Sabtu, 22 Desember 2012



filsafat hukum islam


A.  Pengertian Maqasid al-Syari’ah
Definisi مقاصد jama’ مقصد - قصد maksud, tujuan الشريعة secara bahasa adalah tempat menuju ke sumber air tanpa terputus الشريعة secara makna syar’i adalah :Sesuatu yang ditetapkan Allah SWT untuk hambanya berupa ajaran agama. Korelasi makna bahasa dan makna syar’i: Jalan ke arah sumber pokok kehidupan. مقاصد الشريعة berarti tujuan dan fungsi syariat berupa mendatangkan kemaslahatan, baik dalam bentuk mewujudkan maupun memeilhara kemaslahatan tersebut Al-Syatibi mendefiniskan: “maqashid syari’ah bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat[1].
Tujuan umum bagi hukum-hukum yang diistimbathkan Abu Hanifah ialah memperhatikan segi-segi kemudahan, baik dalam bidang ibadat, maupun dalam bidang muamalah., serta memperhatikan kaum fakir, kaum lemah dan kemerdekaan pribadi serta kemanusiaaanya, sebagaimana diperhatikan kedaulatan ummat. Tujuan fiqihnya, ialah menghilangkan kepicikan dan kesukaran[2].
Segala taklif[3] pada hakikatnya kembali kepada memelihara segala maksud syara’ terhadap para mahluk. Maksud-maksud ini tertuang dalam tiga maksud:
  1. Al-Dlaruriyyat
Al-Dlaruriyyat adalah segala sesuatu yang harus ada untuk tegaknya kehidupan manusia baik al-dinniyyat maupun al-dunniawiyyat[4]. Dalam arti apabila al-dlaruriyyat tidak berdiri (tidak berwujud), cederalah kehidupan manusia di dunia ini dan hilanglah kenikmatan serta wajib atasnya adzab yang pedih di akhirat nanti. Menurut prof. H. Mohammad Daud Ali, al-dlaruriyyat adalah kebutuhan utama yang harus dilindungi dan dipelihara sebaik-baiknya oleh hukum Islam agar kemaslahatan hidup manusia benar-benar tewujud[5].
Dalam memelihara al-dlaruriyyat hendaknya dengan dua faktor:
Pertama, mengerjakan segala yang menjadi sebab-sebab perwujudan, yaitu:
ما يقيم اركانها ويثبت قواعدها وذالك عبارة عن مراعاتها جانب الوجود
            “Yang meneguhkan sendi-sendinya dan mengokohkan fondasi-fondasinya. Hal itu adalah ibarat daripada memeliharanya dari segi perwujudannya (menjaganya dari segi perwujudannya).
Kedua, meninggalkan segala yang merusaknya, yaitu:
مايدرأ عنها الإختلال الواقع اوالمتوقع فيها. وذالك عبارة عن مراعتها من جانب العدم
“Yang menolak kecederaaan yang terjadi daripadanya atau khawatir akan terjadi. hal itu ialah ibarat memeliharanya dari ketiadaan (menjaganya supaya tidak lenyap).
Segala pokok ibadah kembali kepada memelihara agama dari segi perwujudannya yaitu seperti iman, mengucapkan dua kalimat syahadat. Segala persoalan adat kembali memelihara jiwa dan akal dari segi perwujudannya juga seperti memakan makanan, meminum minuman, memakai pakaian dan mendiami tempat kediaman.
Segala masalah muamalah, yakni yang dlaruri seperti yang dikatakan al-Amidi itu seperti mencari rezeki, kembali kepada memelihara keturunan dan harta dari segi perwujudan dan kembali kepada memelihara jiwa dan akal juga, dari segi memelihara kelanjutannya. Jinayat yang dicakup oleh amar ma’ruf nahi mungkar kembali kepada memelihara semua itu dari kerusakan.
al-dlaruriyyat itu terkumpul dalam:
a.       Memelihara Agama
Yang dimaksud memelihara agama, Allah SWT dan Rasulnya memerintahkan kaum Muslim agar menegakkan syi’ar-syi’ar Islam, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan jihad atau memerangi orang yang menghambat dakwah Islam[6] dan juga bisa diartikan sebagai toleransi dalam beragama yaitu sebagai orang yang mempunyai keyakinan berbeda dengan orang lain, kita tidak boleh saling mengganggu terhadap pemeluk agama lain baik dalam segi ibadah maupun sosialnya.
b.      Memelihara Jiwa
Memelihara jiwa dalam peringkat al-dlaruriyyat, Allah dan Rasulnya menyuruh kepada manusia untuk menjaga kesehatan, menyuruh manusia memakan makanan yang halal dan baik, dan melarang segala perbuatan yang akan merusak jiwa, seperti membunuh orang lain yang mengakibatkan pembunuhan kepada dir sendiri karena ada hukum qishas[7]. Artinya seseorang diperintah untuk memperthankan hidupnya.
c.       Memelihara Akal
Memelihara akal dalam al-dlaruriyyat seperti halnya dalam Islam dilarang meminum minuman khamar dan semua perbuatan yang dapat merusak terhadap akal pikiran manusia.
d.      Memelihara Keturunan
Pemeliharaan keturuna dalam al-dlaruriyyat dapat dilakukan dengan cara menikah dan tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama seperti zina. Artinya seseorang dituntut untuk menjaga keluarga agar terhindar dari perbuatan zina atau perbuatan yang berdampak negatif lainnya terhadap keluarga maupun keturunannya.
e.       Memelihara Harta
Memelihara harta dalam tingkat al-dlaruriyyat seperti tentang cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Artinya seseorang itu dituntut untuk senantiasa mejaga hartanya agar tidak diambil orang lain dengan tanpa izinnya.
Al-Ghazali telah menerangkan hal-hal yang dlaruriyat dalam urutan yang lima, yaitu:
هذه المصالح الخمس حفظها واقع في رتبة الضروريات فهو أقوى المراتب في المصالحز ومثاله قضاء الشرع بقتل الكافر االمضل وعقوبة المبتدع الداعي الى بدعته. فإن هذا يفوت على الخلق دينهم وقضاؤه بايجاب القصاص اذبه حفظ النفوس وايجاب الحد للشرب اذبه حفظ العقول التي هي ملاك التكليف وايجاب حد الزنا اذبه حفظ النسل. وايجب زحر النصاب والسراق اذبه يحصل حفظ الاموال التي هي معاش الناس وهم مضطرون اليها.
            “Maslahat-maslahat yang lima ini memeliharanya terletak dalam martabat dlaruriyat. Ialah sekuat-kuat martabat kemaslahatan, contohnya ialah: sayara’ menetapkan supaya orang kafir yang menyesatkan orang lain dibunuh, demikian pula penganut bid’ah yang mengajak orang lain kepada bid’ahnya karena yang demikian ini merusakkan keagamaan terhadap masyarakat. Dan seperti syara’ menetpakan kewajiban qishas terhadap pembunuhan untuk memelihara jiwa dan seperti mewajibkan hukuman minuman memabukkan karena dengan hukuman itulah dipelihara akal yang menjadi sendi taklif. Dan seperti mewajibkan hukuman zina karena dengan hukuman itulah dipelihara keturunan dan mewajibkan kita mendera pembongkar kuburan dan pencuri, karena dengan dialah terpelihara harta yang menjadi kebutuhan hidup manusia sedang mereka memerlukannya[8].
  1. Al-Hajiyyat
Al-Hajiyyat adalah segala sesuatu yang dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan. Artinya, ketiadaan aspek al-hajiyyat ini tidak sampai mengancam eksistensi kehidupan manusia menjadi rusak, melainkan hanya sekedar menimbulkan kesulitan dan kesukaran saja. Jadi prinsip utama dari aspek al-hajiyyat adalah untuk menghilangkan kesulitan, meringankan beban taklif dan memudahkan urusan mereka[9].
a.       Memelihara Agama
Memelihara agama dalam tingkat al-hajiyyat adalah melaksanakan ketentuan dengan tujuan menghindari kesulitan dalam menjalankan perintah Allah, seperti ketika sedang melaksanakan perjalanan yang jauh, kita diperbolehkan mengerjakan shalat jama’ dan shalat qashar. Artinya, dengan melaksanakan ketentuan tersebut itu, kita tidak akan menghilangkan kewajiban yang diperintah agama.
b.      Memelihara Jiwa
Dalam bidang ‘uqubat Islam menetapkan kewajiban membayar denda (diyat) bukan qishas bagi orang yang melakukan pembunuhan secara tidak sengaja, menawarkan hak pengampunan bagi orang tua korban pembunuhan terhadap orang yang membunuh anaknya[10].


c.       Memelihara Akal
Memelihara akal dalam hal ini seperti dianjurkan untuk menuntut ilmu bagi siapapun. Jika hal ini diabaikan maka akan berakibat pada eksistensi manusia (bodoh).
d.      Memelihara Keturunan
Memelihara keturunan dalam hal ini seperti dibolehkannya seorang suami mentalak isterinya apabila rumah tangga mereka benar-benar tidak mendapatkan ketentraman lagi.
e.       Memelihara Harta
Memelihara harta dalam peringkat al-hajiyyat seperti dalam bidang muamalat, antara lain Islam membolehkan jual beli pesanan (‘istishna’) dan jula beli salam (jual beli di mana barang yang dibeli tidak langsung diterima ketika pembayaran dilakukan, melainkan kemudiannya, sebab barang yang dibeli itu tidak berada di tempat ketika transaksi dilakukan)[11].
  1. Al-Tahsiniyyat
Al-Tahsiniyyat merupakan sesuatu yang menjadikan hidup manusia lebih pantas dan beradab[12]. Jika sesuatu itu tidak ada maka tidak akan merusak tatanan kehidupan serta tidak menyulitkan. Hanya saja akan mengurangi ketidakpantasan, etika dan fitrah.
Adapun penjelasan al-tahsiniyyat ini juga terbagi menjadi lima pokok yaitu:
a.       Memelihara Agama
Memelihara agama dalam peringkat al-tahsiniyyat ini adalah mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap Tuhan. Misalnya menutup aurat, baik di dalam maupun di luar shalat, membersihkan badan, pakaian dan tempat. Hal seperti itu erat kaitannaya dengan akhlak terpuji. Dan apabila hal ini tidak mungkin untuk dilakukan maka hal ini tidak akan mengancam eksisitensi agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang melakukannya.
b.      Memelihara Jiwa
Memelihara jiwa dalam peringkat al-tahsiniyyat ini seperti ditetapkan tata cara makan dan minum. Hal ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika dan sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia ataupun mempersulit kehidupan seseorang.
c.       Memelihara Akal
Memelihara akal dalam peringkat al-tahsiniyyat ini seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaidah. Hal ini erat kaitannya dengan etika, dan tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung.
d.      Memelihara Keturunan
Memelihara keturunan dalam peringkat al-tahsiniyyat sebagaimana disyari’atkan khitbah dan walimah dalam perkawinan. Dan hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Apabila hal tersebut tidak dilakukan maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan dan tidak pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan.
e.       Memelihara Harta
Memelihara harta dalam peringkat al-tahsiniyyat ini seperti keharaman melakukan jual beli dengan cara memeperdaya dan menimbun barang dengan maksud menaikkan harga perdagangan, spekulasi, dan lain sebagainya[13].

B.     Hubungan antara maqashid al-syariah dengan beberapa metode ijtihad
Tujuan utama hukum Islam adalah mewujudkan maslahah untuk kehidupan manusia, maka dapat dikatakan bahwa penetapan hukum Islam berkaitang dengan dinamika kemaslahatan yang berkembang di masyarakat. Muhammad Mustafa Syalabi menegaskan bahwa adanya perubahan hukum adalah karena perubahan maslahat (tabaddu al-ahkam bi tabaddu al-maslahat) dalam masyarakat.
Pernyataan tersebut dapat dibenarkan karena dapat dibuktikan secara historis dalam perkembangan hukum Islam. Adanya al-Nasakh (penghapusan suatu hukum yang terdahulu dengan hukum yang baru), al-Tadarruj fi al-Tasyri’ (pentahapan dalam penetapan hukum) dan Nuzul al-Ahkam yang selalu mengikuti peristiwa-peristiwa yang terjadi (pada masa pewahyuan), semuanya merupakan dalil yang jelas menunjukkan bahwa perubahan hukum mengikuti perubahan masalih yang ada[14].
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa teori Maqashid al-Syariah yang berintikan perwujudan kemaslahatan dan pengelakan dari segala macam kerusakan meurpakan pijakan dan landasan dalam Syari’at Islam. Artinya baik hukum Islam yang dijelaskan secara eksplisit dalam al-Qur’an maupun hukum Islam yang dihasilkan melalui proses ijtihad harus berdasarkan pada kemaslahatan.
Untuk melihat lebih jauh hubungan antara Maqashid al-Syari’ah dengan beberapa metode ijtihad, akan dijelaskan sebagai berikut:
1.      Al-Qiyas
Drs, Beni Ahmad Saebani dalam bukunya meneyebutkan, qiyas diartikan sebagai ukuran, sukatan, timbangan, dan lain-lain yang searti dengan itu, atau pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya[15], misalnya kalimat:
قاس الشيئ بغيره او على غيره
“Ia telah mengukur sesuatu dengan lainnya atas lainnya”.
Sedangkan dalam istilah ahli ushul fiqih, qiyas adalah menyamakan suatu hukum dari peristiwa yang tidak memiliki nash hukum dengan peristiwa yang sudah memiliki nash hukum, sebab sama dalam illat hukumnya[16]. Seperti keharaman bunga bank yang diqiyaskan kepada riba. Riba diharamkan karena adanya tambahan dari harta pokok. Begtiu juga dengan bunga bank,dimana sesorang yang meminjam uang di bank, maka orang tersebut harus mengembalikan harta pokok terlebih dahulu kemudian ditambah dengan prosentase bunga tersebut.
Jika hal tersebut dijalankan maka akan mengganggu eksistensi daripada Maqasid al-Syariah dibidang memelihara harta dalam tingkat al-tahsiniyyat. Dan juga dapat memberatkan pada seorang peminjam. Jika tidak dapat mengembalaikan pinjamannya dan bunga bank, maka juga dapat mengancam kejiwaan para debitur akibat dari tekanan bank dan hal ini dapat mengganggu eksistensi memelihara jiwa dalam tingkat al-dlaruriyat.
2.      Al-Istihsan
Al-Istihsan adalah menganggap baik sesuatu. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fikih al-istihsan adalah beralihnya pemikiran seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang nyata kepada qiyas yang samara tau dari hukum umum kepada pengecualian karena ada kesalahan pemikiran yang kemudian memenangkan perpindahan itu[17]. Seperti yang paling sering dikemukakan adalah peristiwa ditinggalkannya hukum potong tangan bagi pencuri di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal seharusnya pencuri harus dipotong tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun kemudian hukum ini ditinggalkan kepada hukum lainnya, berupa tidak memotong tangan pencuri. Ini adalah hukum berikutnya, dengan suatu dalil tertentu yang menguatkannya.
Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu pencuri harus dipotong tangannya. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain. Dalam hal ini, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu[18].
Berdasarkan contoh kasus tersebut, penetapan hukum potong bagi pencuri pada masa khalifah Umar bin Al-Khattab ra. yang kemudian hukum tesebut ditinggalkan dengan menganggap hukum potong tangan kurang baik karena jika tangan seorang pencuri dihukum potong tangan, maka akan menghilangkan kekreatifan tangannya dikemudian hari. Pengalihan hukum tersebut berdasarkan ijtihad dalam segi al-istihsan yang dilandasakan pada konsep Maqashid al-Syariah baik yang bersifat al-dlaruriyat, al-hajiyyat, dan al-tahsiniyyat yaitu memelihara jiwa.
3.    Al-Maslahat al-Mursalat
Al-Maslahat al-Mursalat merupakan penetapan hukum untuk kasus hukum dengan mempertimbangkan tujuan syari’ah, yakni memelihara agama, jiwa, akal, harata dan keturunan , yang proses analisinya lebih banyak ditentukan oleh nalar pakar hukum islam sendiri[19]. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fikih adalah kemaslahatan yang oleh syar’i tidak dibuatkan hukum untuk mewujudkannya, tidak ada dalil syara’ yang menunjukkan dianggap atau tidaknya kemaslahatan itu[20].
Berdasarkan pengertian di atas, metode ijtihad dengan Al-Maslahat al-Mursalat sangat memperhatikan eksistensi daripada Maqashid al-Syariah baik yang dlaruriyyat, hajiyyat maupun tahsiniyyat.
Pada dasarnya mayoritas ahi ushul fiqih menerima metode maslahat mursalat. Untuk menggunkan metode tersebut mereka memberikan beberapa syarat. Adapun beberapa syarat agar maslahat dapat dijadikan dasar hkum adalah sbagai berikut :
f.        Kemaslahatan itu termasuk dalam kategori al-dlaruriyyat. Artinya bahwa untuk menetapkan suatu kemaslahatan tingkat keperluannya harus diperhatikan. Apakah sampai mengancam lima unsur pokok maslahat atau belum sampai pada batas tersebut.
g.      Kemaslahatan itu bersifat qath’i. Artinya yang dimaksud dengan maslahat tersebut benar-benar telah diyakini sebagai maslahat, tidak didasarkan pada dugaan semata-mata.
h.      Kemaslahatan itu bersifat kulli. Artinya bahwa kemaslahatan itu berlaku secara umum dan kolektif tidak bersifat individual.
Berdasarkan persyaratan diatas maslahat yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqih dapat dipahami bahwa betapa eratnya hubungan antara metode mashlahat al-mursalat dengan maqashid al-syari’ah. Ungkapan Imam Malik bahwa maslahat itu harus sesuai dengan tujuan disyariatkan hukum dan diarahkan pada upaya menghilangkan kesulitan[21].
4.    Saddu al-Zari’at
Secara bahasa, sadd berarti “penutup” dan zari’at  berarti “jalan yang menujukepada sesuatu” atau “sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudharatan”. Menurut paka studi hukum Islam, zari’at berarti sesuatu yang menjadi perantara ke arah perbuatan yang diharamkan. Dengan demikian, saddu al-zari’at adalah menutup sesuatu yang menjadi sarana kepada yang diharamkan atau dihalalkan. Perbuatan itu dilarang apabila membawa kepada kerusakan yang lebih kuat dan lebih banyak kemaslahatannya[22].
Jadi pada dasarnya penentuan apakah zari’at harus dibuka atau ditutup sangat bergantung pada tujuan-tujuan perbuatan, dalam kaitannya dengan ini, Abu Zahra mengkalasifikasikan zari’at dalam empat kelompok sebagai beriut:
a.       Zari’at yang secara qath’i akan membawa mafsadat, seperti menggali sumur di jalan umum yang gelap, zari’at semacam ini para ahli ushul fikih sepakat melarangnya.
b.       Zari’at yang jarang membawa mafsadat, seperti menanam dan membudidayakan pohon anggur, meskipun buah anggur kemungkinan dibuat minuman keras, namun hal itu termasuk jarang, karena itu menanm anggur tidak dilarang.
c.       Zari’at yang berdasarkan dugaan yang kuat akan membawa mafsadat, seperti menjual buah anggur kepada orang yang biasa memproduksi minuman keras.
d.      Zari’at yang seringkali membawa mafsadat, namun kekhawatiran terjadinya tidak sampai pada dugaan yang kuat, melainkan atas dasar asumsi biasa, misalnya transaksi jual beli secara kredit, diasumsikan dalam transaksi tersebut akan membawa mafsadat,  terutama bagi debitur. Mengenai zari’at seperti ini para ahli ushul fikih berbeda pendapat, ada pendapat perbuatan ituharus dilarang dan ada pula yang berpendapat sebaliknya[23].
Berdasarkan pernyataan di atas, zari’at sangat erat kaitannya dengan maqashid al-syari’ah.



[1] Muhammad Jamhuri, Maqashid al-Syariah, dalam http://www.slideshare.net/guest4d5c082/maqashid-syariah-1015557 (1 Desember 2012)
[2] Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: PT Bulan bintang, 1993), hal. 60
[3] Beban hukum yang mengandung perintah, larangan dan pilihan terhadap mukallaf. (lihat Alaiddin Koto, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal. 127)
[4] Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam,, 187
[5] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), 62
[6] Alaiddin Koto, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: (Rajawali Pers, 2012), 50
[7] Ibid, 50
[8] Hasbi Ash-Shiddieqy, hal 189
[9] Alaiddin Koto, Filsafat Hukum Islam, 51
[10] Ibid, 52
[11] Ibid, 52
[12] A. Djazuli, Fiqh Siyasah, ( Jakarta : Prenada Media Group, 2003) , 257
[13] Alaiddin Koto, Filsafat Hukum Islam, 53
[14] Fatimah Halim, Hubungan Maqashid al-Syariah dengan Beberpa Metode Penetpan Hukum (Qiyas dan Sadd/Fath al-Zari’ah), Jurnal Hunafa, Vol. 7, No. 2, (Desember, 2010), 125
[15] Beni Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), 207
[16] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), 25
[17] Ibid, 104
[19] Tim Penyusun MKD  IAIN Sunan Ampel, Studi Hukum Islam, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), 194
[20] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, 110
[21] Fathur Rahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 ), 143
[22] Tim Penyusun MKD  IAIN Sunan Ampel, Studi Hukum Islam, yang dikutip dalam bukunya Ibnu Qayyim al-Jauziyah, A’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, hal 108-109
[23] Fatimah Halim, Hubungan Maqashid al-Syariah dengan Beberpa Metode Penetpan Hukum (Qiyas dan Sadd/Fath al-Zari’ah), 132-133

0 komentar :

Posting Komentar