Sabtu, 22 Desember 2012


ILMU KALAM



A.Pengertian makna Salaf
Salaf di dalam bahasa arab adalah generasi pertama dari kalangan sahabat dan tabi'in (dua generasi pasca sahabat). Yang kemudian dijadikan sebagai salah satu aliran dalam agama Islam yang mengajarkan syariat Islam secara murni tanpa adanya tambahan dan pengurangan. Seseorang yang mengikuti aliran ini disebut Salafy (as-Salafy), jamaknya adalah Salafiyyun (as-Salafiyyun) Para Salafy beranggapan bahwa, jika seseorang melakukan suatu perbuatan tanpa adanya ketetapan dari Allah dan rasul-Nya, bisa dikatakan sebagai perbuatan bid'ah.[1]
Banyak beragam definisi yang banyk dikemukakan para pakar mengenai definisi salaf .  berikut ini akan dikemukakan beberapa di antaranya. Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu.  salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’I tabi’ tabi’in, para pemuka abad ke-3 H. dan para pengikutnyapada abad ke-4 yang terdiri atas para muhadditsin dan lainnya. Sedangkan menurut Mahmud al-bisybisyi dalam al-firaq al-islamiah mendefinisikan salaf sebagai sahabat, tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat  allah yang menyerupainya segala sesuatu yang baru untuk menyucikan dan mengagungkannya.[2]





B. Kapan dan Dimanakah Berkembangnya Pemikiran Tersebut?
W. Montgomery Watt menyatakan bahwa gerakan salafiah berkembang terutama di Bagdad pada abad ke-13. Pada masa itu terjadi gairah yang menggebu-gebu yang di warnai fanatisme kalangan kaum hanbali. Sebelum akhir abad itu, terdapat sekolah-sekolah hanbali di jerussalem dan damaskus. Di damaskus, kaum hanbali makin kuat dengan kedatangan para pengungsi dari irak yang di sebabkan serangan mongol atas irak. Di antara para pengungsi itu terdapat satu keluarga dari harran, yaitu keluarga Ibnu Taimiah. Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama besar penganut imam hanbali yang ketat.
Menurut Harun Nasution, secara kronologisnya salafiyah berasal dari Imam Ahmad bin Hanbal. Lalu ajarannya di kembangkan oleh imam ibnu taimiyah. Kemudian di suburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia islam. [3]
C. Tokoh-Tokohkoh dan Pemikirannya
Beberapa tokoh dalam pemikiran tersebut antara lain:
A.    IMAM AHMAD BIN HANBAL
1.      Riwayat Singkat Hidup Ibn Hanbal
Ia dilahirkan di Bagdad tahun 164 H/780 M, dan meninggal 241 H/855 M. Ia sering di panggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Namun, ia lebih di kenal dengan nama Imam Hanbali karna merupakan pendiri mazhab Hanbali.
2.      Pemikiran teori Ibn Hanbal
a.       Tentang Ayat-ayat Musytabihat.
Dalam memahami ayat-ayat al-qur’an, ibnu hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) dari pada pendekatan ta’wil. terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat tuhan dan ayat-ayat musytabihat. Hal itu terbukti ketika ditanya tentang penafsiran “(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy.”(Q.s. Thaha : 50.) Dalam hal ini Ibn Hanbal menjawab “Bersemayam diatas arasy terserah pada Allah dan bagaimana saja Dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorangpun yang sanggup menyifatinya.
Dan ketika ditanya tentang makna hadist nuzul (Tuhan turun kelangit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan diakhirat), dan hadist tentang telapak kaki Tuhan, Ibn Hanbal menjawab : “kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya”
Dari peryataan di atas, tampak bahwa Ibnu Hanbal bersikap menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat di atas dan hadist musytabihat kepada Allah dan Rasulnya, dan menyucikan-Nya dari keserupaan dengan makhluk. Ia sama sekali tidak menakwilkan pengertian lahirnya.
b.      Tentang status Al-Qur’an
Salah satu persoalan teoligis yang dihadapi Ibn Hanbal, yang kemudian membuatnya dipenjara beberapa kali, adalah tentang status AlQur’an, apakah diciptakan (makhluk) yang karenanya hadist (baru) ataukah yang tidak diciptakan karena Qadim? Faham yang di akui oleh pemerintah, yakni Dinasti Abbasiyah dibawah kepimpinan khalifah Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq, adalah faham Mu’tazilah, yakni Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya qadim disamping tuhan, berarti menduakan Tuhan, sedangkan menduakan Tuhan adalah syirik dan dosa besar yang tidak diampuni oleh Tuhan. [4]
A.    IBN TAIMIYAH
1.      Riwayat Singkat Ibn Taimiyah
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim bin Taimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari Senin tanggal 10 Rabiul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam Senin tanggal 20 Dzul Qo’dah tahun 729 H. kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam dan Mesir, serta kaum muslimin pada umumnya.
Ibn Taimiyah terkenal sangat cerdas sehingga pada usia 17 tahun, ia telah dipercaya masyarakat untuk memberikan pandangan-pandangan hukum secara resmi. Para ulama yang merasa sangat risau oleh serangan-serangan-Nya serta iri hati terhadap kedudukannya di Istana Gubernur Damaskus, telah menjadikan pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah sebagai landasan untuk menyerangnya.[5]
2.      Pemikiran Ibn Taimiyah
Pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah, seperti yang di katakan Ibrahim Madzkur adalah sebagai berikut.[6]
a.       Sangat berpegang teguh pada nas (teks Al-Qur’an dan Al-Hadist)
b.      Tidak memberikan ruang gerak yang bebas kepada akal.
c.       Berpendapat bahwa Al-Qur’an mengandung semua ilmu agama
d.      Di dalam islam yang diteladani hanya ada 3 generasi saja (sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in)
e.       Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.
Ibn Taimiyah adalah seorang yang tekstualis. Oleh sebab itu, pandangannya dianggap oleh ulama mazhab Hanbal, Al-Khatib Ibnu Al-Jauzi, sebagai pandangan tajsim (antropomorpisme) Allah, yakni menyerupakan Allah dengan makhluknya. Oleh karena itu Al-Jauzi berpendapat bahwa pengakuan Ibn Taimiyah sebagi salaf perlu ditinjau kembali.[7]
Berikut ini merupakan pandangan Ibn Taimiyah tentang sifat-sifat Allah.[8]
a.       Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang ia sendiri atau rasul-Nya mensifati.
b.      Percaya sepenuhnya terhadapnama-nama-Nya, yang Allah atau Rasul-Nya sebutkan, seperti al-awwal, al-akhir, azh- zhahir, al-bathin, al-‘alim, al-qadir, al-hayyu, al-qayyum.
c.       Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebu dengan:
1.      Tidak merubah maknanya pada makna yang tidak dikehendaki lafaz (min ghairi tahrif)
2.      tidak menghilangkan pengertian lafaz (min ghairi ta’thil)
3.      tidak mengingkarinya (min ghairi ilhad)
4.      tidak menggambar-gambarkan bentuk tuhan, baik dalam fikiran atau hati. apalagi dengan indra (min ghairi takyif)
5.      tidak menyerupakan (apalagi menyamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluk-Nya (min ghairi tamtsil). Hal ini disebkan bahwa tiada sesuatu pun yang dapat menyamainya, bahkan yang menyerupainya pun tidak ada.
Berdasarkan alasan diatas, Ibn Taimiyah tidak menyutujui penafsiran ayat-ayat musytabihat. Menurutnya ayat atau hadist yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakan dengan makhluk, dan tidak bertanya tentangnya.



[2] Abubakar Aceh,Salaf: Islam dalam Masa Murni, Ramadhani,Solo,1986,hlm.25.
[3] DR. Abdul Razak, M.Ag.Ilmu Kalam,Pustaka Setia,Bandung,hlm,109-110.
[4] DR. Abdul Razak, M.Ag.Ilmu Kalam,Pustaka Setia,Bandung,hlm,109-110.
[5] DR. Abdul Razak, M.Ag.Ilmu Kalam,Pustaka Setia,Bandung,hlm,109-110.
[6] Madkur, op.cit, hlm.31
[7] Sa’ad, op. cit, hlm. 94
[8] Abdullah Yusuf, Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat musytabihat. Sinar Baru, Bandung 1993, hlm. 58-60

0 komentar :

Posting Komentar