Senin, 26 November 2012



  PENGERTIAN POLIGAMI
Salah satu realitas sosial yang sering terjadi dalam hal perkawinan dan mengakibatkan cara  pandang yang kontroversial dari banyak kalangan masyarakat, yaitu poligami. Poligami merupakan bentuk ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih dari satu isteri dalam waktu yang sama. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti ini disebut poligam[1].
 Selain poligami tersebut yang tidak kalah hebohnya dan merupakan perbincangan di kalangan masyarakat adalah poliandri. Poliandri ini merupakan kebalikan daripada poligami yang mana perempuan mempunyai suami lebih dari satu. Akan tetapi poliandri tersebut jarang dijumpai karena hal tersebut hanya terjadi dibebrapa suku saja. Yakni suku Tuda dan suku-suku di Tibet[2].
2.      SEJARAH ASAL-USUL POLIGAMI
Banyak orang mengira bahwa poligami itu diperkenalkan oleh Islam, bahkan ada orang yang berpendapat ekstrim bahwa jika bukan karena Islam poligami tidak dikenal dalam sejarah manusia. Berabad-abad sebelum Islam diwahyukan, masyarakat manusia di berbagai dunia telah mengenal dan mempraktekkan poligami, seperti di kalangan masyarakat Yunani, Persia dan Mesir kuno.
Sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suku pada zaman Yunani, Persia dan Mesir kuno memiliki puluhan isteri, bahkan tidak sedikit kepala suku mempunyai isteri sampai ratusan. Akan tetapi setelah Islam diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, barulah ada pembatasan untuk memiliki sejumlah isteri yang semula ratusan menjadi empat isteri saja[3]. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat: 3
÷LäêøÿÅzbÎ)ur žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.[4]
3.      DASAR HUKUM POLIGAMI
a.       Dalam al-Qur’an disebutkan tentang menikahi lebih dari satu isteri:
÷LäêøÿÅzbÎ)ur žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”[5].
 Ayat tersebutlah yang menjadi pegangan bagi para poligam untuk memiliki seorang isteri lebih dari satu, bahkan ada seorang mufassir yang menafsirkan ayat di atas mempunyai isteri sembilan, yaitu dengan cara menjumlahkan angka dua ditambah tiga ditambah empat yang hasilnya adalah sembilan. Di samping mennjumlahkan angka-angka tersebut, pendapat ini juga didukung dengan perbuatan Nabi sendiri yang mempunyai istri Sembilan dalam waktu yang bersamaaan[6].
4.      PERDEBATAN TENTANG POLIGAMI
a.      pandangan ulama klasik (fuqaha)
Para ilmuan klasik (fuqaha) berpendapt, bahwa Allah mengizinkan menikahi empat wanita. Menurut mereka, walaupun kebolehan ini ditambah dengan sebuah kondisi yang tidak mungkin ditunaikan, keadialan dalam kasih sayang, perasaan, cinta dan semacamnya. Namun, selama kemampuan adil di bidang pengadaan nafkah dan akomodasi bisa ditunaikan[7]. Pendapat ini juga diperkuat dengan Hadits riwayat. Ahmad, Abu Daud dan al-Nasai, bahwa Nabi sendiri pernah berkata hubungannya dengnan ketidakmampuannya berbuat adil dalam hal kebutuhan batin. Beliau berkata: ‘Ya Tuhanku! Inilah kemampuanku dalam hal memberikan pembagian kepada isteri-isteriku, karena itu jangan memaksaku untuk berbuat sesuatu yang di luar kemampuanku.
Akan tetapi, kalau dipahami lebih lanjut pendapat yang membolehkan berpoligami, baik yang membatasi hanya sampai emapat wanita, maupun lebih, jika tidak diberikan syarat memberikan nafkah lahir dan batin secara adil akan mempunyai dampak negatif, yaitu di antaranya: (1) Menimbulkan kecemburuan antar istri. (2) Anak-anak dari berlainan ibu berkelahi. (3) Kekurangan ekonomi. Kalau hal-hal ini sudah tidak terpenuhi, hal-hal negatif akan muncul. Maka yang terjadi adalah ketidakharmonisan dalam rumah tangga.
b.      pandangan abduh dan para modernis lain
Menurut para pemikir modern, untuk melarang menikahi wanita lebih dari satu, atau kalaupun memperbolehkannya diikuti dengan berbagai syarat yang hampir tidak mungkin dipenuhi oleh seorang suami, adalah ketidakmampuan berbuat adil terhadap para isteri.
Dalam hal ini, Ameer Ali memberikan catatan bahwa teori poligami digunakan kalau suatu masyarakat yang menuntut adanya situasi yang menghendaki demikian. Misalnya, ketika jumlah wanita terlalu banyak, maka teori ini bisa saja diterapkan, sebagai jalan keluar untukmemecahkan masalah tersebut.
Muhammad Abduh berkesimpulan, poligami sebagai suatu tindakan yang tidak boleh atau haram. Poligami hanya mungkin bisa dilakukan suami dalam hal-hal tertentu, misalnya ketidakmampuan seorang isteri untuk mengandung atau melahirkan[8].
Dapat dirinci menjadi tiga kondisi. Pertama, kebolehan berpoligami sesuai dengan kondisi dan tuntutan zaman. Kedua, syarat bisa berbuat adil merupakan syarat yang sangat berat, sampai-sampai Allah sendiri mengatakan, kalaupun manusia berusaha keras untuk berbuat adil, manusia tidak akan mampu, khususnya dalam pembagian cinta dan hal-hal yang berhubungan dengan pelayanan batin[9]. Ketiga, bahwa seorang suami yang tidak bisa melaksanakan syarat-syarat yang dituntut untuk berpoligami, harus melakukan monogami.
c.       Menurut undang-undang no. 1 tahun 1974 pasal 3 ayat 1
Pada asasnya seorang pria hanya boleh mepunyai seorang isteri, seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami.
Akan tetapi asas monogami dalam Undang-Undang perkawinan ini tidak bersifat mutlak, tetapi hanya bersifat mengarahkan kepada pembentukan perkawinan monogamy dengan jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapuskan sama sekali sistem poligami.
Dalam berpoligami seorang pria diberikan persyaratan, yang mana persyaratan tersebut diatur oleh Undang-Undang dalam pasal 3 ayat 2:
a.       Harus ada ijin dari pengadilan.
b.      Bila dikehendaki oleh yang bersangkutan.
c.       Hukum dan agama yang bersangkutan mengijinkannya, artinya tidak ada larangan dalam hal ini.
Pengadilan dalam hal poligami mempunyai andil yang sangat penting, sebagaimana yang tertera dalam pasal 4 ayat 5 yaitu sebagai berikut:
1.      Harus mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya (pasal 4 ayat 1).
2.      Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan harus dipenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu:
a.       Adanya persetujaun dari isteri/isteri-isteri yang terdahulu.
b.      Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c.       Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil kepada isteri-isteri dan anak-anak mereka.
3.      Pengadilan hanya akan memberi izin apabila permohonan itu didasarkan pada alasan-alasan yang dibenarkan, seperti yang ditentukan dalam pasal 4 ayat 2, sebagai berikut:
a.       Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b.      Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.       Apabila isteri tidak memperoleh keturunan.[10]


















BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
1.      Poligami merupakan bentuk ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih dari satu isteri dalam waktu yang sama. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti ini disebut poligam[11].
2.      Sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suku pada zaman Yunani, Persia dan Mesir kuno memiliki puluhan isteri, bahkan tidak sedikit kepala suku mempunyai isteri sampai ratusan. Akan tetapi setelah Islam diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, barulah ada pembatasan untuk memiliki sejumlah isteri yang semula ratusan menjadi empat.
3.      Para ilmuan klasik (fuqaha) berpendapt, bahwa Allah mengizinkan menikahi empat wanita. Menurut mereka, walaupun kebolehan ini ditambah dengan sebuah kondisi yang tidak mungkin ditunaikan, keadialan dalam kasih sayang, perasaan, cinta dan semacamnya. Namun, selama kemampuan adil di bidang pengadaan nafkah dan akomodasi bisa ditunaikan[12].
4.      Menurut para pemikir modern, untuk melarang menikahi wanita lebih dari satu, atau kalaupun memperbolehkannya diikuti dengan berbagai syarat yang hampir tidak mungkin dipenuhi oleh seorang suami, adalah ketidakmampuan berbuat adil terhadap para isteri.
5.      Dalam berpoligami seorang pria diberikan persyaratan, yang mana persyaratan tersebut diatur oleh Undang-Undang dalam pasal 3 ayat 2:
a.       Harus ada ijin dari pengadilan.
b.      Bila dikehendaki oleh yang bersangkutan.
c.       Hukum dan agama yang bersangkutan mengijinkannya, artinya tidak ada larangan dalam hal ini.


[1] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, hal 43
[2] Ibid, 44
[3] Ibid, 45
[4] QS, al-Nisa’, 3
[5] Soemiyati, Hukum Perkawinan  Islam Dan Undang-Undang Perkawinan, 75
[6] Khoiruddin nasution, Riba Dan Poligami, 92
[7] Ibid, 99
[8] Ibid, 102
[9] Ibid, 103
[10] Ibid, 77-79
[11] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, hal 43
[12] Ibid, 99
DAFTAR PUSTAKA
Mulia, Siti Musdah, 2007, Islam Menggugat Poligami, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Nasution, Khoiruddin, 1996, Riba Dan Poligami, Yogyakarta: PT. ACADEMIA
Soemiyati, 1997, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty

0 komentar :

Posting Komentar