ILMU KALAM
A.Pengertian makna Salaf
Salaf
di dalam bahasa arab adalah generasi pertama dari kalangan sahabat dan tabi'in
(dua generasi pasca sahabat). Yang kemudian dijadikan sebagai salah satu aliran
dalam agama Islam
yang mengajarkan syariat Islam secara murni tanpa adanya tambahan dan
pengurangan. Seseorang yang mengikuti aliran ini disebut Salafy (as-Salafy),
jamaknya adalah Salafiyyun (as-Salafiyyun) Para Salafy beranggapan
bahwa, jika seseorang melakukan suatu perbuatan tanpa adanya ketetapan dari Allah dan rasul-Nya,
bisa dikatakan sebagai perbuatan bid'ah.[1]
Banyak
beragam definisi yang banyk dikemukakan para pakar mengenai definisi salaf .
berikut ini akan dikemukakan beberapa di antaranya. Menurut Thablawi
Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu.
salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’I tabi’
tabi’in, para pemuka abad ke-3 H. dan para pengikutnyapada abad ke-4 yang
terdiri atas para muhadditsin dan
lainnya. Sedangkan menurut Mahmud al-bisybisyi dalam al-firaq al-islamiah
mendefinisikan salaf sebagai sahabat, tabi’in yang dapat diketahui dari
sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat allah yang menyerupainya segala sesuatu yang
baru untuk menyucikan dan mengagungkannya.[2]
B. Kapan dan Dimanakah Berkembangnya
Pemikiran Tersebut?
W. Montgomery
Watt menyatakan bahwa gerakan salafiah berkembang terutama di Bagdad pada abad
ke-13. Pada masa itu terjadi gairah yang menggebu-gebu yang di warnai fanatisme
kalangan kaum hanbali. Sebelum akhir abad itu, terdapat sekolah-sekolah hanbali
di jerussalem dan damaskus. Di damaskus, kaum hanbali makin kuat dengan
kedatangan para pengungsi dari irak yang di sebabkan serangan mongol atas irak.
Di antara para pengungsi itu terdapat satu keluarga dari harran, yaitu keluarga
Ibnu Taimiah. Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama besar penganut imam hanbali
yang ketat.
Menurut Harun
Nasution, secara kronologisnya salafiyah berasal dari Imam Ahmad bin Hanbal.
Lalu ajarannya di kembangkan oleh imam ibnu taimiyah. Kemudian di suburkan oleh
Imam Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia islam. [3]
C. Tokoh-Tokohkoh dan Pemikirannya
Beberapa
tokoh dalam pemikiran tersebut antara lain:
A. IMAM AHMAD BIN HANBAL
1.
Riwayat Singkat Hidup Ibn Hanbal
Ia dilahirkan di Bagdad tahun
164 H/780 M, dan meninggal 241 H/855 M. Ia sering di panggil Abu Abdillah
karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Namun, ia lebih di kenal dengan
nama Imam Hanbali karna merupakan pendiri mazhab Hanbali.
2.
Pemikiran teori Ibn Hanbal
a.
Tentang Ayat-ayat Musytabihat.
Dalam memahami ayat-ayat
al-qur’an, ibnu hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual)
dari pada pendekatan ta’wil. terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat tuhan
dan ayat-ayat musytabihat. Hal itu terbukti ketika ditanya tentang
penafsiran “(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas
Arsy.”(Q.s. Thaha : 50.) Dalam hal ini Ibn Hanbal menjawab “Bersemayam diatas
arasy terserah pada Allah dan bagaimana saja Dia kehendaki dengan tiada batas
dan tiada seorangpun yang sanggup menyifatinya.
Dan ketika ditanya tentang makna hadist nuzul (Tuhan turun kelangit
dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan diakhirat), dan hadist
tentang telapak kaki Tuhan, Ibn Hanbal menjawab : “kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan
maknanya”
Dari peryataan di atas, tampak bahwa Ibnu Hanbal bersikap menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat di atas dan
hadist musytabihat kepada Allah dan
Rasulnya, dan menyucikan-Nya dari keserupaan dengan makhluk. Ia sama sekali
tidak menakwilkan pengertian lahirnya.
b.
Tentang status Al-Qur’an
Salah satu persoalan teoligis yang dihadapi Ibn Hanbal, yang kemudian membuatnya
dipenjara beberapa kali, adalah tentang status AlQur’an, apakah diciptakan (makhluk) yang karenanya hadist (baru)
ataukah yang tidak diciptakan karena Qadim? Faham yang di akui oleh pemerintah,
yakni Dinasti Abbasiyah dibawah
kepimpinan khalifah Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq, adalah faham
Mu’tazilah, yakni Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan.
Faham adanya qadim disamping tuhan,
berarti menduakan Tuhan, sedangkan menduakan Tuhan adalah syirik dan dosa besar
yang tidak diampuni oleh Tuhan. [4]
A. IBN TAIMIYAH
1.
Riwayat Singkat Ibn
Taimiyah
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim bin
Taimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari Senin tanggal 10 Rabiul Awwal tahun
661 H dan meninggal di penjara pada malam Senin tanggal 20 Dzul Qo’dah tahun
729 H. kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam dan
Mesir, serta kaum muslimin pada umumnya.
Ibn Taimiyah terkenal sangat cerdas sehingga pada usia 17 tahun, ia telah
dipercaya masyarakat untuk memberikan pandangan-pandangan hukum secara resmi.
Para ulama yang merasa sangat risau oleh serangan-serangan-Nya serta iri hati
terhadap kedudukannya di Istana Gubernur Damaskus, telah menjadikan
pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah sebagai landasan untuk menyerangnya.[5]
2. Pemikiran Ibn Taimiyah
Pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah, seperti yang di katakan Ibrahim Madzkur
adalah sebagai berikut.[6]
a. Sangat berpegang teguh pada nas (teks Al-Qur’an dan Al-Hadist)
b. Tidak memberikan ruang gerak yang bebas kepada akal.
c. Berpendapat bahwa Al-Qur’an mengandung semua ilmu agama
d. Di dalam islam yang diteladani hanya ada 3 generasi saja
(sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in)
e. Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan
tetap mentanzihkan-Nya.
Ibn Taimiyah adalah seorang yang tekstualis. Oleh sebab itu, pandangannya
dianggap oleh ulama mazhab Hanbal, Al-Khatib Ibnu Al-Jauzi, sebagai pandangan
tajsim (antropomorpisme) Allah, yakni
menyerupakan Allah dengan makhluknya. Oleh karena itu Al-Jauzi berpendapat
bahwa pengakuan Ibn Taimiyah sebagi salaf perlu ditinjau kembali.[7]
Berikut ini merupakan pandangan Ibn Taimiyah tentang sifat-sifat Allah.[8]
a. Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang ia sendiri
atau rasul-Nya mensifati.
b. Percaya sepenuhnya terhadapnama-nama-Nya, yang Allah atau
Rasul-Nya sebutkan, seperti al-awwal, al-akhir, azh- zhahir, al-bathin,
al-‘alim, al-qadir, al-hayyu, al-qayyum.
c. Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebu dengan:
1.
Tidak merubah maknanya pada
makna yang tidak dikehendaki lafaz (min
ghairi tahrif)
2.
tidak menghilangkan
pengertian lafaz (min ghairi ta’thil)
3.
tidak mengingkarinya (min ghairi ilhad)
4.
tidak menggambar-gambarkan
bentuk tuhan, baik dalam fikiran atau hati. apalagi dengan indra (min ghairi takyif)
5.
tidak menyerupakan (apalagi
menyamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluk-Nya (min ghairi tamtsil). Hal ini disebkan bahwa tiada sesuatu pun yang
dapat menyamainya, bahkan yang menyerupainya pun tidak ada.
Berdasarkan alasan
diatas, Ibn Taimiyah tidak menyutujui penafsiran ayat-ayat musytabihat.
Menurutnya ayat atau hadist yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima
dan diartikan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak
menyerupakan dengan makhluk, dan tidak bertanya tentangnya.
[3] DR. Abdul Razak, M.Ag.Ilmu Kalam,Pustaka
Setia,Bandung,hlm,109-110.
[4] DR. Abdul Razak, M.Ag.Ilmu Kalam,Pustaka
Setia,Bandung,hlm,109-110.
[5] DR. Abdul Razak, M.Ag.Ilmu Kalam,Pustaka
Setia,Bandung,hlm,109-110.
[6] Madkur, op.cit, hlm.31
[8] Abdullah Yusuf, Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat
musytabihat. Sinar Baru, Bandung 1993, hlm. 58-60
0 komentar :
Posting Komentar