filsafat hukum islam
A. Pengertian Maqasid
al-Syari’ah
Definisi مقاصد
jama’ مقصد - قصد maksud, tujuan الشريعة secara bahasa adalah tempat menuju ke
sumber air tanpa terputus الشريعة secara makna syar’i
adalah :Sesuatu yang ditetapkan Allah SWT untuk hambanya berupa ajaran agama.
Korelasi makna bahasa dan makna syar’i: Jalan ke arah sumber pokok kehidupan. مقاصد الشريعة berarti tujuan dan fungsi syariat berupa
mendatangkan kemaslahatan, baik dalam bentuk mewujudkan maupun memeilhara
kemaslahatan tersebut Al-Syatibi mendefiniskan: “maqashid syari’ah bertujuan
mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat[1].
Tujuan
umum bagi hukum-hukum yang diistimbathkan Abu Hanifah ialah memperhatikan
segi-segi kemudahan, baik dalam bidang ibadat, maupun dalam bidang muamalah.,
serta memperhatikan kaum fakir, kaum lemah dan kemerdekaan pribadi serta
kemanusiaaanya, sebagaimana diperhatikan kedaulatan ummat. Tujuan fiqihnya,
ialah menghilangkan kepicikan dan kesukaran[2].
Segala
taklif[3]
pada hakikatnya kembali kepada memelihara segala maksud syara’ terhadap para
mahluk. Maksud-maksud ini tertuang dalam tiga maksud:
- Al-Dlaruriyyat
Al-Dlaruriyyat adalah segala sesuatu yang harus ada
untuk tegaknya kehidupan manusia baik al-dinniyyat maupun al-dunniawiyyat[4].
Dalam arti apabila al-dlaruriyyat tidak berdiri (tidak berwujud),
cederalah kehidupan manusia di dunia ini dan hilanglah kenikmatan serta wajib
atasnya adzab yang pedih di akhirat nanti. Menurut prof. H. Mohammad Daud Ali, al-dlaruriyyat
adalah kebutuhan utama yang harus dilindungi dan dipelihara sebaik-baiknya oleh
hukum Islam agar kemaslahatan hidup manusia benar-benar tewujud[5].
Dalam
memelihara al-dlaruriyyat hendaknya dengan dua faktor:
Pertama, mengerjakan
segala yang menjadi sebab-sebab perwujudan, yaitu:
ما يقيم اركانها ويثبت قواعدها وذالك
عبارة عن مراعاتها جانب الوجود
“Yang meneguhkan sendi-sendinya dan mengokohkan
fondasi-fondasinya. Hal itu adalah ibarat daripada memeliharanya dari segi
perwujudannya (menjaganya dari segi perwujudannya).
Kedua, meninggalkan
segala yang merusaknya, yaitu:
مايدرأ عنها
الإختلال الواقع اوالمتوقع فيها. وذالك عبارة عن مراعتها من جانب العدم
“Yang menolak kecederaaan yang terjadi
daripadanya atau khawatir akan terjadi. hal itu ialah ibarat memeliharanya dari
ketiadaan (menjaganya supaya tidak lenyap).
Segala
pokok ibadah kembali kepada memelihara agama dari segi perwujudannya yaitu
seperti iman, mengucapkan dua kalimat syahadat. Segala persoalan adat kembali
memelihara jiwa dan akal dari segi perwujudannya juga seperti memakan makanan,
meminum minuman, memakai pakaian dan mendiami tempat kediaman.
Segala
masalah muamalah, yakni yang dlaruri seperti yang dikatakan al-Amidi itu
seperti mencari rezeki, kembali kepada memelihara keturunan dan harta dari segi
perwujudan dan kembali kepada memelihara jiwa dan akal juga, dari segi
memelihara kelanjutannya. Jinayat yang dicakup oleh amar ma’ruf nahi mungkar
kembali kepada memelihara semua itu dari kerusakan.
al-dlaruriyyat itu terkumpul dalam:
a. Memelihara Agama
Yang
dimaksud memelihara agama, Allah SWT dan Rasulnya memerintahkan kaum Muslim
agar menegakkan syi’ar-syi’ar Islam, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan
jihad atau memerangi orang yang menghambat dakwah Islam[6]
dan juga bisa diartikan sebagai toleransi dalam beragama yaitu sebagai orang
yang mempunyai keyakinan berbeda dengan orang lain, kita tidak boleh saling
mengganggu terhadap pemeluk agama lain baik dalam segi ibadah maupun sosialnya.
b. Memelihara Jiwa
Memelihara
jiwa dalam peringkat al-dlaruriyyat, Allah dan Rasulnya menyuruh kepada
manusia untuk menjaga kesehatan, menyuruh manusia memakan makanan yang halal
dan baik, dan melarang segala perbuatan yang akan merusak jiwa, seperti
membunuh orang lain yang mengakibatkan pembunuhan kepada dir sendiri karena ada
hukum qishas[7].
Artinya seseorang diperintah untuk memperthankan hidupnya.
c. Memelihara Akal
Memelihara
akal dalam al-dlaruriyyat seperti halnya dalam Islam dilarang meminum
minuman khamar dan semua perbuatan yang dapat merusak terhadap akal pikiran
manusia.
d. Memelihara Keturunan
Pemeliharaan
keturuna dalam al-dlaruriyyat dapat dilakukan dengan cara menikah dan
tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama seperti zina. Artinya
seseorang dituntut untuk menjaga keluarga agar terhindar dari perbuatan zina
atau perbuatan yang berdampak negatif lainnya terhadap keluarga maupun
keturunannya.
e. Memelihara Harta
Memelihara
harta dalam tingkat al-dlaruriyyat seperti tentang cara pemilikan harta
dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Artinya
seseorang itu dituntut untuk senantiasa mejaga hartanya agar tidak diambil
orang lain dengan tanpa izinnya.
Al-Ghazali
telah menerangkan hal-hal yang dlaruriyat dalam urutan yang lima, yaitu:
هذه المصالح الخمس
حفظها واقع في رتبة الضروريات فهو أقوى المراتب في المصالحز ومثاله قضاء الشرع
بقتل الكافر االمضل وعقوبة المبتدع الداعي الى بدعته. فإن هذا يفوت على الخلق
دينهم وقضاؤه بايجاب القصاص اذبه حفظ النفوس وايجاب الحد للشرب اذبه حفظ العقول
التي هي ملاك التكليف وايجاب حد الزنا اذبه حفظ النسل. وايجب زحر النصاب والسراق
اذبه يحصل حفظ الاموال التي هي معاش الناس وهم مضطرون اليها.
“Maslahat-maslahat
yang lima ini memeliharanya terletak dalam martabat dlaruriyat. Ialah
sekuat-kuat martabat kemaslahatan, contohnya ialah: sayara’ menetapkan supaya
orang kafir yang menyesatkan orang lain dibunuh, demikian pula penganut bid’ah
yang mengajak orang lain kepada bid’ahnya karena yang demikian ini merusakkan
keagamaan terhadap masyarakat. Dan seperti syara’ menetpakan kewajiban qishas
terhadap pembunuhan untuk memelihara jiwa dan seperti mewajibkan hukuman
minuman memabukkan karena dengan hukuman itulah dipelihara akal yang menjadi
sendi taklif. Dan seperti mewajibkan hukuman zina karena dengan hukuman itulah
dipelihara keturunan dan mewajibkan kita mendera pembongkar kuburan dan
pencuri, karena dengan dialah terpelihara harta yang menjadi kebutuhan hidup
manusia sedang mereka memerlukannya[8].
- Al-Hajiyyat
Al-Hajiyyat
adalah segala
sesuatu yang dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak
segala halangan. Artinya, ketiadaan aspek al-hajiyyat ini tidak sampai
mengancam eksistensi kehidupan manusia menjadi rusak, melainkan hanya sekedar
menimbulkan kesulitan dan kesukaran saja. Jadi prinsip utama dari aspek al-hajiyyat
adalah untuk menghilangkan kesulitan, meringankan beban taklif dan memudahkan
urusan mereka[9].
a. Memelihara Agama
Memelihara agama dalam tingkat al-hajiyyat
adalah melaksanakan ketentuan dengan tujuan menghindari kesulitan dalam
menjalankan perintah Allah, seperti ketika sedang melaksanakan perjalanan yang
jauh, kita diperbolehkan mengerjakan shalat jama’ dan shalat qashar. Artinya,
dengan melaksanakan ketentuan tersebut itu, kita tidak akan menghilangkan
kewajiban yang diperintah agama.
b. Memelihara Jiwa
Dalam bidang ‘uqubat Islam
menetapkan kewajiban membayar denda (diyat) bukan qishas bagi
orang yang melakukan pembunuhan secara tidak sengaja, menawarkan hak
pengampunan bagi orang tua korban pembunuhan terhadap orang yang membunuh
anaknya[10].
c. Memelihara Akal
Memelihara akal dalam hal ini seperti
dianjurkan untuk menuntut ilmu bagi siapapun. Jika hal ini diabaikan maka akan
berakibat pada eksistensi manusia (bodoh).
d. Memelihara Keturunan
Memelihara keturunan dalam hal ini
seperti dibolehkannya seorang suami mentalak isterinya apabila rumah tangga
mereka benar-benar tidak mendapatkan ketentraman lagi.
e. Memelihara Harta
Memelihara harta dalam peringkat al-hajiyyat
seperti dalam bidang muamalat, antara lain Islam membolehkan jual
beli pesanan (‘istishna’) dan jula beli salam (jual beli di mana
barang yang dibeli tidak langsung diterima ketika pembayaran dilakukan,
melainkan kemudiannya, sebab barang yang dibeli itu tidak berada di tempat
ketika transaksi dilakukan)[11].
- Al-Tahsiniyyat
Al-Tahsiniyyat
merupakan sesuatu yang menjadikan hidup manusia lebih pantas dan beradab[12]. Jika
sesuatu itu tidak ada maka tidak akan merusak tatanan kehidupan serta tidak
menyulitkan. Hanya saja akan mengurangi ketidakpantasan, etika dan fitrah.
Adapun penjelasan al-tahsiniyyat ini
juga terbagi menjadi lima pokok yaitu:
a. Memelihara
Agama
Memelihara
agama dalam peringkat al-tahsiniyyat ini adalah mengikuti petunjuk agama
guna menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus melengkapi pelaksanaan
kewajiban terhadap Tuhan. Misalnya menutup aurat, baik di dalam maupun di luar
shalat, membersihkan badan, pakaian dan tempat. Hal seperti itu erat kaitannaya
dengan akhlak terpuji. Dan apabila hal ini tidak mungkin untuk dilakukan maka
hal ini tidak akan mengancam eksisitensi agama dan tidak pula mempersulit bagi
orang yang melakukannya.
b. Memelihara
Jiwa
Memelihara
jiwa dalam peringkat al-tahsiniyyat ini seperti ditetapkan tata cara
makan dan minum. Hal ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika dan sama
sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia ataupun mempersulit
kehidupan seseorang.
c. Memelihara
Akal
Memelihara
akal dalam peringkat al-tahsiniyyat ini seperti menghindarkan diri dari
menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaidah. Hal ini erat
kaitannya dengan etika, dan tidak akan mengancam eksistensi akal secara
langsung.
d. Memelihara
Keturunan
Memelihara
keturunan dalam peringkat al-tahsiniyyat sebagaimana disyari’atkan
khitbah dan walimah dalam perkawinan. Dan hal ini dilakukan dalam rangka
melengkapi kegiatan perkawinan. Apabila hal tersebut tidak dilakukan maka tidak
akan mengancam eksistensi keturunan dan tidak pula mempersulit orang yang
melakukan perkawinan.
e. Memelihara
Harta
Memelihara
harta dalam peringkat al-tahsiniyyat ini seperti keharaman melakukan
jual beli dengan cara memeperdaya dan menimbun barang dengan maksud menaikkan
harga perdagangan, spekulasi, dan lain sebagainya[13].
B. Hubungan antara maqashid al-syariah dengan beberapa
metode ijtihad
Tujuan utama hukum Islam adalah
mewujudkan maslahah untuk kehidupan manusia, maka dapat dikatakan bahwa
penetapan hukum Islam berkaitang dengan dinamika kemaslahatan yang berkembang
di masyarakat. Muhammad Mustafa Syalabi menegaskan bahwa adanya perubahan hukum
adalah karena perubahan maslahat (tabaddu al-ahkam bi tabaddu
al-maslahat) dalam masyarakat.
Pernyataan tersebut dapat dibenarkan
karena dapat dibuktikan secara historis dalam perkembangan hukum Islam. Adanya al-Nasakh
(penghapusan suatu hukum yang terdahulu dengan hukum yang baru), al-Tadarruj
fi al-Tasyri’ (pentahapan dalam penetapan hukum) dan Nuzul al-Ahkam yang
selalu mengikuti peristiwa-peristiwa yang terjadi (pada masa pewahyuan),
semuanya merupakan dalil yang jelas menunjukkan bahwa perubahan hukum mengikuti
perubahan masalih yang ada[14].
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa
teori Maqashid al-Syariah yang berintikan perwujudan kemaslahatan dan
pengelakan dari segala macam kerusakan meurpakan pijakan dan landasan dalam Syari’at
Islam. Artinya baik hukum Islam yang dijelaskan secara eksplisit dalam
al-Qur’an maupun hukum Islam yang dihasilkan melalui proses ijtihad harus
berdasarkan pada kemaslahatan.
Untuk melihat lebih jauh hubungan antara
Maqashid al-Syari’ah dengan beberapa metode ijtihad, akan dijelaskan
sebagai berikut:
1. Al-Qiyas
Drs, Beni Ahmad Saebani dalam bukunya
meneyebutkan, qiyas diartikan sebagai ukuran, sukatan, timbangan, dan lain-lain
yang searti dengan itu, atau pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau
penyamaan sesuatu dengan sejenisnya[15],
misalnya kalimat:
قاس الشيئ بغيره او على غيره
“Ia telah
mengukur sesuatu dengan lainnya atas lainnya”.
Sedangkan dalam istilah ahli ushul
fiqih, qiyas adalah menyamakan suatu hukum dari peristiwa yang tidak memiliki
nash hukum dengan peristiwa yang sudah memiliki nash hukum, sebab sama dalam
illat hukumnya[16]. Seperti keharaman bunga
bank yang diqiyaskan kepada riba. Riba diharamkan karena adanya tambahan dari
harta pokok. Begtiu juga dengan bunga bank,dimana sesorang yang meminjam uang
di bank, maka orang tersebut harus mengembalikan harta pokok terlebih dahulu
kemudian ditambah dengan prosentase bunga tersebut.
Jika hal tersebut dijalankan maka akan
mengganggu eksistensi daripada Maqasid al-Syariah dibidang memelihara
harta dalam tingkat al-tahsiniyyat. Dan juga dapat memberatkan pada
seorang peminjam. Jika tidak dapat mengembalaikan pinjamannya dan bunga bank,
maka juga dapat mengancam kejiwaan para debitur akibat dari tekanan bank dan
hal ini dapat mengganggu eksistensi memelihara jiwa dalam tingkat al-dlaruriyat.
2. Al-Istihsan
Al-Istihsan
adalah menganggap baik sesuatu. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fikih al-istihsan
adalah beralihnya pemikiran seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang nyata
kepada qiyas yang samara tau dari hukum umum kepada pengecualian karena ada kesalahan
pemikiran yang kemudian memenangkan perpindahan itu[17].
Seperti yang paling
sering dikemukakan adalah peristiwa ditinggalkannya hukum potong tangan bagi
pencuri di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal seharusnya pencuri
harus dipotong tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun kemudian hukum ini
ditinggalkan kepada hukum lainnya, berupa tidak memotong tangan pencuri. Ini
adalah hukum berikutnya, dengan suatu dalil tertentu yang menguatkannya.
Mula-mula
peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu
pencuri harus dipotong tangannya. Kemudian ditemukan nash yang lain yang
mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain. Dalam hal ini, sekalipun dalil
pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu[18].
Berdasarkan
contoh kasus tersebut, penetapan hukum potong bagi pencuri pada masa khalifah
Umar bin Al-Khattab ra. yang kemudian hukum tesebut ditinggalkan dengan
menganggap hukum potong tangan kurang baik karena jika tangan seorang pencuri
dihukum potong tangan, maka akan menghilangkan kekreatifan tangannya dikemudian
hari. Pengalihan hukum tersebut berdasarkan ijtihad dalam segi al-istihsan
yang dilandasakan pada konsep Maqashid al-Syariah baik yang bersifat al-dlaruriyat,
al-hajiyyat, dan al-tahsiniyyat yaitu memelihara jiwa.
3. Al-Maslahat
al-Mursalat
Al-Maslahat
al-Mursalat merupakan
penetapan hukum untuk kasus hukum dengan mempertimbangkan tujuan syari’ah,
yakni memelihara agama, jiwa, akal, harata dan keturunan , yang proses
analisinya lebih banyak ditentukan oleh nalar pakar hukum islam sendiri[19].
Sedangkan menurut istilah ulama ushul fikih adalah kemaslahatan yang oleh
syar’i tidak dibuatkan hukum untuk mewujudkannya, tidak ada dalil syara’ yang
menunjukkan dianggap atau tidaknya kemaslahatan itu[20].
Berdasarkan
pengertian di atas, metode ijtihad dengan Al-Maslahat al-Mursalat sangat
memperhatikan eksistensi daripada Maqashid al-Syariah baik yang dlaruriyyat,
hajiyyat maupun tahsiniyyat.
Pada
dasarnya mayoritas ahi ushul fiqih menerima metode maslahat mursalat. Untuk
menggunkan metode tersebut mereka memberikan beberapa syarat. Adapun beberapa
syarat agar maslahat dapat dijadikan dasar hkum adalah sbagai berikut :
f.
Kemaslahatan itu termasuk dalam kategori al-dlaruriyyat.
Artinya bahwa untuk menetapkan suatu kemaslahatan tingkat keperluannya harus
diperhatikan. Apakah sampai mengancam lima unsur pokok maslahat atau belum
sampai pada batas tersebut.
g. Kemaslahatan itu
bersifat qath’i. Artinya yang dimaksud dengan maslahat tersebut
benar-benar telah diyakini sebagai maslahat, tidak didasarkan pada dugaan
semata-mata.
h. Kemaslahatan itu
bersifat kulli. Artinya bahwa kemaslahatan itu berlaku secara umum dan
kolektif tidak bersifat individual.
Berdasarkan
persyaratan diatas maslahat yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqih
dapat dipahami bahwa betapa eratnya hubungan antara metode mashlahat al-mursalat
dengan maqashid al-syari’ah. Ungkapan Imam Malik bahwa maslahat
itu harus sesuai dengan tujuan disyariatkan hukum dan diarahkan pada upaya
menghilangkan kesulitan[21].
4. Saddu
al-Zari’at
Secara
bahasa, sadd berarti “penutup” dan zari’at berarti “jalan yang menujukepada sesuatu” atau
“sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudharatan”.
Menurut paka studi hukum Islam, zari’at berarti sesuatu yang menjadi
perantara ke arah perbuatan yang diharamkan. Dengan demikian, saddu
al-zari’at adalah menutup sesuatu yang menjadi sarana kepada yang
diharamkan atau dihalalkan. Perbuatan itu dilarang apabila membawa kepada
kerusakan yang lebih kuat dan lebih banyak kemaslahatannya[22].
Jadi pada
dasarnya penentuan apakah zari’at harus dibuka atau ditutup sangat
bergantung pada tujuan-tujuan perbuatan, dalam kaitannya dengan ini, Abu Zahra
mengkalasifikasikan zari’at dalam empat kelompok sebagai beriut:
a. Zari’at yang secara qath’i akan
membawa mafsadat, seperti menggali sumur di jalan umum yang gelap, zari’at
semacam ini para ahli ushul fikih sepakat melarangnya.
b. Zari’at yang jarang membawa mafsadat, seperti menanam
dan membudidayakan pohon anggur, meskipun buah anggur kemungkinan dibuat
minuman keras, namun hal itu termasuk jarang, karena itu menanm anggur tidak
dilarang.
c. Zari’at yang berdasarkan dugaan yang kuat
akan membawa mafsadat, seperti menjual buah anggur kepada orang yang
biasa memproduksi minuman keras.
d. Zari’at yang seringkali membawa mafsadat, namun
kekhawatiran terjadinya tidak sampai pada dugaan yang kuat, melainkan atas
dasar asumsi biasa, misalnya transaksi jual beli secara kredit, diasumsikan
dalam transaksi tersebut akan membawa mafsadat, terutama bagi debitur. Mengenai zari’at seperti
ini para ahli ushul fikih berbeda pendapat, ada pendapat perbuatan ituharus
dilarang dan ada pula yang berpendapat sebaliknya[23].
Berdasarkan
pernyataan di atas, zari’at sangat erat kaitannya dengan maqashid
al-syari’ah.
[1]
Muhammad Jamhuri, Maqashid al-Syariah, dalam http://www.slideshare.net/guest4d5c082/maqashid-syariah-1015557
(1 Desember 2012)
[2]
Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: PT Bulan bintang,
1993), hal. 60
[3]
Beban hukum yang mengandung perintah, larangan dan pilihan terhadap mukallaf.
(lihat Alaiddin Koto, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,
2012), hal. 127)
[4]
Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam,, 187
[5]
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), 62
[6]
Alaiddin Koto, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: (Rajawali Pers, 2012), 50
[7]
Ibid, 50
[8]
Hasbi Ash-Shiddieqy, hal 189
[9]
Alaiddin Koto, Filsafat Hukum Islam, 51
[10]
Ibid, 52
[11]
Ibid, 52
[12]
A. Djazuli, Fiqh Siyasah, ( Jakarta : Prenada Media Group,
2003) , 257
[13]
Alaiddin Koto, Filsafat Hukum Islam, 53
[14]
Fatimah Halim, Hubungan Maqashid al-Syariah dengan Beberpa Metode Penetpan
Hukum (Qiyas dan Sadd/Fath al-Zari’ah), Jurnal Hunafa, Vol. 7, No. 2,
(Desember, 2010), 125
[15]
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2008), 207
[16]
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003),
25
[17]
Ibid, 104
[18]
Abidin Barnur, IStihsan, dalam http://barnur.blogspot.com/2011/08/pengertian-ihtihsan-dan-contohnya.html
(6 Desember 2012)
[19]
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel,
Studi Hukum Islam, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), 194
[20]
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, 110
[21]
Fathur Rahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, ( Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997 ), 143
[22]
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel,
Studi Hukum Islam, yang dikutip dalam bukunya Ibnu Qayyim al-Jauziyah, A’lam
al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, hal 108-109
[23]
Fatimah Halim, Hubungan Maqashid al-Syariah dengan Beberpa Metode Penetpan
Hukum (Qiyas dan Sadd/Fath al-Zari’ah), 132-133
0 komentar :
Posting Komentar