PENGERTIAN
POLIGAMI
Salah satu realitas sosial yang
sering terjadi dalam hal perkawinan dan mengakibatkan cara pandang yang kontroversial dari banyak
kalangan masyarakat, yaitu poligami. Poligami merupakan bentuk ikatan
perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih dari satu isteri dalam waktu
yang sama. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti ini disebut
poligam[1].
Selain poligami tersebut yang tidak kalah
hebohnya dan merupakan perbincangan di kalangan masyarakat adalah poliandri.
Poliandri ini merupakan kebalikan daripada poligami yang mana perempuan
mempunyai suami lebih dari satu. Akan tetapi poliandri tersebut jarang dijumpai
karena hal tersebut hanya terjadi dibebrapa suku saja. Yakni suku Tuda dan
suku-suku di Tibet[2].
2. SEJARAH
ASAL-USUL POLIGAMI
Banyak orang mengira bahwa
poligami itu diperkenalkan oleh Islam, bahkan ada orang yang berpendapat
ekstrim bahwa jika bukan karena Islam poligami tidak dikenal dalam sejarah
manusia. Berabad-abad sebelum Islam diwahyukan, masyarakat manusia di berbagai
dunia telah mengenal dan mempraktekkan poligami, seperti di kalangan masyarakat
Yunani, Persia dan Mesir kuno.
Sejumlah riwayat menceritakan
bahwa rata-rata pemimpin suku pada zaman Yunani, Persia dan Mesir kuno memiliki
puluhan isteri, bahkan tidak sedikit kepala suku mempunyai isteri sampai ratusan.
Akan tetapi setelah Islam diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, barulah ada
pembatasan untuk memiliki sejumlah isteri yang semula ratusan menjadi empat
isteri saja[3].
Hal ini berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat: 3
÷LäêøÿÅzbÎ)ur žwr&
(#qäÜÅ¡ø)è?
’Îû
4‘uK»tGu‹ø9$#
(#qßsÅ3R$$sù
$tB
z>$sÛ
Nä3s9
z`ÏiB
Ïä!$|¡ÏiY9$#
4Óo_÷WtB
y]»n=èOur
yì»t/â‘ur
(
÷bÎ*sù
óOçFøÿÅz
žwr&
(#qä9ω÷ès?
¸oy‰Ïnºuqsù
÷rr&
$tB
ôMs3n=tB
öNä3ãY»yJ÷ƒr&
4
y7Ï9ºsŒ
#’oT÷Šr&
žwr&
(#qä9qãès?
ÇÌÈ

3. DASAR
HUKUM POLIGAMI
a. Dalam
al-Qur’an disebutkan tentang menikahi lebih dari satu isteri:
÷LäêøÿÅzbÎ)ur žwr&
(#qäÜÅ¡ø)è?
’Îû
4‘uK»tGu‹ø9$#
(#qßsÅ3R$$sù
$tB
z>$sÛ
Nä3s9
z`ÏiB
Ïä!$|¡ÏiY9$#
4Óo_÷WtB
y]»n=èOur
yì»t/â‘ur
(
÷bÎ*sù
óOçFøÿÅz
žwr&
(#qä9ω÷ès?
¸oy‰Ïnºuqsù
÷rr&
$tB
ôMs3n=tB
öNä3ãY»yJ÷ƒr&
4
y7Ï9ºsŒ
#’oT÷Šr&
žwr&
(#qä9qãès?
ÇÌÈ
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya”[5].
Ayat tersebutlah yang menjadi pegangan bagi
para poligam untuk memiliki seorang isteri lebih dari satu, bahkan ada seorang
mufassir yang menafsirkan ayat di atas mempunyai isteri sembilan, yaitu dengan
cara menjumlahkan angka dua ditambah tiga ditambah empat yang hasilnya adalah
sembilan. Di samping mennjumlahkan angka-angka tersebut, pendapat ini juga
didukung dengan perbuatan Nabi sendiri yang mempunyai istri Sembilan dalam
waktu yang bersamaaan[6].
4. PERDEBATAN
TENTANG POLIGAMI
a. pandangan ulama klasik (fuqaha)
Para
ilmuan klasik (fuqaha) berpendapt, bahwa Allah mengizinkan menikahi empat
wanita. Menurut mereka, walaupun kebolehan ini ditambah dengan sebuah kondisi
yang tidak mungkin ditunaikan, keadialan dalam kasih sayang, perasaan, cinta
dan semacamnya. Namun, selama kemampuan adil di bidang pengadaan nafkah dan
akomodasi bisa ditunaikan[7].
Pendapat ini juga diperkuat dengan Hadits riwayat. Ahmad, Abu Daud dan
al-Nasai, bahwa Nabi sendiri pernah berkata hubungannya dengnan
ketidakmampuannya berbuat adil dalam hal kebutuhan batin. Beliau berkata: ‘Ya
Tuhanku! Inilah kemampuanku dalam hal memberikan pembagian kepada isteri-isteriku,
karena itu jangan memaksaku untuk berbuat sesuatu yang di luar kemampuanku.
Akan
tetapi, kalau dipahami lebih lanjut pendapat yang membolehkan berpoligami, baik
yang membatasi hanya sampai emapat wanita, maupun lebih, jika tidak diberikan
syarat memberikan nafkah lahir dan batin secara adil akan mempunyai dampak
negatif, yaitu di antaranya: (1) Menimbulkan kecemburuan antar istri. (2)
Anak-anak dari berlainan ibu berkelahi. (3) Kekurangan ekonomi. Kalau hal-hal
ini sudah tidak terpenuhi, hal-hal negatif akan muncul. Maka yang terjadi
adalah ketidakharmonisan dalam rumah tangga.
b. pandangan abduh dan para modernis lain
Menurut
para pemikir modern, untuk melarang menikahi wanita lebih dari satu, atau
kalaupun memperbolehkannya diikuti dengan berbagai syarat yang hampir tidak
mungkin dipenuhi oleh seorang suami, adalah ketidakmampuan berbuat adil
terhadap para isteri.
Dalam
hal ini, Ameer Ali memberikan catatan bahwa teori poligami digunakan kalau
suatu masyarakat yang menuntut adanya situasi yang menghendaki demikian.
Misalnya, ketika jumlah wanita terlalu banyak, maka teori ini bisa saja
diterapkan, sebagai jalan keluar untukmemecahkan masalah tersebut.
Muhammad
Abduh berkesimpulan, poligami sebagai suatu tindakan yang tidak boleh atau
haram. Poligami hanya mungkin bisa dilakukan suami dalam hal-hal tertentu,
misalnya ketidakmampuan seorang isteri untuk mengandung atau melahirkan[8].
Dapat
dirinci menjadi tiga kondisi. Pertama, kebolehan berpoligami sesuai
dengan kondisi dan tuntutan zaman. Kedua, syarat bisa berbuat
adil merupakan syarat yang sangat berat, sampai-sampai Allah sendiri
mengatakan, kalaupun manusia berusaha keras untuk berbuat adil, manusia tidak
akan mampu, khususnya dalam pembagian cinta dan hal-hal yang berhubungan dengan
pelayanan batin[9]. Ketiga,
bahwa seorang suami yang tidak bisa melaksanakan syarat-syarat yang
dituntut untuk berpoligami, harus melakukan monogami.
c. Menurut undang-undang no. 1 tahun 1974 pasal 3 ayat
1
Pada
asasnya seorang pria hanya boleh mepunyai seorang isteri, seorang isteri hanya
boleh mempunyai seorang suami.
Akan
tetapi asas monogami dalam Undang-Undang perkawinan ini tidak bersifat mutlak,
tetapi hanya bersifat mengarahkan kepada pembentukan perkawinan monogamy dengan
jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan
menghapuskan sama sekali sistem poligami.
Dalam
berpoligami seorang pria diberikan persyaratan, yang mana persyaratan tersebut
diatur oleh Undang-Undang dalam pasal 3 ayat 2:
a.
Harus ada ijin
dari pengadilan.
b.
Bila dikehendaki
oleh yang bersangkutan.
c.
Hukum dan agama
yang bersangkutan mengijinkannya, artinya tidak ada larangan dalam hal ini.
Pengadilan
dalam hal poligami mempunyai andil yang sangat penting, sebagaimana yang
tertera dalam pasal 4 ayat 5 yaitu sebagai berikut:
1.
Harus mengajukan
permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya (pasal 4 ayat 1).
2.
Untuk dapat
mengajukan permohonan kepada pengadilan harus dipenuhi syarat-syarat tertentu,
yaitu:
a.
Adanya
persetujaun dari isteri/isteri-isteri yang terdahulu.
b.
Adanya kepastian
bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c.
Adanya jaminan
bahwa suami akan berlaku adil kepada isteri-isteri dan anak-anak mereka.
3.
Pengadilan hanya
akan memberi izin apabila permohonan itu didasarkan pada alasan-alasan yang
dibenarkan, seperti yang ditentukan dalam pasal 4 ayat 2, sebagai berikut:
a.
Isteri tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b.
Isteri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.
Apabila isteri
tidak memperoleh keturunan.[10]
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.
Poligami
merupakan bentuk ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih dari
satu isteri dalam waktu yang sama. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan
seperti ini disebut poligam[11].
2.
Sejumlah riwayat
menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suku pada zaman Yunani, Persia dan Mesir
kuno memiliki puluhan isteri, bahkan tidak sedikit kepala suku mempunyai isteri
sampai ratusan. Akan tetapi setelah Islam diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW,
barulah ada pembatasan untuk memiliki sejumlah isteri yang semula ratusan
menjadi empat.
3.
Para ilmuan
klasik (fuqaha) berpendapt, bahwa Allah mengizinkan menikahi empat wanita.
Menurut mereka, walaupun kebolehan ini ditambah dengan sebuah kondisi yang
tidak mungkin ditunaikan, keadialan dalam kasih sayang, perasaan, cinta dan
semacamnya. Namun, selama kemampuan adil di bidang pengadaan nafkah dan
akomodasi bisa ditunaikan[12].
4. Menurut
para pemikir modern, untuk melarang menikahi wanita lebih dari satu, atau
kalaupun memperbolehkannya diikuti dengan berbagai syarat yang hampir tidak
mungkin dipenuhi oleh seorang suami, adalah ketidakmampuan berbuat adil
terhadap para isteri.
5. Dalam
berpoligami seorang pria diberikan persyaratan, yang mana persyaratan tersebut
diatur oleh Undang-Undang dalam pasal 3 ayat 2:
a.
Harus ada ijin
dari pengadilan.
b.
Bila dikehendaki
oleh yang bersangkutan.
c.
Hukum dan agama
yang bersangkutan mengijinkannya, artinya tidak ada larangan dalam hal ini.
[1] Siti Musdah Mulia, Islam
Menggugat Poligami, hal 43
[2] Ibid, 44
[3] Ibid, 45
[4] QS, al-Nisa’, 3
[5] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan, 75
[6] Khoiruddin nasution, Riba Dan Poligami, 92
[7] Ibid, 99
[8] Ibid, 102
[9] Ibid, 103
[10] Ibid, 77-79
[11] Siti Musdah Mulia, Islam
Menggugat Poligami, hal 43
[12] Ibid, 99
DAFTAR
PUSTAKA
Mulia,
Siti Musdah, 2007, Islam Menggugat Poligami, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama
Nasution, Khoiruddin,
1996, Riba Dan Poligami, Yogyakarta: PT. ACADEMIA
Soemiyati,
1997, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta:
Liberty
0 komentar :
Posting Komentar