Minggu, 07 September 2014

Tak disangka, mereka satu per satu akan pergi. Dan pada waktu yang telah direncanakan pastilah pergi jauh dari sisiku. Memang tidak dapat dihindarkan apa yang telah Allah gariskan pada makhluknya. Kepergian yang tak disangka ini membuat luka yang mendalam. Luka ini bukanlah kebencian, melainkan kerinduan yang mendalam.

Takdir pertemuan yang singkat ini memberikan pelajaran untukku agar selalu berbuat baik kepada siapapun. Bagaimanapun pertemuan bentuknya, meski acap kali tak ada tutur sapa aku harus menyambut pertemuan sebaik mungkin. Karena, ketika ketidakberadaan mereka di sisiku hanyalah rindu membeku.

Teman baik silih berganti meninggalkanku di hampir hayatku dalam perantauan selama ini. Aku dengan mereka bertemu dengan ketidktahuan sebelumnya. Sehingga perkenalan menjadi kaku, apalagi sifatku yang memang kaku. Jauhnya budaya yang saling kita bawa menjadi pembatas antara kita.

Rabu, 03 September 2014

Wakil Rakyat Harus Bhineka Tunggal Ika
Indonesia yang sudah merdeka ini dibentuk melalui beberapa proses perjuangan yang begitu panjangnya. Pengorbanan demi pengorbanan, bahkan nyawapun dalam melawan penjajah menjadi pertaruhannya. Meskipun janji-janji kemerdekaan telah di depan mata, para pahlawan kita tidaklah duduk manis dan tenang saja. Tetapi, masih melakukan persiapan demi tercapinya proklamasi kemerdekaan. Hingga pada tanggal 17 Agustus 1945 resmi Indonesia mengumandangkan bahwa bangsa Indonesia telah merdeka.
Menengok ke belakang, bahwa kemerdekaan Indonesia ini tidak hanya karena bapak proklamator kita yaitu Ir. Soekarno. Melainkan juga seluruh rakyat indonesialah yang mempunyai peran paling besar. Bayangkan saja Indonesia yang begitu luasnya, terbentang dari Sabang sampai Meraoke tidaklah mungkin Ir. Soekarno itu melakukan perlawanan kepada para penjajah hanya seorang diri. Lihatlah peran Bung Tomo di Surabaya yang berapi-api untuk mengusir penjajah dari daratan Surabaya dengan bantuan rakyat Surabaya sendiri. Kalo ini diperhatikan bahwa lagi-lagi bukan Bung Tomo yang mengalahkan para penjajah, melainkan rakyat Surabaya dengan komando Bung Tomo. Dan masih  banyak lagi pahlawan-pahlawan lainnya. Ini tidak lain adalah tujuan utamanya terkumandangkannya proklamasi di Jakarta.
Itulah perjuangan masa kemerdekaan yang diwarnai dengan lumuran darah. Berbeda dengan Era sekarang yang berjuang tidak lagi mengorbankan nyawa satupun. Karena sekarang tidak menghadapi para penjajah asing lagi. Tapi rakyat sekarang menghadapi penjajah yang berada di Indonesia sendiri baik dalam bidang ekonomi, pendidikan dan  juga politik. Dikatakan demikian,  ini zamannya sudah canggih dan kita mempertahankan kekuasaan negara Indonesia dengan tiga cara tersebut.
Orang yang menduduki beberapa kekuasaan negara Indonesia merupakan amanah rakyat kepada calon terpilihnya. meskipun mereka berangkat dari ras atau fraksi yang berbeda, mereka diberi tugas yang sama yakni membangun Indonesia ke arah yang lebih maju. Amanah tersebut tidak dikhususkan kepada satu kelompok saja yang ingin memakmurkan kaehidupan kelompoknya. Penguasa haruslah mengingat titah rakyatnya agar tidak ada perbedaan kepentingan dan pemerintahan dapat berjalan selaras dan padu.
Para wakil rakyat sangatlah paham terhadap beberapa rentetan sejarah kemerdekaan Indonesia. Karena mereka adalah orang-orang yang mempunyai wawasan dan kearifan yang tinggi, sehingga rakyat merasa merekalah yang patut untuk embani tugasmenyelesaikan polemik bangsa ini. Polemik ini tidak akan terselesaikan jika mereka tidak saling bekerja sama satu sama lain dan selalu mensuport presiden dalam beberpa kebijakan untuk membangun indonesia ke depan yang lebih maju. Mereka harus menyatukan kekuatan dari Sabang-Meraoke dan menghilangkan beberapa perbedaan yang ada di antara mereka. 
Statment yang berada di genggaman burung Garuda bukan hanya kalimat pajangan saja. Melainkan jiwa Indonesia yang terkumpul padanya sejak zaman sebelum kemerdekaan –sekarang. Semngat yang berapi-api tanpa mengindahhkan perbedaan itulah semangat Bhineka Tunggal Ika

Senin, 01 September 2014

Edisi Tanggal 30-31 Agustus 2014
Pagi, langit cerah sekali, sudah berbulan-bulan desa Bungatan hujan tak kunjung turun. Kuteringat pada janji temanku yang hendak berkunjung ke rumah. Dia adalah Ahmad Sahrandi, nama lengkapnya. Langsung kuambil hp-ku sambil kupencet-pencet dan bertuliskan “jam berapa berangkat?”. Melihat pesan terkirim , tak lama kemudian berbunyi dan kulihat ternyata ada balasan temanku yang isinya “setelah dhuhur”. Melihat jawaban itu akau merasa sangan senang sekali. Akhirnya aku letakkan hp dan meluncur ke samping rumah yang terdengar suara riuk anak-anak ayam yang kelaparan. Kuambil pakan ayam dan kuberikan pada anak-anak ayam yang kelaparan tadi.
Hari semakin siang, jam sudah menunjukkan 12.45. waktunya bagiku untuk melaksanakn shalat dhuhur. Selesai melaksanak kewajibanku. Ibuku langsung bertanya “kapan temanmu tiba di rumah?”. Dan ku jawab “nyampeknya paling nanti malam, isyaklah”. Lama pembicaraan, perutku langsung berbunyi. Sebenarnya sudah dari jam 10 tadi berbunyi, karena keasyikan main dengan anak-anak ayam jadinya tidak ingat dengan perutku yang berdemo. Maklumlah, biasanya aku dalam sehari makannya 3 kali. Yaitu pagi , siang dan sore. Malahan bisa 4 kali, ditambah malamnya. Heheheh.makanya akau sama teman-temanku dikampus “bila kamu lama di rumah, kamu itu tambah gemuk”, hehehe.. banyak makan sih.
Matahari mulai meninggalkan buminya, waktunya untuk melakukan kewajiban yang ketiga. Dibilang yang ketiga karena dari pagi sampai sore sudah mengerjakan 2 kali kewajiban. Setelah selesai melaksanakan kewajibanku, ku berjalan ke baratnya rumah dan duduk bersila di bawah pohon mangga “bukan bersemedi, heheheh”. Brem,brem, brem suara sepeda motor keluar dari pintu samping rumahku. Kuliaha adalah bapakku yang terburu-buruuntuk pergi tahlilan di rumah saudarakau yang meninggal 2 hari sebelumnya. Sesampainya di depanku,bapakku berkata” kalau nanti temanmu dateng dan aku belum pulang, kamu bisa pinjam sepedanya pak Eni untuk menjemputnya” dan ku jawab “ya”.
Penantianku akhirnya terbayarkan, nada SMS dari hpku berbunyi dan kulihat “aku sudah berangkat dari besuki”. Aku langsung menuju rumahnya pak Eni yang tepat berada di belakangku. Maklumlah, malam itu, pohon mangga itu ada di depan rumahnya pak Eni. Karena pintu rumahnya terbuka, aku langsung masuk dan ternyata pak Eni sedang mengaji. Aku minta izin padanya untuk meminjam sepedanya dan dijawab “iya sudah bawa saja”. Ku pacu sepeda itu dengan pelannya. Karena aku khawatir kalo kencang-kencang, bensinnya habis. Masalahnya saat ini bensin sedang langka dan lagian juga Rendi pasti masih lama sampainya di Pertelon Bungatan. Menyusuri jalan yang di samping kana-kirinya yang ada hanyalah sawah-sawah sehingga membuat jalanan menjadi gelap. Khawatir tibab-tiba muncul perampok, langsung ku tarik gas dengan kencangnya. Akhirnya akau sampai di pertelon masih belum terlihat Bus dari arah barat yang membawa Rendi. Selang 8 menit lamanya, Bus dari arah barat terlihat dan pas banget yang ditumpangi oleh Rendi.
Dengan hati yang lega serta tidak terburu-buru, dan dengan santainya aku menjalankan sepeda ke arah selatan, yaitu menuju rumahku tercinta. Sesampainya di pasar, kami berhenti sejenak untuk memebli gorengan dan juga adem sari. Iya pada saat itu aku lagi panas dalem. Cuaca di rumah yang tidak mendukung. Namun dengan begitu terus memacuku agar tetap bersemangat untuk mencari ilmu. Karena setiap hari kedua orang tuaku di sawah kepanasan. Itu merupakan alat pengecas untukku. Ku paculagi sepeda dengan pelan hingga sampai di istanaku. Kami istirahat sejenak sebelum melakukan aktifitas berikutnya yaitu makan malam. Heheheh.
Tiba saatnya utnuk makan malam, kuajak temanku ke dapur yang sudah tersedia di meja makan beberapa hidangan. Dapur yang kami maksud adalah ruang makan. Di daerahku yang anamnya ruang makan itu pasti gabung dengan dapur. Maklumnya keluargaku belum mampu untuk mebangun ruang makan khusus, iya akhirnya dapur sama ruang makan jadi satu. Tapi dengan begitu hidangan ynag dihidangkan untuk keluarga terasa begitu nikmat, meskipun ada asap-asap dari tungku yang menyelimuti ruang makan. Heheheh
Makan malam sudah selesai, kini kami menuju ruang tamu sambil mencicipi jajan dan ditemani dengan teh manis panas. Sungguh terasa nikmat. Karena udara di malam hari daerahku seperti menusuk-menusuk alias dingin. Begitulah cuaca di Sambiyan, kalu siang panas dan malamnya dingin deh....lengkaplah penderitaan. Dibilang penderitaan, karena dengan cuaca yang seperti itu banyak warga yang sering sakit.
Jam sudah menunjukkan 08.15, aku mengajak Rendi main ke rumah teman lama yang sedang sakit. Sakitnya itu diakibatkan karena kecelakaan lalu lintas. Kejadiannya sih sudah lama. Mungkin sudah 9 bulanan temenku tidak meraskan bangku kuliahnya. Dia memilh untuk cuti terlebih dahulu. Jika dia temanku maka dia juga teman dari teman-temanku juga. Bahrudin (teman yang sakit) kuliahnya juga di UIN Sunan Ampel yang juga sekamar denganku. Sampai di rumahnya, kebetulan dia sedang nonton TV. Sambil nonton TV kami saling bersenda gurau dengan pembicaraan yang ngalor-ngidul tidak jelas. Iya harap dimaklum, karena kami saling melepas rindu satu sama lain. Dengan asyiknya bersenda gurau hingga lupa kalo malam semakin larut. Kami menutup pembicaraan dengan pamitan untuk pulang ke rumahku.
Rumah merupakan tempat untuk beristirahat yang sangat sempurna. Itu menjadi sangat benar, pas kami baringkan tubuk ke kasur lantai, selang 2 menit kami sudah berada di awang-awang. Ea barang kali mimpi bidadari atau sebaliknya. Perjalanan dalam mimpi kita akhiri ketika terdengar syair-syair malam yang syahdu. Syair-syair itu membuat kita bangun dan rasanya tak mau lagi untuk tidur. Sungguh keindahan yang tak dapat dibayangkan. Kita sebagai manusia haruslah selalu mensyukuri nikmat keindahan yang diberikan Allah kepada kita. Janganlah kita sampai mengkufuri nikmat-Nya.
Fajar mulai menyingsing di sebelah ufuk timur. Tanda itu bagiku harus segera siap-siap menstarter sepeda motor, guna mengantar ibu ke pasar. Ea begitulah pekerjaanku tiap pagi dan itu pagi-pagi sekali, mengabdi kepada orang tua dan tidak pernah malu ke pasar dan blusukan bersama ibu-ibu di pasarUdara di pagi hari memang sangat dingi, apa lagi ditambah ketika berda di atas kendaraan. Sungguh dingin. Tapi itu tidak menghalangi niatku mengabdi kepada orang tuaku.
Pasar merupakan pemberhentian terakhir. Waktunya bagiku menikmatu bau-bau amis yang sangat menyengat dan lagi bau ibu-ibu di pasar. Jelaslah bau menyengat bertambah. Karena ibu-ibu yang ke pasar gak sempat mandi pagi, malah ada yang keliatan baru bangun tidur berbelanja ke pasar. Lengkaplah udara pagi yang alami itu. Serunya mencari bahan-bahan dapur tak dapat dielakkan, tawar-menawar harga juga menjadi pelengkap keseuran berbelanja di pasar.
Tak terasa sudah 1 jam di pasar. Dan semua belanjaan lengkap tan terlupakan dari apa yang ada dalam catatan harian ibuku. Brem, brem, brem dengan kecepatan 60 sepeda melaju dengan normal. Karena di jalan Desa itu jarang ada kemacetan, keceuali ada kecelakaan. Kemcetan itu ditimbulkan karena rasa huminis orang-orang desa itu sangat tinggi, di mana mereka berbondong-bondong untuk membantu orang yang mengalami kecelakaan lalin tadi.
Sampai di rumah, dari barat terlihat Rendi dengan Bahrud yang lagi asyik berbicara. Rasanya aku penasaran  dan kemudian aku ikut dalam pembicaraa. Namun aku jadi pendenga r setianya. Soalnya yang dibicarakan adalah masa lalu Bahrud ketika kursud bahasa inggris Di Pare kebupaten Kediri. Bahrud menjelaskan dengan lugasnya, maklum sudah 1 tahun dia berada di Kampung Inggris. Dia menjelaskan perjalanan yang bagus ketika seseorng mau kursus di Pare. “kalau mau ke BEC hendaklah murid/siswa itu lebih dulu tau banyak tentang kosa kata. Karena di BEC 3 bulan kemudian dalam menjelaskan materi kepada siswanya menggunakan bahasa inggris secara full”.
Ting, tung, ting, cling terdengar dari dapur. Tandanya panggilan untuk sarapan pagi. Kuajak Bahrud untuk sarapan bareng, namun dia tidak mau karena di rumahnya juga sudah disiapkan sejak dari tadi sebelum main kerumah “ujarnya”. Banyak alasan untuk tidak menerima tawaran makan bareng. Iya begitulah Bahrud. Begitupaun aku ketika ditawarkan untuk makan bareng di rumahnya. Jadi impas deh kalau begitu.
Makan dengan lau seadanya, begitulah keluargaku dalam menghidangkan makanan. Namun walau bagitu kata Rendi, makan seperti itu terasa nikmat. Karena lauknya itu menyehatkan tubuh, apalagi bumbunya aalah tanpa bahan pengawet atau senyawa kimia lainnya. Kami makan dengan lahapnya. Biasa kalau pagi-pagi perut kita itu kosong. Jadinya makannya lahap deh. Bersyukur nikmat makan selalu Allah berikan pada kita.
Jam menuujukkan 08.00, aku mengajak Rendi silatur rahim ke rumah saudaraku yang ada di Silomukti. Kira-kira 15 menit perjalanan dengan menggunakan sepeda montor, tapi kalau dalam keadaan santai. Perjalanan yang cukup jauh itu dan sinar matahari cukup panas untuk menyentuh tubuh kami. Tapi itu tidak dapat menghalangi perjalanan kami. Dalam perjalanan itu ada kemacetan yang diakibatkan oleh acara jalan santai yang diadakan oleh kecamatan Silomukti. Sepanjang 1 KM , jalanan dipenuhi para pejalan kaki. Kita melaju agak tersendat-sendat. Namu walau demikian, pemandangan jalan terlihat begitu indah. Karena pakaian yang dipakai peserta jalan sehat berwarna-warni. Jadi terbalas panas-panasan di jalan.
Samapai di rumah saudaraku, tak kudapati seorangpun. Karena pak lekku mengantarkan anaknya yang kecape’an di tengah jalan. 2 menit berlalu bu lekku yang datang lalu mempersilahkan kami masuk. Melihat ruas rumah yang dihiasi dengan foto-foto para ulama, hati terasa sejuk. Maklum pak lekku seneng kepada para ulama. 5 menit kemudian pak lekku datang dan kami saling ngobrol. Tak lama bu lek datang dengan membawa kripik singkong dan minuman kopi. Sungguh nikmat sajian kripik dengan kopi pahit-manis. Sekitar 3 jam kami bertamu. Akhirnya kami pamit untuk pulang.
Hari itu adalah hari terakhir aku berada di rumah. Karena pada hari itu aku harus balik keperantauan, yakni menyelesaikan studi s-1 ku. Yang kini sudah menginjak semsterr 7 awal masuk perkuliaha. Hal itu membuat hatiku rasanya tak rela meninggalkan rumah. Karena masih rindu berada dalam lingkungan keluarga. Namun apa daya, harus kulalui meskipun harus mengorbankan perasaanku. Suasana pamitan bagiku adalah keterharuan, meskipun tanpa tetesan air mata.
Sekian dan Terima Kasih