A.
Deskripsi Masalah
Dengan kehadirannya
lembaga penggadaian di Indonesia sudah menjadi hal yang lumrah kita dengar.
Bahkan kalau kita berjalan di daerah-daerah pertokoan, sering kali dijumpai motto
“Mengatasi Masalah tanpa Masalah”. Sekarang lembaga ini mendapat banyak
perhatian dari masyarakat, utamanya masyarakat menengah ke bawah. Karena kerap
kali didapati masyarakat melakukan aktifitas demikian dan mungkin kita sebagai
pelakunya. Hal ini disebabkan karena keuangan kita lagi defisit.
Setiap tindakan yang kita
ambil bukan tanpa ada resikonya. Setidaknya apa yang kita lakukan itu dapat
meminimalisir resiko yang kita ambil. Misalnya, kita tahu ada lembaga
penggadain konvensional dan juga lembaga penggadaian syariah. Prinsip yang
dilakukan lembaga konvensional adalah dapat memakmurkan stakeholder, di mana pemakmuran tersebut dilakukan dengan menarik
bunga terhadap nasabahnya. Penarikan nasabah tersebut bukan hanya sekali,
melainkan setiap bulan sampai wkatu jatuh tempo tiba. Beda halnya dengan
lembaga penggadaian syariah yang tidak mengenal bunga melainkan biaya penitipan
barang. Penjelasan ini sesuai dengan pernyataannya Muhammad Syafi’i Antonio
dalam bukunya “Bank Syariah dari Teori ke Praktik”, bahwa perbedaan utama
antara baiaya rahn dan bunga
pengadaina adalah sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda,
sedangkan biaya rahn hanya sekali dan
ditetapkan di muka[1].
Rahn
dalam perspektif Prof. Dr. H.
Ismail Nawawi adalah menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang
dapat dijadikan sebagai pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa
mengembalikan utangnya[2].
B.
Identifikasi Masalah
Sekilas lembaga penggadain
memang terlihat sangat membantu. Dan tentu saja dengan menyuarakan mottonya “mengatasi
masalah tanpa masalah”, lembaga ini berhasil menafsir dan mencitrakan dirinya
dimata masyarakat sangat baik. Akan tetapi, disadari atau tidak ternyata dalam
prakteknya lembaga ini belum dapat terlepas dari persoalan. Dengan berkaca mata
pada syari’at Islam, ketika perjanjian gadai ditunaikan terdapat unsur-unsur
yang dilarang syariat. Hal ini dapat terlihat dari praktek gadai itu sendiri
yang menentukan adanya bunga gadai, yang mana pembayarannya dilakukan setiap 15
hari sekali. Dan tentu saja pembayarannya haruslah tepat waktu karena jika
terjadi keterlambatan pembayaran, maka bunga gadai akan bertambah menjadi dua
kali lipat dari kewajibannya. Bukan hanya riba, ketidakjelasan (gharar), dan
qimar juga ikut serta menghiasi aktifitas lembaga ini. Yang secara jelas
terdapat kencenderungan merugikan salah satu pihak.
Memang hal ini tidaklah
terlalu diperhatikan oleh masyarakat. Tetapi, ketika mereka terjebak dengan
bunga yang membengkak serta ketidak sanggupan untuk membayar, maka di sinilah letak
permasalahan itu muncul. Oleh karena itu, berangkat dari uraian yang telah
dikemukakan di atas, maka kami selaku penulis membuat kajian ini dengan maksud
untuk menganalisa dan memberikan sebuah solusi dengan pendekatan Fiqh Islam sebagai
jawaban atas ketidak syari’atannya atas praktek pegadaian saat ini.
C.
Artikulasi Dalil
Dalil tentang rahn yang kami temukan dari fatwa DSN
dalam hal ini menjadi pijakan tentang pembolehan melakukan akad rahn, yaitu sebagai berikut:
1.
Firman
Allah, QS. Al-Baqarah [2]:
283:
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ...........
“Jika kamu
dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang)…….”
2. Hadis
Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyahr.a., ia berkata:
أن رسول الله صلى الله عليه
وسلم إشترى من يهودى طعاما إلى أجل ورهنه دراعا من حديد
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w pernah membeli makanan dengan
berhutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya.”.
3. Hadits
Nabi riwayat al-Syafi'i, al-Daraquthni dan IbnuMajah dari Abu Hurairah, Nabi
s.a.w. bersabda:
لا يغلق الرهن من صاحبه
الذى رهنه له غنمه وعليه غرمه
“Tidak terlepas
kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh
manfaat dan menanggung resikonya.”
4. Hadits
Nabi riwayat Jama’ah, kecuali Muslim dan al-Nasa’i, Nabi s.a.w. bersabda:
الرهن يركب بنفقته إذا كان
مرهونا ولبن الدرّ يشرب بنفقته إذا كان مرهونا الذى يركب ويشرب النفقة
“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan
menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya
dengan menanggung biayanya. Orang yang menggunakan kendaraan dan memerah susu
tersebut wajib menanggung biaya perawatan dan pemeliharaan.”.
5. Ijma:
Para ulama sepakat membolehkan akad Rahn
(al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1985, V: 181).
6. Kaidah
Fiqih:
الأصل في
المعاملات
الإجابة
إلا
أن
يدل
دليل
على
تحريمها
D.
Opersionalisasi Dalil
Operasionalisasi dalil
ini, kami dasarkan kepada pendapatnya al-Jazairi (2005: 532-534)
1.
Barang
gadai (rahn) harus berada di tangan murtahin dan bukan di tangan rahin. Jika rahin meminta pengembalian rahn
dari tangan murtahin dan bukan di
tangan rahin maka tidak
diperbolehkan. Sedangkan murtahin, ia
diperbolehkan mengembalikan rahn kepada
pemiliknya, karena ia mempunyai hak di dalamnya.
2.
Barang-barang
yang tidak boleh diperjualbelikan tidak boleh digadaikan, kecuali tanaman dan
buah-bauhan yang di pohonnya belum masak, karena kedua penjualan barang
tersebut haram, namun bila digadaikan diperbolehkan, karena tidak ada gharar di dalamnya bagi murtahin, karena piutangnya tetap ada
meskipun tanaman dan buah-buahan yang digadaikan kepadanya mengalami kerusakan.
3.
Jika
tempo gadai telah habis maka murtahin meminta
rahin melunasi utangnya. Jika rahin tidak membayar utangnya maka murtahin mengambil piutangnya dari hasil
barang yang digadaikan rahin kepadanya
jika ada. Jika hasilnya tidak ada, ia menjualnya dan mengambil piutangnya dari
hasil penjualan barang gadai. Jika hasil penjualan barang gadai lebih dari
piutangnya, ia kembalikan sisanya kepada rahin.
Jika hasil penjualan barang gadai tidak cukup untuk membayar utang, maka sisa
utang tetap menjadi tanggungan rahin.
4.
Rahn adalah amanah di tangan murtahin. Jadi, jika rahn mengalami
kerusakan karena kelalaiannya, maka ia wajib menggantinya. Jika rahn mengalami kerusakan bukan karena
kelalaiannya, ia tidak wajib mengganti piutangnya, Karena tetap menjadi
tanggungan rahin.
5.
Gadai
boleh dititpkan kepada orang yang bisa dipercaya selain murtahin, sebab yang terpenting dari rahn adalah dijaga, dan itu bisa dilakukan oleh orang yang bisa
dipercaya.
6.
Jika
rahin mensyaratkan rahn tidak dijual ketika utangnya telah
jatuh tempo, rahn menjadi batal.
Begitu juga jika murtahin
mensyaratkan kepada rahin dengan
berkata kepadanya, “jika tempo pembayaran utang telah jatuh dan engkau tidak
membayar utangmu kepadaku, maka rahn menjadi milikku”, hukumnya menjadi tidak
sah, Karena Rasulullah saw. Bersabda: “rahn
itu tidak boleh dimiliki. Rahn itu milik orang yang menggadaikan. Ia berhak
atas keuntungan dan kerugiannya”. (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang baik).
7.
Jika
rahin cekcok dengan murtahin mengenai besarnya utang, ucapan
yang diterima ialah ucapan rahin
dengan cara bersumpah, kecuali jika murtahin bisa mendatangkan barang bukti.
Jika keduanya cekcok tentang rahn,
misalnya rahin berkata: “aku gadaikan
unta dan anaknya kepadamu”, namun murtahin
berkata: “tidak, engkau hanya menggadaikan unta saja tanpa anaknya kepadaku”,
ucapan yang diterima adalah ucapan murtahin
dengan cara bersumpah, kecuali jika rahin
bisa mendatangkan barang bukti yang menguatkan dakwaannya, karena Rasulullah
bersabda: “barang bukti dimintakan dari
orang yang mengklaim dan sumpah dimintakan dari orang yang tidak mengaku”, (HR.
al-Baihaqi dengan sanad yang baik).
8.
Jika
murtahin mengklaim telah
mengembalikan rahn dan rahin tidak mengakuinya, ucapan yang
diterima ialah ucapan rahin dengan
cara bersumpah, kecuali jika murtahin
bisa mendatangkan barang bukti yang menguatkan klaimnya.
9.
Murtahin berhak menaiki rahn
yang bisa dinaiki dan memerah rahn
yang bisa diperah sesuai dengan besarnya biaya yang ia keluarkan untuk rahn tersebut. Tapi ia harus adil di
dalamnya, dalam arti tidak memanfaatkan lebih banyak daripada biaya yang ia
keluarkan untuk rahn tersebut, Karena
Rasulullah bersabda: “punggung hewan itu
bisa dinaiki dengan mengeluarkan biaya untuknya jika hewan tersebut digadaikan.
Air susu bisa diperah dengan mengeluarkan biaya yang digadaikan, dan orang yang
menaiki dan memerah harus menanggung pembiayaannya”. (HR. Bukhari).
10. Hasil rahn seperti anak dari rahn (jika rahn berbentuk hewan), panen (jika rahn berbentuk tanaman) dan lain sebagainya, menjadi milik rahin. Oleh karena itu ia berhak memberi
air dan apa saja yang dibutuhkannya, karena Rasulullah bersabda: “rahn itu milik orang yang menggadaikannya.
Ia berhak atas keuntungan dan kerugiannya”. (HR. Ibnu Majah).
11. Jika murtahin mengeluarkan biaya untuk rahn tanpa meminta izin kepada rahin, ia tidak boleh meminta rahin mengganti biaya yang telah
dikeluarkannya untuk rahn teesebut.
Jika murtahin tidak bisa meminta izin
kepada rahin karena lokasinya
berjauhan, ia berhak meminta rahin
mengganti biaya tersebut. Jika tempat keduanya tidak berjauhan, ia tidak boleh
meminta pengembalian biaya yang dikeluarkannya untuk rahn, karena orang yang bertindak sukarela itu tidak boleh meminta
pengembalian atas apa yang telah dikerjakannya.
12. Jika rumah yang
digadaikan mengalami kerusakan, kemudian murtahin
memperbaikinya tanpa seizing rahin,
hukumnya tidak dilarang kalau ia meminta penggantian biaya yang ia telah
keluarkan untuk perbaikan rumah tersebut, kecuali jika rahn berupa alat, seperti kayu dan batu yang tidak bisa dicabut, ia
boleh meminta penggantian kepada rahin.
13. Jika rahin meninggal dunia atau bangkrut, murtahin lebih berhak atas rahn daripada semua kreditur. Jika tempo
pembayaran utang telah jatuh, ia menjual rahn
yang ada padanya dan ia mengambil piutangnya dari hasil penjualan rahn tersebut. Jika hasil perjualan rahn surplus maka ia mengembalikannya
kepada rahin, dan jika hasil
penjualannya defisit, ia memiliki hak yang sama bersama para kreditur terhadap
sisa rahn[4].
- Formulasi Natijah
Gadai dalam islam memiliki istilah yaitu rahn. Gadai sendiri
secara umum diartikan sebagai perjanjian untuk menahan jaminan (barang) milik si
peminjam atas pinjaman yang diterimanya.
Sesuai dengan apa yang sudah kami ketahui bahwasannya masih ada
kantor-kantor pengadaian yang menggunakan transaksi gadai ini dengan sistem
bunga, dengan bertambahnya hutang yang belum dilunasi sesuai perjanjian. Hal
seperti ini dapat memberatkan pihak yang berhutang ketika dia belum bisa untuk
membayar pada jangka waktu yang diperjanjikan. Karena disamping dia belum
membayar hutang, juga diberatkan dengan bunga tersebut.
Diperbolehkannya transaksi rahn telah diperkuat dengan dalil-dalil
pada uraian “artikulasi dalil dan diperjelas dengan operasionalisasi dalil”
yang pada intinya segala bentuk muamalat boleh dilakukan
termasuk rahn, kecuali apabila terdapat dalil yang
mengharamkannya.
Ketika kedua belah pihak sudah menyepakati perjanjian rahn ini
maka, barang gadai harus
berada di tangan murtahin, bukan di
tangan rahin. Barang-barang yang
tidak boleh diperjualbelikan tidak boleh digadaikan, kecuali tanaman dan
buah-bauhan yang di pohonnya belum masak. Barang gadai juga boleh dititikan ke
orang lain (pihak ke-3) selagi bisa dipercaya. Rahn dianggap batal apabila
terdapat syarat-syarat tertentu, dengan kata lain tidak diperbolehkan apabila
ada syarat-syarat tertentu yang tidak menguntungkan bagi salah satu pihak.
Apabila rahin
meninggal dunia atau bangkrut, murtahin
lebih berhak atas rahn. Kemudian
ketika sudah jatuh tempo murtahin segera menjual barang gadai tersebut
dan mengambil hasil penjualan rahn sesuai dengan piutangnya, jika
nominal penjualan rahn lebih besar dari piutannya maka sisanya
dikembalikan kepada rahin atau keluarga rahin.
- Rekomendasi Solusi
Dalam dunia bisnis tidak luput dengan usaha
pemenuhan kebutuhan setiap individu. Salah satu cara untuk memenuhi
kebutuhannya tersebut ada yang membuka usaha jual-beli atau dengan cara membuka
usaha sewa-menyewa. Pada zaman modern seperti ini memiliki berbagai macam untuk
memenuhi kebutuhan. Selain jual-beli dan sewa-menyewa ada juga peminjaman uang
dengan mengunakan jaminan barang, cara tersebut adalah gadai. Gadai adalah
jaminan sebuah barang atau benda milik debitur untuk menjamin pelunasan
utangnya tersebut.
Gadai tentu tidak lepas dari sebuah permasalahan,
karena setiap hal pasti ada sisi positif dan negatifnya.
Bila terjadi marhun hilang dibawah penguasaan
murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila
terjadi rusak atau hilangnya itu karena kelalaian murtahin atau karena
disia-siakan, misalkan murtahin bermain-main dengan api, lalu terbakar
barang gadaian itu, atau gudang tempat penyimpanan barang tidak dikunci, lalu
barang tersebut hilang dicuri orang. Solusinya murtahin diwajibkan
memelihara sebagaimana layaknya, bila tidak demikian, ketika ada cacat atau
kerusakan apalagi sampai hilang, sudah menjadi tanggung jawab murtahin.
Jika salah satu pihak
tidak menunaikan kewajibannya (wanprestasi) atau jika terjadi perselisihan di
antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrase
syariah setelah kata sepakat dalam musyawarah tidak tercapai.
0 komentar :
Posting Komentar