat
menghilang keuntungan normal mereka.
b. Mekanisme
pasar
Ibnu Taimiyah memiliki
sebuah pemahaman yang jelas tentang bagaimana, dalam suatu pasar bebas, harga
ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Ibnu Taimiyah menyebutkan
dua sumber persedian, yakni produksi local dan impor barang~barang yang diminta
(mayukhlaq aw yujlab Min dzalik al~mal al~matlub). Untuk menggambarkan
permintaanterhadap suatu barang tertentu,ia menggunakan istilah raghbah
fial~syai yang berarti hasrat terhadap sesuatu,yakni barang. Hasrat merupakan
salah satu factor terpenting dalam permintaan, factor lainya adalah pendapatan
yang tidak disebutkan oleh Ibnu Taimiyah perubahan dalam supply digambarkanya
sebagai kenaikan atau penurunandalam persediaan barang-barang, yang di sebabkan
oleh dua factor,yakni produksi local dan impor.
Ibnu Taimiyah mencatat beberapa factor yang memengaruhi permintaan serta
konsekuensinya terhadap harga, yaitu :
1) Keinginan masyarakat (raghbah) terhadap berbagai jenis barang yang
berbeda dan selalu
berubah-ubah.
2) Jumlah para peminat (tullab) terhadap suatu barang.
3) Lemah atau kuatnya kebutuhan terhadap suatu barang serta besar atau
kecilnya tingkat dan ukuran kebutuhan.
4) Kualitas pembeli jika pembeli adalah seorang yang kaya dan terpercaya dalam
membayar utang,harga yang diberikan lebih rendah.
5) Jenis uang yang digunakan dalam transaksi.
6) Tujuan transaksi yng menghendaki adanya kepemilikan resiprokal di antara
kedua belah pihak.
7) Besar kecilnya biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen atau
penjual.
c. Regulasi harga
Setelah menguraikan
secara panjang lebar tentang konsep harga yang adil dan mekanisme pasar, Ibnu
Taimiyah melanjutkan pembahasan dengan pemaparan secara detail mengenai konsep
kebijakan pengendalian harga oleh pemerintah. seperti yang akan terlihat ,
tujuan regulasi harga adalah untuk menegakan keadilan serta memenuhi kebutuhan
dasar masyarakat.
Ibnu Taimiyah
membedakan dua jenis penetapan harga,yakni penetapan harga yang tidak adil dan
cacat hukum serta penetapan harga yang adil dan sah menurut hukum.penetapan
harga yang tidak adil dan cacat hukum adalah penetapan harga yang dilakukan
pada saat kenaikan harga-harga terjadi akibat persaingan pasar bebas, yakni
kelangkaan supply atau kenaikan demand.
1) Pasar yang tidak sempurna
Di samping dalam
kondisi kekeringan dan perang, Ibnu Taimiyah merekomendasikan kepada pemerintah
agar melakukan kebijakan penetapan harga pada saat ketidaksempurnaan melanda
pasar. Sebagai contoh, apabila para penjual (arbab al-sila`)
menghentikan penjualan barang-barang mereka kecuali pada harga yang lebih
tinggi dari pada harga normal (al-qimah al-ma`rufah) dan pada saat
bersamaan masyarakat membutuhkan barang-barang tersebut, mereka akan diminta
untuk menjual barang-barangnya pada tingkat harga yang adil.
Contoh nyata dari pasar
yang tidak sempurna adalah adanya monopoli terhadap makanan dan barang-barang
kebutuhan dasar lainnya. Dalam kasus seperti ini, penguasa harus menetapkan
harga (qimah al-mitsl) terhadap transaksi jual beli mereka. Seorang
monopolis jangan dibiarkan secara bebas untuk menggunakan kekuatannya karena
akan menentukan harga semaunya yang dapat menzalimi masyarakat.
2) Musyawarah untuk Menetapkan Harga
Sebelum menerapkan
kebijakan penetapan harga, terlebih dahulu pemerintah harus melakukan
musyawarah dengan masyarakat terkait.Secara jelas, ia memaparkan kerugian dan
bahaya dari penetapan harga yang sewenang-wenang yang tidak akan memperoleh
dukungan luas, seperti timbulnya pasar gelap atau manipulasi kualitas tingkat
barang yang dijual pada tingkat harga yang ditetapkan. Berbagai bahaya ini
dapat direduksi, bahkan dihilangkan, apabila harga-harga ditetapkan melalui
proses musyawarah dan dengan menciptakan rasa tanggung jawab moral serta
dedikasi terhadap kepentingan publik.
Pemikiran Ibnu Taimiyah
tentang regulasi harga ini juga berlaku terhadap berbagai faktor produksi
lainnya. Seperti yang telah disinggung jasa mereka sementara masyarakat
sangat membutuhkannya atau terjadi ketidaksempurnaan dalam pasar tenaga kerja,
pemerintah harus menetapkan upah para tenaga kerja. Tujuan penetapan harga ini
adalah untuk melindungi para majikan dan para pekerja dari aksi saling
mengeksploitasi di antara mereka.
2. Uang dan Kebijakan Moneter
a.
Karakteristik dan Fungsi Uang
Secara khusus Ibnu
Taimiyah menyebutkan dua utama fingsi uang yaitu sebagai pengukur nilai dan
media pertukaran bagi sejumlah barang yang berbeda. Ia menyatakan,
“Atsman (harga atau yang dibayarkan sebagai harga, yaitu uang) dimaksudkan
sebagai pengukur nilai barang-barang (mi’yar al-amwal) yang dengannya jumlah
nilai barang-barang (maqadir al-amwal) dapat diketahui; dan uang tidak pernah
dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.”
Berdasarkan
pandangannya tersebut, Ibnu Taimiyah menentang keras segala bentuk perdagangan
uang, karena hal ini berarti mengalihkan fungsi uang dari tujuan sebenarnya.
Apabia uang dipertukarkan dengan uang yang lain, pertukaran tersebut harus
dilakukan secara simultan (taqabud) dan tanpa penundaan (hulul). Dengan cara
ini, seseorang dapat mempergunakan uang sebagai sarana untuk memperoleh
berbagai kebutuhannya.
b. Penurunan
Nilai Mata Uang
Ibnu Taimiyah menentang
keras terjadinya penurunan nilai mata uang dan percetakan mata uang yang sangat
banyak. Ia menyatakan,
Penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang selain dari emas dan perak)
sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat, tanpa
menimbulkan kezaliman terhadap mereka.
Pernyataan tersebut
memperlihatkan bahwa Ibnu Taimiyah memiliki beberapa pemikiran tentang hubungan
antara jumlahh mata uang, total volume transaksi dan tingkat harga.
Pernyataanya tentang volume fulus harus sesuai dengan proporsi jumlah transaksi
yang terjadi adalah untuk menjamin harga yang adil. Ia menganggap bahwa nilai
intrinsik mata uang, misalnya nilai logam, harus sesuai dengan daya beli di
pasar sehingga tdak seorang pun, termasuk penguasa, dapat mengambil untung
dengan melebur uang tersebut dan menjual dalam bentuk logam atau mengubah logam
tersebut menjadi koin dan memasukkannya dalam peredaram mata uang.
c.
Mata Uang yang Buruk Akan Menyngkirkan Mata Uang yang Baik
Ibnu Taimiyah
menyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan mata uang yang
berkualitas baik dari peredaran. Ia menggambarkan hal ini sebagai berikut:
“Apabila penguasa
membatalkan pengggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang
lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki
uang karena jatuhnya nilai uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti
telah melakukan kezaliman karena menghilanhkan nlai tinggi yang semuka mereka
miliki. Lebih daripada itu, apabila nilai intrisik mata uang tersebut berbeda,
hal iniakan menjadi sebuah sumber keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulkan
mata uang yang buruk dan menukarnya dengan mata uang yang baik dan kemudian
mereka akan membawannya kedaerah lain dan menukarkannya dengan mata uang yang
buruk di daerah tersebut untuk dibawa lagi kedaerahnya. Dengan demikian, nilai
barang-barang masyarakat akan menjadi hancur.
Pada pernyataan
tersebut, Ibnu Taimiyah menyebutkan akibat yang terjadi atas masuknya nilai
mata uang yang buruk bagi masyarakat yang sudah trlanjur memilikinya. Jika mata
uang tersebut kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai mata uang, berarti
hanya diperlakukan sebagai barang biasa yang tidak memiliki nilai yang sama
dibanding dengan ketika berfungsi sebagai mata uang. Disisi lain, seiring
dengan kehadiran mata uang yang baru, masyarakat akan memperoleh harga yang
lebih rendah untuk barang-barang mereka.
B. PEMIKIRAN EKONOMI IBNU KHALDUN
1. Biografi Ibnu Khaldun
Lelaki yang lahir di Tunisia pada 1 Ramadan 732 H./27
Mei 1332 M. adalah dikenal sebagai sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang
hafal Alquran sejak usia dini. Sebagai ahli politik Islam, ia pun dikenal
sebagai bapak Ekonomi Islam, karena pemikiran-pemikirannya tentang teori
ekonomi yang logis dan realistis jauh telah dikemukakannya sebelum Adam Smith
(1723-1790) dan David Ricardo (1772-1823) mengemukakan teori-teori ekonominya.
Bahkan ketika memasuki usia remaja, tulisan-tulisannya sudah menyebar ke
mana-mana. Tulisan-tulisan dan pemikiran Ibnu Khaldun terlahir karena studinya
yang sangat dalam, pengamatan terhadap berbagai masyarakat yang dikenalnya
dengan ilmu dan pengetahuan yang luas, serta ia hidup di tengah-tengah mereka
dalam pengembaraannya yang luas pula.
Selain itu dalam tugas-tugas yang diembannya penuh
dengan berbagai peristiwa, baik suka dan duka. Ia pun pernah menduduki jabatan
penting di Fes, Granada, dan Afrika Utara serta pernah menjadi guru besar di
Universitas al-Azhar, Kairo yang dibangun oleh dinasti Fathimiyyah. Dari
sinilah ia melahirkan karya-karya yang monumental hingga saat ini. Nama dan
karyanya harum dan dikenal di berbagai penjuru dunia. Panjang sekali jika kita
berbicara tentang biografi Ibnu Khaldun, namun ada tiga periode yang bisa kita
ingat kembali dalam perjalan hidup beliau. Periode pertama, masa dimana Ibnu
Khaldun menuntut berbagai bidang ilmu pengetahuan. Yakni, ia belajar Alquran,
tafsir, hadis, usul fikih, tauhid, fikih madzhab Maliki, ilmu nahwu dan sharaf,
ilmu balaghah, fisika dan matematika.
2. Pemikiran Ekonomi
Ibnu Khaldun dalam buku
karyanya “Muqaddimah” mengemukakan sebuah teori “Model Dinamika” yang mempunyai
pandangan jelas bagaimana faktor-faktor dinamika sosial, moral, ekonomi, dan
politik saling berbeda namun saling berhubungan satu dengan lainnya bagi
kemajuan maupun kemunduran sebuah lingkungan masyarakat atau pemerintahan
sebuah wilayah (negara). Ibnu Khaldun telah menyumbangkan teori produksi, teori
nilai, teori pemasaran, dan teori siklus yang dipadu menjadi teori ekonomi umum
yang koheren dan disusun dalam kerangka sejarah.
Dalam penentuan harga
di pasar atas sebuah produksi, faktor yang sangat berpengaruh adalah permintaan
dan penawaran. Ibnu Khaldun menekankan bahwa kenaikan penawaran atau penurunan
permintaan menyebabkan kenaikan harga, demikian pula sebaliknya penurunan
penawaran atau kenaikan permintaan akan menyebabkan penurunan harga. Penurunan
harga yang sangat drastis akan merugikan pengrajin dan pedagang serta mendorong
mereka keluar dari pasar, sedangkan kenaikan harga yang drastis akan
menyusahkan konsumen. Harga “damai” dalam kasus seperti ini sangat diharapkan
oleh kedua belah pihak, karena ia tidak saja memungkinkan para pedagang
mendapatkan tingkat pengembalian yang ditolerir oleh pasar dan juga mampu
menciptakan kegairahan pasar dengan meningktakan penjualan untuk memperoleh
tingkat keuntungan dan kemakmuran tertentu. Akan tetapi, harga yang rendah
dibutuhkan pula, karena memberikan kelapangan bagi kaum miskin yang menjadi
mayoritas dalam sebuah populasi.
Dengan demikian,
tingkat harga yang stabil dengan biaya hidup yang relatif rendah menjadi
pilihan bagi masyarakat dengan sudut pandang pertumbuhan dan keadilan dalam
perbandingan masa inflasi dan deflasi. Inflasi akan merusak keadilan, sedangkan
deflasi mengurangi insentif dan efisiensi. Harga rendah untuk kebutuhan pokok
seharusnya tidak dicapai melalui penetapan harga baku oleh negara karena hal
itu akan merusak insentif bagi produksi.
Faktor yang menetapkan
penawaran, menurut Ibnu Khaldun, adalah permintaan, tingkat keuntungan relatif,
tingkat usaha manusia, besarnya tenaga buruh termasuk ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang dimiliki, ketenangan dan keamanan, dan kemampuan teknik serta
perkembangan masyarakat secara keseluruhan. Jika harga turun dan menyebabkan
kebangkrutan modal menjadi hilang, insentif untuk penawaran menurun, dan
mendorong munculnya resesi, sehingga pedagang dan pengrajin menderita. Pada
sisi lain, faktor-faktor yang menentukan permintaan adalah pendapatan, jumlah
penduduk, kebiasaan dan adat istiadat masyarakat, serta pembangunan dan
kemakmuran masyarakat secara umum.
Menurut Ibnu Khaldun,
seorang individu tidak akan dapat memenuhi seluruh kebutuhan ekonominya seorang
diri, melainkan mereka harus bekerjasama dengan pembagian kerja dan
spesialisasi. Apa yang dapat dipenuhi melalui kerjasama yang saling
menguntungkan jauh lebih besar daripada apa yang dicapai oleh individu-individu
secara sendirian. Dalam teori modern, pendapat ini mirip dengan teori
comparative advantage.
Faktor terpenting untuk
prospek usaha adalah meringankan seringan mungkin beban pajak bagi pengusaha
untuk menggairahkan kegiatan bisnis dengan menjamin keuntungan yang lebih besar
(setelah pajak). Pajak dan bea cukai yang ringan akan membuat rakyat memiliki
dorongan untuk lebih aktif berusaha sehingga bisnis akan mengalami kemajuan.
Pajak yang rendah akan membawa kepuasan yang lebih besar bagi rakyat dan
berdampak kepada penerimaan pajak yang meningkat secara total dari keseluruhan
penghitungan pajak.
Perekonomian yang
makmur di awal suatu pemerintahan menghasilkan penerimaan pajak yang lebih
tinggi dari tarif pajak yang lebih rendah, sementara perekonomian yang
mengalami depresi akan menghasilkan penerimaan pajak yang lebih rendah dengan
tarif yang lebih tinggi. Alasan terjadinya hal tersebut adalah rakyat yang
mendapatkan perlakuan tidak adil dalam kemakmuran mereka akan mengurangi keinginan
mereka untuk menghasilkan dan memperoleh kemakmuran.
Kontribusi Ibnu Khaldun
dalam pengembangan ilmu pengetahuan cukup signifikan, namun sayang beliau lahir
pada saat dunia Islam mulai mengalami kemunduran. Kemunduran umat Islam dimulai
sejak abad ke 12 ditandai dengan kemerosoatan moralitas, hilangnya dinamika
dalam Islam setelah munculnya dogmatisme dan kekakuan berfikir, kemunduran
dalam aktivitas intelektual dan keilmuan, pemberontakan-pemberontakan lokal dan
perpecahan di antara umat, peperangan dan serangan dari pihak luar, terciptanya
ketidakseimbangan keuangan dan kehilangan rasa aman terhadap kehidupan dan
kekayaan, dan faktor-faktor lainnya yang mencapai puncaknya pada abad ke 16
pada masa Dinasti Mamluk Ciscassiyah yang penuh korupsi sehingga mempercepat
proses kemunduran tersebut.
Kemajuan dan kemunduran
yang dialami oleh umat Islam itu, bukanlah seperti sebuah garis lurus, tetapi
naik-turun dan berlangsung beberapa abad lamanya. Berbagai upaya dan usaha
telah dilakukan guna menghentikan kemunduran itu, namun karena sebab utama
tetap ada, maka kemerosotan terus berlangsung hingga saat ini. Faktor utama
untuk menghindari kemunduran tersebut adalah dengan kembali kepada ajaran Islam
yang sesungguhnya yang berorientasi kepada falah oriented, yakni menuju
kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas
dapat diambil kesimpulan bahwa ulama-ulama klasik Islam telah tidak hanya
berkutat pada agama dalam arti sebatas ritual keagamaan, akan tetapi telah
menaruh perhatian pada masalah perekonomian masyarakat bahkan diindikasikan
teori-teori ekonomi konvensional modern merupakan adopsi dari hasil pemikiran
mereka (Islam). Gresham telah mengadopsi teori Ibnu Taymiyah tentang mata uang
(curency) berkulitas buruk dan berkualitas baik. Menurut Ibnu Taymiyah,
uang berkualitas buruk akan menendang keluar uang yang berkualitas baik,
contohnya fulus (mata uang tembaga) akan menendang keluar mata uang emas dan
perak. Fungsi utama uang hanya sebagai alat tukar dalam transaksi (medium of
exchange for transaction) dan sebagai satuan nilai (unit of account). Semua
kebijakan tentang uang yang dibuat pemerintah harus dalam rangka untuk
kesejahteraan masyarakat (maslahat). Pencetakan uang yang tidak didasarkan pada
daya serap sektor riil dilarang, karena hanya akan meningkatkan inflasi dan
menurunkan kesejahteraan masyarakat. Penimbunan uang dilarang, karena
menyebabkan melambatnya perputaran uang yang berdampak pada turunnya jumlah
produksi dan kenaikan harga-harga produk. Peleburan uang logam dilarang, karena
akan mengurangi pasokan uang secara permanent yang berdampak pada kenaikan
harga-harga produk.
Daftar Pustaka
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
(Jakarta : PT RajaGrapindo Persada, 2008),
[1] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : PT
RajaGrapindo Persada, 2008), h. 351
0 komentar :
Posting Komentar